22

1.4K 93 1
                                    

Cowok penumpang taxi itu menyunggingkan senyumannya. Feby yang awalnya kaget, ikut tersenyum juga.

"Brian?"

"Kenapa masih di Indo?"

Brian yang menyadari akan pertanyaan Feby itu lantas merubah senyumannya menjadi gelak tawa.

Dia membohongi Feby dan lainnya soal keberangkatannya dua hari yang lalu. Entah apa tujuan Brian sebenarnya.

Brian menggaruk-garuk kulit kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu. "E..hehe iya gue jadi berangkat sekarang. Nah lu sendiri Feb? Kenapa main nyelonong taxi orang?"

"Aha iya gue juga mau berangkat hari ini. Gue mau pamitan sama Dimas dulu. Lu mau kan berbagi taxi ama gue?" Feby menjalankan jurus andalannya agar Brian luluh, dia memegang tangan Brian dan ber-puppy eyes.

Brian yang geli akan sikap Feby sekarang, langsung mengiyakan saja.

❤❤❤

Mereka sudah sampai di depan gerbang Dimas. Tapi Feby hanya dia memandangi rumah kekasihnya itu.

Jantungnya dengan sekejap berdetak lebih cepat dari biasanya. Feby merasakan sekujur tubuhnya seperti tersengat tegangan listik.

Brian yang melihat sahabatnya itu tampak keheranan. Dia sudah menduga pasti sesuatu yang terjadi diantara mereka bedua.

"Kenapa Cuma diem?" Brian menepuk kedua bahu Feby dan mengisyaratkan kalau Feby harus segera menemui Dimas.

Saat bel akan dipencet, samar-samar terlihat penjaga rumah Dimas berlari dan membukakan pintu gerbang. "Non cari tuan Dimas ya?"

"Iya pak. Dimas ada kan?"

"Yah, sayang sekali non..," penjaga rumah itu menggantung kata-katanya, membuat Feby dan Brian menatapnya lebih serius.

"Den Dimas sudah berangkat ke Amerika."

Seketika itu juga, raut wajah Feby mulai berubah. Dia menunduk, mencerna apa yang penjaga rumah itu katakan.

Kedua kaki yang menopang badannya bergetar, bibirnya keluh. Dia ingin menanyakan kenapa Dimas berada disana,tapi dia tidak sanggup.

Penjaga rumah itu kemudian melanjutkan perkataannya,"den Dimas kuliah disana non. Jadi non Feby belum tau soal ini?"

Feby menggeleng-gelengkan kepalanya dan masih menunduk. Lidahnya kali ini ikut merasa keluh.

Getaran di kedua kakinya semakin terasa. Brian yang melihat perubahan itu langsung menahan Feby agar dia tidak tumbang.

"Yaudah makasih ya pak infonya," Brian berpamitan kepada penjaga rumah itu dan berlalu, masuk ke dalam taxi dengan menggiring Feby.

Di dalam taxi tidak ada yang berbicara, tidak ada suara yang keluar dari kedua bibir makluk Tuhan itu kecuali suara-suara kendaraan yang sedang berlalu-lalang.

"ini mau kemana dek?" Suara supir taxi itu mengintrupsi, memecah keheningan.

Brian membawa Feby ke dalam pelukannya, ketika bulir-bulir air mata mulai keluar dari mata bulatnya itu.

Brian menginstruksi supir taxi untuk menuju rumah Feby. Sesampainya disana, Feby langsung menuju ke dalam kamarnya untuk mengambil koper, karena keberangkatan pesawatnya tinggal duapuluh menit lagi.

Begitu Feby keluar, dia tidak melihat kalau Brian masih menunggu dia. Mama pun tampak bingung dengan sikap Feby yang acuh.

"Sayang, berangkatnya sama Brian ya?" Mama bersuara ketika Feby berpamitan kepadanya.

"Loh Brian masih disini?" Feby menoleh pada laki-laki yang duduk di sofa sembari memandanginya itu.

"Ish kamu ngomong apa sih sayang. Dia mah dari tadi nungguin kamu. Katanya tujuan kalian kan sama."

"Yaudah ayo Bri."

Mama mengantar mereka berdua menuju bandara. Di Singapura sudah ada kak Ten yang menunggu Feby. Sedangkan Brian, disana dia akan hidup sendiri lagi. Bedanya sekarang dia hanya hidup di negeri orang lain, dan itu bukan suatu masalah bagi Brian.

❤❤❤

Brian dan Feby berpamitan pada mama. Mereka berdua saling bergantian memeluk dan bersalaman. Bagi Brian, mamanya Feby sudah seperti mamanya sendiri.

"Tante nitip Feby ya Bri."

"Siap tante. Feby tanggungjawab Brian hehe."

"Ih apaan sih ayo ah berangkat."

"Assalamualaikum ma.." Mereka berdua mengucapkan salam sembari melambaik-lambaikan tangan sebelum masuk ke dalam pesawat.

❤❤❤

"Feb." Brian mulai membuka suara ketika mereka berdua sudah duduk di dalam pesawat.

"hmm?" feby hanya berdehem, dia terus memandangi kaca pesawat. Entah sedang sibuk melihat pemandangan langit yang indah atau sibuk dengan kegundahan hatinya.

"Boleh tau kenapa lu ke Singapura?" Brian melihat wajah Feby separuh, dan coba untuk lebih mendekat ke Feby.

Feby menoleh ke arah Brian, dan disaat itulah wajah antara mereka berdua sangat dekat.

Mereka bahkan bisa merasakan hembusan napas masing-masing. Setelah diam beberapa detik akhirnya mereka sadar dan membenarkan posisi masing-masing.

"Maaf." cletuk Brian.

"Gue berobat Bri." Tandas Feby cepat.

"Hah jadi selama ini lu boongin kita semua Feb?"

"Bukan gitu. Lu tau sendiri kan penyakit gue. Lu tau kan bagaimana penyakit ini berkembang? Gue cuman gak mau repotin kalian lagi."

"Huft..,"Brian menghembuskan napasnya panjang-panjang." Jadi cuman gue yang tau sekarang?Bahkan Dimas juga gak tau?" Brian membungkam mulutnya ketika nama Dimas tersebut.

Dia merutuki kebodohannya sendiri itu. Pertanyaannya jelas-jelas membuat sahabat sekaligus orang yang dicintainya sampai sekarang itu kembali bersedih.

"Gak ada. Dan jangan sebut nama itu lagi di depan gue."

Hening. Pesawat melaju sesuai kecepatan yang dilajukan oleh sang pilot. Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Feby memejamkan matanya, hendak melepas penat akibat peristiwa hari ini. Sedangkan Brian hanya diam dan menikmati perjalanan.

Secret Admirer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang