the guy next door part 55

1.7K 165 0
                                    

The Guy Next Door: Part 55














Aku mengerjap dari sinar matahari yang menerpa wajahku.
Aku mengerang lalu bangkit dari tempat tidurku dan tertatih pelan menuju kamar mandi.











***















"dia gila. Dia benar-benar gila". Bree menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku mengangguk menyetujui pendapatnya.
Aku sedang ada di kafetaria bersama teman-temanku.
Saat ini adalah jam makan siang.







Aku menceritakan semuanya pada teman-temanku.

Semuanya.

Bahkan tindakan sinting Justin yang menyakiti dirinya sendiri. Seperti aku, mereka semua kaget bukan main -dan tentu saja menganggap Justin kehilangan akal sehatnya.



"tapi itu mungkin saja dilakukan" kata Victoria.
Aku memutar bola mataku. Victoria adalah satu-satunya yang menganggap tingkah Justin ini normal.





Dia sepertinya menganggap benar apa yang dilakukan Justin. Mungkin jika Justin memintanya mencabut nyawanya, dia tetap membenarkan tindakan itu.
"Vic, ayolah! Apa yang benar dari tindakan itu?" gerutuku.



"Alexis, Justin juga remaja, kan?" tanyanya.
"benar. Lalu apa?".
"tahukah kau remaja biasanya melakukan hal-hal kelewat sinting saat patah hati?. Bahkan biasanya lebih parah dari kasus Justin" katanya.





Aku berpikir sejenak.
Well, Victoria benar.
Aku pernah mendengar kalau Kate -siswi junior- bahkan menyilet-nyilet tangannya karena patah hati.



Aku bergidik.
Jika Justin melakukan hal itu, akan kugorok lehernya sekalian.
"kau harus bicara padanya Alexis" kata Ari, memandangiku.





"aku sudah bicara padanya. Tapi aku selalu ingin mencekik lehernya" jawabku, frustasi.
Mereka semua mendesah.
Aku juga mendesah.

Betapa satu tindakan Justin ini membuatku sangat marah.













***














Sepulang sekolah, aku mendapati rumahku kosong -aku punya kunci rumah sendiri.
Aku menemukan catatan yang di tempel di pintu kulkas.





Ternyata ibuku sedang ke rumah sakit menjenguk Justin.
Aku mengangkat bahu lalu beranjak ke kamarku.
Aku sedang membolak-balik halaman buku Sejarahku ketika satu pesan baru masuk ke ponselku.

Aku membukanya. Jaxo.
"kakakku tidak mau makan. Dia kembali tidak sadarkan diri pagi ini. Tekanan darahnya terus menerus menurun" tulisnya.





Aku langsung menelpon nomor Jaxo.
"ceritakan. Semuanya" kataku saat Jaxo mengangkatnya.

"Justin kembali tidak sadarkan diri pagi ini-"
"bagaimana bisa?" potongku.
"dia belum makan apa-apa sejak kau datang kesini. Dia bahkan mencoba melepas infus di tangannya" jelasnya.



Aku tersentak.
"dia apa? Bisa-bisanya?" geramku.
Aku menarik napas.
"lanjutkan".


"tadi pagi, Grandpa menemukannya tergeletak di lantai. Sepertinya saat ingin bangun dari tempat tidur, dia malah pingsan" lanjut Jaxo.


Napasku memburu karena kesal sekarang.
Aku mencoba menenangkan detak jantungku.
"lalu?"




"dokter bilang, tekanan darahnya terus turun. Demi Tuhan, Alexis, dia sangat sulit diberitahu. Aku, Grandma bahkan Grandpa sudah memaksanya untuk makan tapi dia justru malah membentakku" kesalnya.
Aku mendesah.
"aku akan bicara padanya. Akan ku telpon dia. Terima kasih Jaxo" kataku, akhirnya.



"sama-sama" jawabnya, lalu menutup telponnya.
Aku mendesah lagi.
Mengatur napasku sambil menenangkan diriku.



Setelah merasa cukup tenang, aku menelpon ponsel Justin.
"Alexis?".


Dia menjawab saat deringan pertama.
"hai Justin" jawabku.
"hey. Ada apa?" tanyanya.
"kudengar kau pingsan pagi ini" kataku, langsung.

Dapat kurasakan dia mengejang di seberang.
"mengapa kau tidak memakan makananmu?" lanjutku.
Dia tidak menjawab.
"Justin?" panggilku.
"aku... tidak selera" jawabnya.
Aku memutar bola mataku.

"yang benar saja? Justin, kau ini sebenarnya mau sembuh atau tidak?"
"aku mau-"
"bagaimana kau bisa sembuh, kalau kau justru mau melepas infusmu? Kau ini. Makan tidak mau dan ingin melepas infusmu. Kau mau bunuh diri?" sinisku.

"Alexis aku...". Dia tampak ragu.
"kau apa? Justin cobalah pikirkan nenek dan kakekmu. Bagaimana perasaan mereka jika melihatmu seperti ini?" lanjutku.
Dia tidak menjawab.




"serius Justin, kau akan membuatku tersiksa karena rasa bersalah jika kau tidak sembuh juga" tambahku.

"aku minta maaf" katanya.
Aku mendengus.
"berhentilah meminta maaf Justin!. Kau sudah cukup minta maaf. Aku tidak mau lagi mendengarmu mengatakan itu" desisku.


"aku sangat menyesal, Alexis" katanya, lagi.
"aku tahu, Justin. Tapi kalau kau tidak berusaha untuk sembuh, penyesalanmu tidak ada gunanya. Kalau kau pikir aku main-main soal menemuimu saat kau sudah sembuh, kau salah. Jangan harap kau akan melihatku sebelum kau sehat".



Dengan itu aku menutup telponnya.

Aku tahu Justin pasti syok mendengarnya.

Tapi dia harus dibuat sadar.






The Guy Next Door [Justin Bieber] By Ghina VasilissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang