Mata Sarinem terbuka perlahan bagai sekuntum bunga pheony yang sedang merekah. Seluruh deretan tulang punggungnya terasa pegal. Tanpa banyak berucap, Sarinem bangkit dan menjalankan ritual paginya.
Selepas selesainya ritual, ia bangkit menyusuri sempitnya kontrakan yang ia tinggali. Sesekali, ada keinginannya untuk mendapatkan hunian yang lebih bagus daripada sekadar kontrakan, tapi apa yang harus ia perbuat? Toh untuk membayar uang sewanya saat ini saja terkadang sudah cukup untuk menguras tabungan-tabungannya. Pernah juga ia berkeinginan untuk mengadu nasib ke ibu kota, namun setelah tahu kehirukpikukan dan segala macam kontroversi serta kriminalitas, ia mengurungkan niatnya.
Sarinem raih keranjang jamu rotan yang letaknya dekat dengan kursi kusam dekat meja kecil yang mulai melapuk. Sudah terbiasa, beratnya keranjang itu sudah tidak berpengaruh besar padanya, ia sudah membawa keranjang itu berkeliling kampung untuk waktu yang tidak dapat dibilang sebentar. Mengambil keranjang tersebut, ia ingat akan sesuatu hal yang penting. Ya, pak Lurah, seketika ia bergerak ke kamarnya dengan sigap, gembolan jamu masih menggantung pada tubuhnya ditumpu lilitan kain yang berbalut-balut. Ia buka laci kecil lalu diambilah parfum murah yang ia beli dipasar dan ia semprotkan ke pakaian serta tengkuk leher jenjangnya. Sekarang, semuanya sudah siap
Sinar surya yang samar menjadi bukti bahwa Sarinem bangun lebih awal pagi ini, lebih awal dari biasanya. Diingatnya kejadian semalam yang masih terngiang-ngiang di kepala, ia tidak henti-hentinya memikirkan dan ketakutan. Semua kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya, bahkan tidak sekalipun dalam mimpi, apalagi merasa bahwa itu sebuah dejavu, tidak pernah, itu hal baru dan yang terbaru dalam hidupnya.
Saat ia bangun tadi pagi, ia terbaring dilantai dengan pintu rumahnya terbuka lebar membiarkan angin dingin masuk seenaknya. Sewaktu itu pula, semua perasaan bercampur pada benaknya, marah, resah, takut bahkan sedih akan nasib yang harus memposisikan keadaannya sampai sekejam itu. Ia membatin dan mengadu pada dirinya sendiri, tidak mungkin ia bercerita pada orang lain, bahkan tidak pula dengan mpok Jum, sudah terlalu banyak ia merepotkannya.
Fokusnya ia coba alihkan, tapi selalu gagal, ingatan itu terus tengiang-ngiang seperti angka delapan yang tak berujung. Mata dan kakinya terus ia gerakan utnuk mencapai tempat-tempat yang ia tahu biasanya menjadi termpat berkumpul orang-orang. Pertama tukang sayur gerobak yang penjualnya sudah kepala lima, terkadang Sarinem merasa kasihan dengan orang tua itu, ia masih harus mendorong-dorong geroak beratnya demi menafkahi keluarga. Kedua, posyandu, di sana biasanya banyak ibu-ibu dengan bedak tebal akan membeli jamu dan anak-anaknya biasanya ikut merengek-rengek meminta. Pilihan terakhir adalah menghampiri perkumpulan apapun itu yang ia lihat. Jikalau sedang tidak sial, pasti ada saja minimal satu dua yang akan membeli jamunya.
"Kok ngelamun gitu dek Sari, nanti ketabrak le." Kata seseorang dari dalam mobil.
Sarinem mematung sejenak, empat detik kemudian ia sadar bahwa pria itu adalah Mas Jono, lelaki incarannya. Tak menunggu lama lagi, ia menyambut sapaan mas Jono.
"Ah iya nih mas, lagi banyak pikiran." Ucapnya dengan nada yang dibuat-buat.
"Duh duh... Kamu ini, wong cantik tapi kok ya pikirannya banyak, cepet tua loh nanti ndak ayu lagi."
"Ah mas ini bisa saja," ucap Sarinem lembut sambil menautkan kedua tangannya.
Mas Jono tersenyum, memandangi sambil tersenyum. "Oh ya dek, kamu mau jalan kemana?"
"Biasa lah mas, ngiter aja." Sari terfikir suatu hal. "Oh ya mas, mas ini mau kemana? Pagi-pagi gini udah rapi,"
"Biasa lah, rapat di balai." Tukas Jono.
Berdehem sejenak, lalu Sarinem meneruskan, "Wah, hari ini ada rapat toh, pasti rame ya di sana?"
Mas Jono pura-pura berfikir, "Bisa jadi."