Chapter 4 - Poiseae

190 28 17
                                    

Aku terbangun dengan kepala berdenyut-denyut. Ada sebuah handuk basah dingin berada di dahiku yang kuyakin dengan pasti Bella yang meletakkannya di sana. Bella sendiri tertidur di samping ranjangku dengan posisi yang jauh dari kata nyaman. Aku melirik jam dinding di atas rak buku, kepalaku semakin berdenyut-denyut karena pergerakan bola mataku. Pukul empat pagi. Pasti Bella di sini semalaman.

Aku menyernyit ketika ingatanku melompat pada kejadian semalam. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Aku berusaha keras melarang air mataku jatuh lagi dan tertawa getir. Hidup memang kadang selucu ini. Bahkan aku baru saja pulang dengan George dari hutan dan bersenang-senang. Lalu tiba-tiba kabar buruk itu datang menyelinap di antara kesenangan kami dengan kasar dan tanpa ampun. Aku mendengus pelan lalu turun dari ranjangku pelan-pelan, takut membangunkan Bella.

Aku terdiam sebentar di depan cermin memandangi banyangan wajahku lalu memaksakan seulas senyum dan menyemprotkan penyegar wajah dengan merata. Pagi ini cukup dingin, maka ku ambil salah satu jubah panjang yang menggantung di almariku lalu mengenakannya dan memeluk tubuhku sendiri.

Saat aku keluar aku sedikit terkejut karena kehidupan Eowind City sudah dimulai sepagi ini. Aku biasanya bangun pukul enam pagi dan tidak tahu apa yang terjadi saat pagi buta begini. Beberapa pelayan menyapaku yang ku balas dengan senyuman halus.

Aku menguatkan hatiku saat sudah tiba di rumah medis. Aku semakin merapatkan jubahku dan mengambil napas dalam-dalam.

"Selamat pagi, Lady Chaterine," seorang perempuan dengan seragam medis menyapaku saat aku melangkahkan kaki ke rumah medis. Aku menjawab dengan senyuman.

"Lady Chaterine," Wenda, pemimpin dari cluster medis datang dari sebuah lorong dengan empat orang di belakangnya. Mereka semua menunduk saat tiba di depanku. Hening sesaat, Wenda hanya menampilkan wajah muramnya di depanku.

"Mari saya antar, My Lady," dia meluruskan tangannya menunjuk sebuah lorong. Aku mulai berjalan menuju lorong yang dia maksud dan kami berjalan berdampingan.

Kami tiba di sebuah ruangan kaca besar. Hatiku mencelos saat kudapati ibuku terbaring di balik kaca tebal tersebut lengkap dengan beberapa alat bantu. Aku bersandar pada dinding dan berusaha menguatkan diri.

"Apa kau sudah baik-baik saja, Kate?" Wenda bertanya, mencairkan suasana.

Aku mengangguk pelan dan kembali menatap tubuh lemas ibuku, "Bagaimana kondisinya?"

Dia berdehem samar, "Kami belum tahu, My Lady. Kami masih menunggu hasilnya, saya benar-benar berharap Ratu Esme tidak...." Wanda menghentikan perkataannya. Suaranya berubah muram, aku menunduk dalam.

Poiseae, begitulah kami sepakat menyebut nama penyakit akibat ledakan bom racun dari penjajah tujuh tahun silam itu. Aku tak pernah membayangkan akan merasakan diambang ketakutan ibuku menjadi salah satu korbannya. Memang sudah tujuh tahun, tapi penyakit itu tak kunjung hilang dari daftar permasalahan Eowind, bahkan menyurut pun tidak. Korban yang berjatuhan semakin banyak dan gejalanya pun bermacam-macam. Cara penularannya pun bisa lewat banyak hal. Kami benar-benar kewalahan mengatasi wabah ini. Namun sebelum ini aku tidak pernah khawatir karena keluarga kerajaan selalu berhati-hati. Kami jarang mengunjungi rumah medis dan makanan kami selalu melewati para tester.

Aku memejamkan mataku erat-erat. Lalu mendongak dan meyakinkan diri bahwa layar monitor di samping ibuku menunjukkan garis naik turun stabil. Kulirik wajah lelahnya, lingkaran hitam yang tak pernah nampak di wajahnya kini bertengger di bawah mata ibuku yang sedang tertidur. Aku tersenyum getir lalu teringat sesuatu.

"Apa ibuku sering datang ke rumah medis atau pernah menjenguk di tempat isolasi tanpa pengawasan?" tanyaku mencoba meraba darimana ibuku tertular poiseae.

Wenda berpikir sejenak, "Aku belum pernah melihat Ratu mengunjungi rumah medis bagian isolasi," dia diam sejenak. "Aku akan memastikannya lagi, My Lady," janjinya. Aku tersenyum mengapresiasinya.

"Apa kau berpikir itu poisease?" aku bertanya ragu-ragu.

Wenda menimbang sejenak. "Aku tidak tau, Lady Catherine. Sang Ratu sangat lemah dan beberapa kali memuntahkan makanannya,"

"Apakah ... kau tau ...." Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

"Ya," dia menjawab singkat. "Meskipun samar, tetapi pembuluh darahnya membesar dan kebiruan. Itulah alasan kami harus mengisolasi Yang Mulia."

Aku mundur beberapa langkah menyeimbangkan tubuhku yang terhuyung ke belakang. Tujuh tahun lalu, saat bom beracun itu meledak, racunnya memberikan efek yang berbeda-beda kepada orang yang menghirupnya. Mulai dari sekedar pusing, lemas, muntah-mutah, hingga kejang-kejang, hingga yang terparah adalah kematian. Racun itu menyerang saraf dan dampak yang disebabkan tergantung sistem imun yang dimiliki penderita. Efeknya memang berbeda-beda, tetapi yang paling umum adalah pembesaran pembuluh darah dan berubah menjadi kebiruan.

"Jangan terlalu panik, Kate. Perubahannya sangat kecil dan samar sekali, kami pun tidak yakin. Kau harus menunggu sampai hasil laboratoriumnya keluar. Kami akan mengusahakan yang terbaik."

Aku mengangguk paham, "Aku tunggu kabar darimu,"

"Catheriene!" terdengar suara laki-laki yang suaranya aku hapal betul. Aku dan Wanda menengok ke sumber suara. Wenda dan anak buahnya memberi hormat dengen membungkuk serempak. Aku melipat tangan di dada.

"Count. Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Mencarimu," jawabnya, bisa kurasakan kehangatan menjalar di tulang pipiku, "Bella menghawatirkanmu," lanjutnya. Dia menggantungkan jaket yang ia kenakan di pundakku. Ini konyol, tapi sepertinya ada beberapa kupu-kupu beterbangan di perutku, aku berdehem untuk menghilangkan rasa gugup.

Ini bukan saat yang tepat untuk jatuh ke perlakuan manisnya. Kulirik jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul lima pagi, pasti Bella sudah bangun.

"Aku ingin bicara dulu dengannya, Wenda," ucap Count. Wenda dan rekan kerjanya mengangguk dan melangkah pergi. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya saat Wenda sudah menghilang dari pandanganku.

"Aku kira kau akan menanyakan kabar ibuku," aku tersenyum samar, lalu kami sama-sama menghadap ke ranjang ibuku, tidak lagi saling berhadapan.

"Kau tidak tahu bagaimana paniknya Bella semalam saat kau jatuh pingsan," aku tertawa pelan membayangkannya.

"Dia memang suka panik berlebihan begitu, Count. Kau kan tahu Bella," kami terdiam sejenak.

"Aku juga panik," suaranya yang pelan tapi dalam menembus telingaku dan masuk ke hatiku lalu menghangatkannya. Dia tertawa, "Kau memang adik yang selalu membuat kita panik," dia mengacak rambutku, aku menahan napas.

"Aku rasa kita harus segera kembali sebelum Bella bertambah panik," kataku sambil mulai berjalan saat dia menurunkan tangannya.

"Kate," serunya sambil menahan tanganku. Pandangan kami beradu, dia menatapku lekat-lekat. "Aku tahu ini sangat sulit untukmu, tapi aku juga tahu, kau pasti bisa melewatinya. Aku akan selalu ada untukmu." Dia tersenyum.

Kau tak pernah tau, ucapan seseorang bisa begitu menenangkan. Dia bahkan menyebut aku, bukan kami. Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia hendak menggandengku ke kamar yang kemudian ku tolak dengan halus. Kami harus menjaga hubungan kami tetap professional, terlebih lagi dengan situasi seperti saat ini.  

Antidote (Penawar Racun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang