Kami terdiam disepanjang koridor menuju ruang ekskul. Tak ada satu kata yang keluar dari mulut kami. Mungkin Chika benar-benar kesal. Tapi semua itu sudah terjadi dan aku hanya bisa mengikuti arus yang membawaku. Sesampainya di ruang ekskul Chika mengeluarkan sepenggak kalimat untuk menyapa Riska. Meja-meja di ruangan ini ditata membentuk segi empatada sekitar dua belas meja di ruangan ini. Chika dan Riska duduk bersebelahan. Sedangka aku duduk di seberang mereka. Tentu saja aku bisa melihat wajah Chika yang terlihat kesal kepadaku. Mungkin Riska juga menyadarinya.
"Berhubung kita semua telah berkumpul, aku ada sesuatu yang ingin dibicarakan pada kalian berdua". Suara Riska memecah keheningan ruangan. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan.
"Beberapa bulan lagi akan diadakan lomba menulis antar sekolah. Tentu saja kita ikut berpartisipasi".
"Lalu?".
"Masalahnya kita kekurangan anggota. Ekskul kita hanya memiliki tiga anggota, kalau saja kita semua ikut berpartisipasi tentu tidak masalah".
"Tidak, aku tidak tertarik".
"Sudah ku duga kalimat itu keluar dari mulut busukmu".
"Lalu apa kau bisa memaksakan kehendak kepada orang lain hah?".
"Sudah-sudah, Riska, Hendar, hentikan pertengkaran kalian".
Aku hanya terdiam dan tak peduli. Aku memang tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu. Lagi pula tujuan utamaku masuk ekskul ini agar aku tidak dikembalikan ke kelas satu. Jadi aku merasa tidak memiliki kewajiban untuk turut serta dengan perlombaan itu. Masalahnya apa aku bisa mengatasi itu? Wajah benci yang ditampakkan oleh Riska cukup menakutkan. Apa aku bisa melewati hari-hari di ruangan ini dengan pemandangan seperti itu? Tentu saja mustahil. Aku harus mencari jalan keluar supaya terbebas dari masalah ini.
"Bagaimana kalau menambah anggota saja, kurasa itu cara paling efektif karna kita kekurangan anggota dan aku tidak tertarik dengan lomba itu".
"Bicara memang gampang, apa kau bersedia mencari anggota baru?".
"Sudah-sudah, kita lakukan bersama-sama saja. Itu lebih baik, benar kan Chika, Hendar?"
"Ya usulmu bagus Chika".
"Baiklah aku setuju karna si pembuat masalah mau bertanggung jawab".
"Ehehehe". Chika tertawa dengan terpaksa karna melihat pertengkaranku dengan Riska.
"Oh iya aku mau bertanya, siapa ketua ekskul ini?".
"Benar juga, walau aku anggota terakhir karna kakak kelas sudah dilarang mengikuti kegiatan ekskul mungkin aku ketuanya. Tapi belum ada pelantikan ketua baru, jadi jabatan itu kosong".
"Kalau begitu bagaimana jika orang pertama yang bisa merekrut anggota baru dialah yang berhak menjadi ketua. Setuju tidak Chika, Riska?".
"Ide bagus, kau ingen berkompetisi denganku ya?". Riska menampakkan kesombongannya. Tapi memang benar jika dia melakukan itu, karna semua orang tau dia murid yang pintar. Tapi kesombongan itu sepertinya salah tempat. Jika ia merasa mudah merekrut anggota baru dengan kepintarannya, lantas kenapa ekskul ini hanya beranggotakan tiga orang? Sepertinya peluang kami bertiga ini sama.
Hingga hari sore tidak ada yang kami lakukan selain membaca. Aku memutuskan untuk pamit pulang. Tampaknya Chika sepemikiran denganku. Kami berdua meninggalkan Riska diruangan itu yang tampak menikmati suasana sore hari di ruangan itu sambil membaca buku. Aku berjalan di depan Chika. Ini ku lakukan agar tidan terjadi kesalahpahama jika ada siswa lain yang melihat.
"Anu, Hendar".
"Bisakah kita berhenti sebentar di kafe sambil mengobrol berdua saja?".
Tunggu, kafe? Ini daerah pegunungan, sudah pasti kafe ada di tempat wisata di gunung ini.
"Baiklah, sebentar saja. Kau membawa sepeda?".
"Ti-tidak".
"Aku akan memboncengmu".
Jadi apakah ini sebuah kencan? Aku tidak mengerti karna aku belum pernah berkencan sebelumnya.