Malam Purnama

23K 123 3
                                    

Sarinem keluar kamar mandi. Rumah kontrakannya sepi, bahkan entah mengapa malam ini lebih senyap dari biasanya. Pakaian sudah melilit-lilit menutupi tubuh indahnya. Rambut hitamnya baru selesai dikeringkan dan masih agak lembab. Sarinem membuka pintu rumah lalu menjembrengkan handuknya di bambu panjang yang tergantung di atas terasnya. Sesekali matanya melirik pepohonan pisang yang terususun tak beraturan di depan kontrakannya. Semuanya gelap, cahaya yang timbul hanya bersumber dari lampu teras remangnya. Suasana ini sebenarnya sudah biasa untuk Sarinem, tetapi malam ini terasa ada yang tidak normal.

Pandangan Sarinem beralih ke langit gelap di atasnya. Bulan penuh terlihat disana, batas-batas antar awan di dekat bulan purnama dapat nampak
jelas setelah disinari cahaya rembulan. Mata Sarinem kembali menilik celah-celah antar batang pisang. Bulu di lehernya terasa merinding terangkat, telingaya samar-samar mendengar suara gesekan dari arah sana. Sarinem mencondongkan badannya bermaksud mencari asal suara itu lebih teliti. Setelah beberapa saat tak kunjung menemukan apapun, Sarinem memutar balikan badannya menghadap pintu.

Tak lama, sembelum ia sempat masuk ke dalam, suara tawa yang melengking tinggi terdengar jelas. Sarinem diam membeku, otaknya masih mencerna apa yang di dengarnya. Setelah berfikir dan meyadarinya, Sarinem tergesa-gesa lari ke dalam rumah. Daun pintu ia banting sekuat-kuatnya hingga menghasilkan dentuman yang memekakan telinga. Sarinem lari ke arah dapur, bersembunyi membelakangi dindin yang agak melunak karena mulai lapuk. Detak jantungnya menderu tak beraturan. Badannya terus bersandar membiarkan punggungnya basah dibanjiri keringat.

Suara kembali terdengar. Sekarang bukan tawa yang muncul melainkan bunyi pintu yang terseret membuka. Langkah kaki terdengar pelan, meruntuhkan keberaniannya. Dilada ketakutan yang semakin lama semakin membesar, Sarinem mengepalkan tangannya dan meremasnya kuat-kuat.

Tak dapat disanggah lagi, keadaan Sarinem benar-benar tidak baik. Saluran kerongkongannya serasa tertutup, suaranya tak dapat keluar sama sekali. Tenggoroknya menyempit dan membuat dirinya harus bersusah payah memperoleh nafas. Sarinem mulai tersengal-sengal, ia mulai berfikir bahwa ini akhir hidupnya.

Sarinem berada dalam kesendirian. Tidak adayang dapat membantunya. Jika ingin meminta tolong tetangga sebelah, maka ia harus melewati pintu depan rumahnya dimana terdapat sosok yang sedari tadi ia hindari. Setelah berfikir keras, Sarinem memutuskan untuk memberanikan diri menerjang apapun yang berada di sama. Ia mulai melangkahkan kaki. Sayangnya, sebelum ia sempat melihat apa yang ada di sana, lampu rumahnya padam seketika.

Sontak Sarinem kaget bukan main. Ia menggumamkan sumpah serapah.

'Apa yang sebenarnya terjadi ini.' Batinnya.

Seketika, desiran angin malam yang tidak biasa mulai menyesap masuk dari luar. Terasa asing, angin itu serasa membelai kulit dengan perlahan. Sarinem tidak dapat melihat apa-apa, sejauh mata memandang hanya ada warna hitam yang pekat. Otot-ototnya melemas, dirinya seperti tidak memiliki lagi energi untuk bangkit. Air tubuhnya tak henti-hentinya mendesak dan berhasil keluar. Adrenalinnya benar-benar terpacu.

Suara tawa kembali terdengar. Kali ini nadanya lebih tinggi dan makin tajam. Jiwanya serasa tersayat tak kala suara itu memasuki lubang telinganya. Sarinem menutup matanya, tak ingin melihat apapun juga walaupun sebenarnya hal itu tidak berbeda jauh disaat matanya terbuka. Tak ada cahaya, retinanya pun tak akan bisa membentuk bayang-bayang warna selain hitam. Di dalam hati, Sarinem menangisi nasibnya hingga bisa terjerat dalam situasi seperti ini yang bahkan dengan fantasi liarnya sekali pun hal itu tak akan pernah dapat ia bayangkan.

Suara langkah kaki tidak terdengar. Suara tawa itu pun juga seakan sudah binasa. Sarinem mulai kembali tenang, ia sudah dapat berfikir secara normal. Jika saja terus seperti ini, berarti malamnya sudah kembali normal. Rupanya tak begitu, kulit pergelangan kaki Sarinem merasakan ada sesuatu yang megenainya. Bukan benda atau semacamnya, itu terasa seperti bersentuhan dengan kulit lain. Sarinem menahan nafasnya dan memalingkan wajah ke belakang.

Sial! Tidak ada yang bisa ia lihat. Semua gelap, warna hitam kelam benar-benar sudah mendominasi dan menutupi warna-warna lain. Sentuhan pada kakinya serasa bergerak dan mulai mengelusnya pelan. Ia merasakannya, dengan perlahan tapi pasti Sarinem dapat merasakan bahwa itu adalan telapak tangan yang halus dengan lima jari sempurna. Sarinem menendang-nendang kakinya berharap apapun itu, benda tersebit dapat sesegera mungkin lenyap dari kakinya. Kaki sarinem terayun keras ke kanan, kiri dan sesekali ke atas.

Nol. Usahanya sia-sia. Tangan tak terlihat itu bahkan sekarang mencengkramnya. Adrenal Sarinem kembali bergejolak, situasinya semakin menggila. Beruntung, kali ini suara sarinem dapat lolos dari kerongkongannya dan merayap di udara. Sarinem meronta-ronta. Tetapi naas, semakin bertindak, tangan imaginer itu malah mencengkramnya makin keras dan semakin kuat. Mungkin Sarinem masih dapat menerima jikalau tangan itu hanya mencengkramnya lebih kuat. Tapi keadaannya tidak begitu, tangan itu malah bertambah dan sekarang mencengkram kedua kaki Sarinem hingga terkunci.

Sarinem terbelenggu, ia benar-benar sudah terpojok. Energinya terkuras habis. Teriakan yang awalnya keras sekarang berubah menjadi suara keputusasaan. Tubuhnya sudah lelah, kakinya benar-benar terkunci keras. Selang beberapa saat, tangan tersebut semakin tidak diduga. Sekarang benar-benar kuat, pembuluhnya serasa tertahan. Jika saja ia bisa melihatnya, pasti ia mendapati bagian itu memerah. Sarinem hanya diam, tak memiliki energi lagi untuk melakukan apapun. Ia tak tahan lagi dan lebih tepatnya tidak peduli dengan apapun juga yang akan terjadi selanjutnya.

Tubuhnya mulai bergerak ke depan dan merangkak. Tangannya menjadi tumpuannya untuk sekedar menggeser badannya ke depan. Tangan itu masih di san, menahan apapun yang akan Sarinem lakukan. Seakan tak memiliki belas kasihan lagi, tangan tak terlihat itu menarik tubuh Sarinen hingga mnghantam dinding rumah kontrakan.

Pengelihatan gadis itu mulai kabur. Walaupun gelap, tapi Sarinem yakin tubuhnya sudah tidak berjalan dengan baik. Ia tak dapat merasakan bagian tubuh lainnya. Seakan dirinya hanyalah sebuah kepala dan sepasang tangan. Semakin lemah dan lemah Sarinem terdiam di posisi yang sama. Hingga kesadarannya menipis dan meninggalkan tubuhnya. Hal yang dapat ia rasakan terakhir hayalah sebuah tawa puas dari arah tak beraturan yang sosoknya tidak dapat ia ketahui.

Sarinem pingsan di dalam rumah kontrakannya sendiri. Pintu rumahnya terbuka membiarkan apapun memasukinya. Tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan tidak ada yang dapat mendengar lolongan Sarinem. Rumahnya seakan terisolasi kedap suara. Entah apapun itu, hal itu tidak akan berhenti sampai di sini. Sosok itu menatap tubuh Sarinem lalu menghilang dalam kegelapan malam. Di malam bulan purnama yang lingkarannya sedang benar-benar sempurna.



Susuk Mpok JuminiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang