Reaksi

26.8K 144 7
                                    

Kelopak mata Sarinem terbuka perlahan memamerkan bola mata cokelat yang tersembunyi di baliknya. Persendian Sarinem terasa agak pegal mengingat kejadian semalam. Tapi, Sarinem bersikeras mendesak tubuhnya untuk bangkit, ia tidak mungkin terus-menerus bergumul di kasur kapuknya sepanjang hari. Ia paksakan otot pinggangnya untuk mengangkat tubuh bagian atas. Sarinem melenguh pelan saat merasakan tulang-tulangnya sedang mengatur posisi. Tangan Sarinem terangkat lalu jari-jari mungilnya menjelajah mengusap kantung matanya yang sedikit menggelap. Sesaat ia duduk termenung di pinggir kasur, matanya sibuk menelusur seluruh penjuru ruangan.

Dua puluh lima detik berselang, otak sarinem mulai bekerja memutar rekaman kejadian semalam dimana ia mengunjungi kediaman sang bibi. Saat itu juga, ia mengingat akan pesan bibinya yang harus ia laksanakan. Dengan perlahan Sarinem menegakan tubuhnya dengan telapak tangan sedikit menumu pinggang. Kaki Sarinem melangkah menuju kotak laci kecil dari kayu peti kemas dimana ia menyimpan enam kuncup bunga berwarna kuning pucat dengan warna putih yang tersisa di bagian bawahnya. Sorot matanya langsung terlihat pada bagian kuncup atas, terlihat bunga itu sedikit merekah. Telapak tangan sawo matangnya meraih sekuntum kuncup lalu menggenggam sedikit erat. Sebelum keluar dari kamar berukuran dua kali satu koma lima meternya, ia bercermin mengagumi dirinya sendiri. Wajahnya masih biasa saja, perubahan besar belum terlalu nampak pada dirinya, tapi ia sedikit melihat perubahan. Entahlah, tapi ia merasakan ada sesuatu yang berubah pada dirinya.

"Hm, sebaiknya aku cepet-cepet ngejalanin ritualnya." Gumam Sarinem pada dirinya sendiri.

Sarinem berjalan menuju dapur. Setelah menyibak kain penutup kamarnya, Sarinem berbelok ke kanan dan menuju ke meja kecil dimana ia meletakan gerabah tempat menyimpan air. Rumah Sarinem memang sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk wanita semanis dirinya. Hanya ada dua pintu, pintu masuk dan untuk menutup kamar mandi. Sisanya hanya ditutupi oleh tirai kain sebagai pembatas. Dulu, banyak orang yang datang hanya sekadar menyapa, tapi Karena Sarinem merasa rishi, ia menyuruh mereka pergi mentah-mentah. Setelah itu, orang-orang yang ingin menyapa Sarinem hanya diam di depan rumah mereka menunggu Sarinem lewat menggendong gembolan jamunya.

Sarinem mengeratkan genggaman pada pegangan gerabah tanah liar berwarna coklat kemerahan yang berisi air putih, lalu dituangkan ke gelas kaca yang didapatnya dari pembelian sabun cuci piring. Sarinem hanya memenuhi setengah dari kapasitas penuh gelas kaca yang hanya memiliki tinggi sekitar lima belas sentimeter. Di dekatkan bibir gelas kaca itu ke mulutnya lalu diminum air putih tersebut hingga habis.

Sarinem meletakan kedua telapak tangan ke lantai lalu berjalan merangkak seperti perintah Mpok Jumini. Sesampainya di teras rumah kontrakannya, ia mengangkat genggaman tangan yang berisikan kuncup bunga ke depan wajahnya. Ia menutup kelopak matanya lalu lidahnya mulai merapal mantra.

"Yang manis yang cantik yang cakep. Rasuki saya, beri kebagusan." Rapalnya.

Setelah itu Sarinem melempar bunga itu ke halaman rumahnya. Tak ada reaksi apapun dari kuncup mungil itu, semua berjalan seperti biasa. Sarinem berdiri dan memasuki rumah kontakannya lalu bersiap mandi dan berangkat ke pasar. Sarinem memang belum membuat jamu untuk ia jual hari ini. Waktunya kemarin ia habiskan untuk menemui Mpok Jumini. Tapi, ia merasa hal itu adalah hal yang sia-sia. Sebentar lagi Sarinem akan merebut pak lurah dari istrinya. Sarinem pun memasuki kakusnya lalu bersiap berangkat ke pasar membeli bahan jejamuan.

Sarinem berangkat hanya berjalan kaki mengingat ia tidak memiliki kendaraan yang lain bahkan hanya untuk sebuah sepeda pun tidak punya. Sarinem berjalan dengan balutan baju jawa berwarna merah muda yang warnanya mulai memudar yang biasa dipakainya dengan paduan kain cokelat kayu melilit ketat dari pinggang hingga betisnya. Sarinem berjalan perlahan membiarkan waktu yang mengantarnya sampai ke sana.

"Eh dek Sari, tambah manis saja."

"Sari, kamu tamba cantik."

"Sari..."

Susuk Mpok JuminiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang