#1 Dua Minggu yang Lalu

31 2 3
                                    


"Tante, kok lama banget sih!? Kita laper nih!" seru seorang anak laki-laki yang entah muncul dari mana. Dia bersama seorang anak lelaki lainnya dan seorang anak perempuan yang umurnya kelihatan jauh lebih muda dari pada dua anak lelaki itu.

"Tante? Siapa yang kalian panggil tante?" protes Alfi tidak terima dengan sebutan barunya. Dia bahkan tidak tahu siapa tiga anak yang ada di depan rumahnya. Mungkin dia memang tante-tante karena kakanya yang sudah memiliki anak, tapi dia sangat tidak menyukai sebutan itu–apa lagi kalau anak kecil yang muncul entah dari mana yang menyebutnya begitu.

Ketiga anak itu melihat Alfi dengan bingung. Seolah mereka berkata tanpa suara, 'maksud tante?'

Alfi menghembuskan nafas kesal. Harusnya dia yang menatap ketiga anak itu dengan tatapan itu. "Lagi pula kalian siapa?"

"Kami kan keponakanmu..." jawab ketiganya dengan kompak.

Alfi menatap ketiga anak itu horor. "What? Keponakan? Anak siapa kalian sampe bisa bilang kalian keponakan aku?"

"Kita anaknya mamah," jawab si anak perempuan dengan polosnya.

Alfi berjongkok di depan anak perempuan itu, mencubit pipinya yang gembul dengan gemas. "Gue juga tau cantik," katanya sambil tersenyum gemas. Bahasa gue-elo meluncur dengan mulus dari mulutnya saking gemasnya.

"Kita anak dari kakak tante," ralat anak lelaki yang lain, yang sepertinya anak tertua.

"Kakak? Kakakku yang mana?"
Alfi kembali mengingat wajah kedua kakaknya, yang pertama sudah menikah 6 tahun lalu... dia memiliki satu anak berumur 4 tahun. Sebelumnya pun dia yakin kakaknya ini tidak pernah memiliki hubungan dengan lelaki lain hingga melahirkan 3 anak–kakaknya yang ini perempuan baik-baik kok. Kakaknya yang kedua... dia belum menikah, walau dia yang paling hobi bermain dengan laki-laki tetapi seingat Alfi... kakak keduanya juga tidak pernah sampai sejauh itu. Jadi mereka anak dari kakanya yang mana?

"Memangnya kakak tante ada berapa?" tanya anak lelaki itu.

"Dua..."

Anak lelaki yang pertama memanggilnya tante seolah berfikir. "Aku tau kalau mamah punya adik, tapi kalau kakak..." anak itu menggantung kata-katanya.

Tiba-tiba suara bersin terdengar. Langit semakin gelap dan udara semakin dingin. Anak perempuan satu-satunya di sana terlihat menggigil karena dingin.

Alfi menghela nafasnya kemudian tersenyum. "Ayo masuk dulu. Sekali pun aku enggak tau kalian siapa, tapi aku enggak suka ninggalin orang sendirian–apa lagi anak kecil... ayo masuk," ajaknya. Dia membuka pintu rumahnya dan keempatnya memasuki rumah berukuran 10x15 meter itu.

-oOo-

"Namaku Odin Purwawisesa, ini adikku Loki Purwawisesa dan Ve Puerwawisesa," kenal sang anak tertua. Wajahnya tampak tenang dan sudah ada gurat-gurat ketampanan di wajahnya–singkatnya sih wajahnya termasuk ganteng. Rambut hitam kelamnya dipotong rapih, tatapan matanya tajam, hidungnya lumayan mancung, bibirnya pink kemerahan, dan rahangnya tegas. Tubuhnya sedikit kurus, kulitnya pun putih pucat layaknya anak rumahan, dia termasuk tinggi untuk ukuran anak kelas 6 SD.

Alfi yang sedang meletakkan empat buah cangkir di atas meja makan melirik anak lelaki itu kemudian tersenyum. Setelah makan malam, Alfi mengajak mereka untuk minum teh sambil meluruskan apa yang sedang terjadi.

Meja makan itu berwarna putih bersih berbentuk persegi panjang dengan 6 buah kursi berwarna senada. Ada dua buah kursi di setiap sisi panjangnya dan satu buah kursi di setiap sisi yang pendek. Odin dan Loki duduk di sisi panjang sebelah kanan, sedangkan Ve duduk di sebelah kiri. Alfi sendiri duduk di sisi yang pendek–yang dekat dengan Ve dan Loki.

"Aku Siti Alfirdaus Rafsanjani. Nama kedua kakakku Kirana Putri Rafsanjani dan Lathifah Fristya Rafsanjani. Jadi yang mana nama ibu kalian?" tanya Alfi setelah menyesap teh manis hangatnya.

Ketiga anak itu saling menatap. "Bukan. Nama ibu kami Nura Fier Purwawisesa," jawab Loki. Anak itu sedikit berbeda dengan kakaknya. Rambutnya hitam kelam dan sedikit berantakan, matanya juga memiliki tatapan yang tajam, hidungnya pun sedikit mancung, bibirnya pun pink kemerahan, hanya saja garis rahangnya begitu lembut–membentuk wajahnya menjadi bulat. Mungkin dia bukan tipe tampan seperti kakaknya, tapi manis–bahkan walau dia tidak benar-benar tersenyum–ekspresinya seperti tersenyum setiap saat. Tubuhnya pun sedikit lebih berisi dari sang kakak, lebih tinggi pula, dan kulitnya coklat susu.

"Kalau begitu kalian salah paham. Aku bukan tante kalian," jelas Alfi sambil tersenyum, berusaha seramah mungkin. Dia kembali meneguk tehnya.

"Tapi waktu itu mamah ke sini," bantah Loki dengan yakin.

"Kamu yakin?"

Loki mengangguk. Dia tidak mungkin salah mengenali ibu yang telah melahirkannya, apa lagi dia sangat menyayangi ibunya itu.

Alfi menarik nafasnya dalam-dalam. "Loki... mungkin kamu salah lihat," yakin wanita itu.

Loki kembali menggeleng. "Enggak! Mamah itu punya style yang khas!" bantah anak itu.

"Iya. Loki bukan orang yang akan salah mengenali seseorang," bela Odin.

"Ve juga yakin kok Mas Loki enggak salah," dukung adik terkecilnya.

"Tapi aku enggak punya kakak bernama Nura, sayang," kilah Alfi, dia meneguk habis teh manisnya.

Loki dan Odin mengacak-acak rambut mereka. Keduanya meneguk habis teh yang sebelumnya tak disentuh sama sekali. "Terus kenapa mamah ke sini waktu itu? Padahal mamah bilang mau ke rumah adeknya..." gumam Loki.

"Lebih baik kalian sekang tidur dan besok kembali ke rumah kalian," tawar Alfi. Ve menarik lengan Alfi. "Ve enggak mau tidur sendiri," katanya dengan manja. "Ya udah kamu tidur aja sama aku," balas Alfi lembut.

"Enggak... kami enggak mungkin pulang," gumam Odin.

Gumaman itu menarik perhatian Alfi. "Maksud kamu?"

.

A Little Story About Me, You, You, and You!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora