Sarinem mebungkuk dan meraih tudung dari rotan tempat dimana botol-botol jamu disimpan. Diambilnya kain lalu mengikat tudung dan melilitkan benda itu ke tubuhnya. Setelah merasa tubuhnya guncang sebentar, Sarinem berjalan saat dirasa sudah seimbang. Sarinem melangkah keluar rumah kecilnya untuk berjualan jamu.
Kaki-kaki ramping Sarinem terus bergerak. Aroma tubuhnya segar, wangi sabun mandi masih dapat tercium dari tubuhnya sesekali saat angin pagi yang lembut menerpanya.
Beberapa orang ia temui selama perjalanan. Dari tukang sayur yag menggiring gerobaknya sampai tukan cuci yang mengantar pakaian. Ia hanya memberi senyum mereka saat disapa.
Sarinem terus mengelilingi desa, pohon demi pohon sudah ia lewati. Burung-burung yang awalnya bernyanyi merdu sekarang sudah bungkam dan diam. Sarinem kecewa, jamunya belum terjual habis , bahkan sedari tadi baru tiga orang ibu-ibu yang membeli jamunya.
Kakinya berhenti melangkah, ia lihat rumah besar di desa itu. Rumah pak lurah. Besar, dengan sebuah mobil terpampang di halamannya. Matanya memutar, menelusur tiap bagian rumah. Setelah lebih teliti, ia melihat penjual jamu lain sedang duduk di lantai menuangkan cairan dari perut botol kaca melalui bibir gelas. Sorot matanya iri saat melihat penjual jamu dapat melayani istri pak lurah. Terlebih lagi dapat bertemu dengan pak lurah.
Sarinem memang sudah jenuh hidup sebagai seorang penjaja jamu gendong. Belakangan ini, ia sedang gencar-gencarnya mencari pasangan yang mapan. Terkadang, ia berkeliling desa menyebar pesonanya. Tapi, usahanya kurang memuaskan, belum ada lelaki mapan yang tertarik kepadanya.
Saat Sarinem hendak memutar dan menjauh dari tempat itu, gerakan tubuhnya terhenti takkala sorot matanya mendapati pak lurah yang mengamati penjual jamu di dekat istrinya dengan tatapan aneh. Bola matanya ia arahkan lebih teliti untuk memastikan hal itu benar-benar terjadi. Setelah beberapa saat, Sarinem membuat kesimpulannya.
"Wah, wah, ternyata Lesmini boleh juga usahanya. Tapi, aku juga bisa kok." Gumamnya dengan aksen jawa.
Sarinem mendapat akal, bibir tipis miliknya terseret ke pinggir membentuk senyuman tanpa mulut yang terbuka. Ia merasa kesempatannya sudah tiba. Ia teringat akan tawaran bibinya beberapa minggu lalu. Bibinya menawarkannya menggunakan ilmu gaib agar cepat sukses. Ya, bibinya merupakan dukun ilmu gaib yang tinggal di pinggir desa lantaran dikucilkan warga. Awalnya Sarinem menolak tawaran tersebut, tapi sekarang sisi hitam pada dirinya terangkat ke permukaan. Otak liciknya sudah mulai bekerja.
'Akan kurebut pak lurah dari istrinya' batin Sarinem.
Badan Sarinem memang montok, wajahnya juga terbilang menarik. Tapi, kata bibinya aura yag dipancarkannya kurang menggoda, sehingga semuanya kurang memuaskan. Bibinya menawarkan agar Sarinem menggunakan ilmu gaib supaya aura menggodanya lebih terpancar. Mulaya, tawaran itu ia tanggapi acuh tak acuh, tetapi sekarang nampaknya ia membutuhkan benda keramat yang dikatakan bibinya. Jadi, ia pasti akan secepatnya pergi menemui sang bibi.
Sarinem terus mengamati dari ujung pintu gerbang rumah pak lurah. Gembolan jamunya terus menggantung di punggungnya. Saat dirasa sudah cukup, Sarinem memutar dan berjalan balik ke rumah.
"Nanti malam aku ke rumah mpok Jumini, bibi pasti bantuin. Liat saja, sebentar lagi pak lurah pasti ninggalin istrinya." Ucapnya pelan dengan intonasi jawa.