Ibarat bubur sudah menjadi nasi, rahasia besar yang selama ini coba Brian sembunyikan terbongkar justru karena keegosiannya sendiri.
Brian dan Feby, dua orang remaja yang sudah menjadi sahabat sejak kecil itu kini berada dalam posisi yang tidak seharusnya.
Berhari-hari Brian berperilaku aneh dan itu menyakitkan bagi Feby. Feby yang sudah lama menantikan kedatangan sahabat kesayangannya itu setelah dari Korea Selatan, dengan mengharapkan banyak oleh-oleh seperti biasanya.
Tapi apa yang Feby dapat? Brian seratus persen berubah. Brian bukan Brian yang dia kenal. Bukan Brian yang sering memarahinya kalau makan tidak teratur dan lupa minum obat. Bukan Brian yang selalu mengoceh layaknya seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya.
Seingat Feby, sahabatnya itu mulai berubah saat mengetahui dirinya resmi berpacaran dengan Dimas. Dari awal memang Brian sangat tidak setuju kalau Feby menggilai Dimas. Alasan Brian, Dimas bukan cowok yang pantas. Dimas itu cowok yang tidak jelas dan sombong.
Tapi entah kenapa, perasaan Feby bertolak belakang dengan apa yang di utarakan Brian. Menurut Feby, cowok yang dicintainya sejak masuk kelas sepuluh adalah cowok yang baik dan layak untuk di kejar.
Dan buktinya? Dimas memperlakukan Feby dengan sangat baik.
Perkiraan Feby melenceng sangat jauh. Brian memang tidak suka Dimas berhubungan dengannya, tapi bukan karena hal itu. Karena Brian selama ini mencintainya!
Bak tersambar petir di siang bolong, rasanya pertahanan Feby langsung runtuh. Tidak menyangka jika perubahan yang terjadi pada Brian akhir-akhir ini adalah karna rasa cemburu.
Feby mengutuk dirinya sendiri karna selalu terlambat menyadari sesuatu yang amat penting. Sahabatnya yang sedari dulu ia banggakan itu ternyata memendam rasa kepadanya sejak lama.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Brian saat Feby selalu bercerita tentang Dimas padanya. Yang Feby tau Brian selalu mendengarkan ceritanya dengan semangat lalu memberikan nasehat yang baik.
Feby berlaki terseok-seok dengan mengerahkan seluruh tenaganya yang sebenarnya hanya tinggal sekian persen saja. Dia hanya mengikuti kemana langkah kakinya yang lemas itu berlari.
Melihat Feby berlari, Dimas dan Brian tidak hanya tinggal diam. Mereka berdua ikut mengerjar gadis itu. Dia sedang sakit, tapi kecepatan larinya seperti orang sehat.
Sampai akhirnya Feby terjatuh di rerumputan depan rumahnya. Kakinya sudah tidak kuat lagi. Dia sadar, itu akan semakin memperburuk kesehatannya. Tapi harus bagaimana? Inginnya terus berlari sampai kenyataan itu tidak lagi menghantuinya.
Feby menyandarkan badan mungilnya ke pohon jambu yang sengaja di tanam oleh kedua orangtuanya.
Brian yang berdampingan dengan Dimas berjalan pelan mendekatinya. Tapi tangan Brian mencekal tangan Dimas, membuat langkahnya terhenti, mengisyaratkan lewat mata kalau Brian yang ingin bicara.
Antara rela dan tidak, Dimas mengiyakan permintaan sahabat dari orang yang paling dicintainya. Dimas mencoba menghilangkan pikiran jahatnya untuk menjauhkan mereka berdua.
"Feb," Brian memegang pundaknya,"ini semua gak kayak yang lu pikir." Kalau masih ada setetes harapan saja yang bisa Brian gantungkan agar Feby dapat mempercayai omongannya.
Feby sama sekali tidak menoleh atau memberi respon. Gadis itu hanya menatap nanar rumput yang sedikit bergoyang karena tiupan angin sepoi, yang juga menyapa kulit pucat pasinya.
"..."
"Gue minta maaf." Suara Brian semakin pelan seiring tidak adanya respon dari sahabatnya.
Mendengar pemintamaafan Brian, gadis rapuh itu mulai mengarahkan badannya ke belakang dimana Brian ikut bersimpuh bersamanya. Di tahannya pelan tubuh mungil yang rapuh itu dengan kedua tangan yang berpondasi pada tanah.
Mata sendu itu mulai mensejajarkan pandangannya pada Brian. Menerawang hingga jauh, bagaimana bisa selama ini dia tidak menyadari perasaan sahabatnya. Feby bilang dialah yang paling mengenal Brian luar dan dalam, nyatanya? Hanya Brian yang mengenalnya.
Selama ini, Feby sibuk dengan dirinya sendiri yang berpenyakitan. Sibuk dengan urusan cintanya yang tak kunung mendapat titik temu. Siapa lagi kalau bukan Brian yang mendengarnya?
Memang masih ada dua sahabat lain, yaitu Roni dan Angel. Tapi mereka bersahabat baru setelah memasuki masa putih abu-abu. Sedangkan dengan Brian, mulai dari masih dalam kandungan sudah di jodohkan oleh kedua ibu mereka dan di doakan agar saling melengkapi satu sama lain sebagai sahabat. Sama seperti hubungan sahabat yang orangtua mereka jalani.
Dengan nada yang sedikit samar, Feby mulai berbicara, " Gue gak bisa mikir,Bri."
"Please, Feb..," mata bulat itu mulai kehilangan cahayanya. Brian tidak tau lagi bagaimana kalau Feby tidak mau menerimanya lagi sebagai sahabat. Inilah yang selama ini ditakutinya.Kenapa dia tetap berprinsip untuk menyembunyikan perasaannya.
Brian tidak ingin, hubungan persahabatan mereka hancur hanya karena perasaannya yang sudah jelas-jelas bertepuk sebelah tangan.
"Gue butuh waktu,Bri." Mata sendu itu kembali memusatkan perhatiannya pada rumput ilalang yang sudah tidak bergoyang lagi. Menggantungkan secercah harapan.
Terasa helaan napas Brian begitu panjang, "makasih atas jawaban lu ke gue. Gue harap kita tetap bisa menjadi sahabat seperti dulu lagi."
Merasa cukup mendapat jawaban, Brian mulai berdiri dan membalikkan badan untuk melangkah, meninggalkan Feby dengan perasaan yang masih hancur. Antara takut kehilangan dan tidak bisa menerima kenyataan kalau cintanya sia-sia.
Selepas Brian sudah hilang dalam pandangan, Dimas mulai mendekat.
"Feb."
"Feb."
"Feb."
Tiga kali panggilan yang dirinya lontarkan seakan sama sekali tak bermakna. Sadar dengan satu fakta, kalau Brian memang benar-benar berarti di kehidupan kekasihnya.
Sempat terbesit dalam hati Dimas apakah posisi Brian lebih utama di bandingkan dia. Mungkin iya,karena seperti yang diketahui Brian jauh lebih mengenal sosok Feby dan mereka berdua sudah bersama sejak kecil.
Jadi, Dimas ada di posisi ke berapa di hati Feby?
Pertanyaan itu terus terngiang di telinga Dimas . Hendak menanyakannya, tapi rasanay itu akan membuat keadaan semakin keruh saja.
Merasa panggilan saja tidak cukup, Brian mencoba menyadarkan Feby dengan mengelus puncak kepalanya. Hal favorit yang dia lakukan dan yang paling Feby suka.
"Eh Dimas."
"Kamu baik-baik aja kan Feb?"
Shit. Dimas tau ini pertanyaan klise setelah Dimas tau apa yang dari tadi terjadi pada Feby,tapi dia tak tau lagi harus bertanya atau berkata apa pada Feby. Ia tak bisa masuk di kehidupan antara Feby dan Brian. Dimas sadar akan hal itu makanya dia coba untuk menetralkan keadaan.
"Hah?,"Feby terlihat kaku. Bahkan di wajah pucatnya, Dimas melihat jelas air mata itu terus mengalir. Sebegitu sakitkah dia?
" Iya aku gak apa-apa kok. Ayo masuk ke dalam,udaranya bikin aku ngilu." Ucapnya seraya memberi tanda untuk membopongnya sampai ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (TAMAT)
Teen FictionAku terus melihatnya tanpa batas. Hingga suatu saat aku dijuluki sebagai seorang 'secret admirer' oleh ketiga sahabatku. -Feby Alaeta Wijaya- Aku terus memperhatikan dia yang selalu memperhatikanku tanpa dia ketahui. Aku rasa mulai aku mulai mengiku...