Aku bertapa dalam sepi, menjelajah jiwa menahan dosa. Bersila mengatur udara, mencekal keindahan dalam egoisme. Menikmati gemercik air sungai bernyanyikan nada indah kicau burung di pepohonan, hingga aku tersadar aku telah terjerumus. Aku dibuai oleh semua ini, oleh ketenangan.
Berpaut emosi dalam diri ini, dalam debur pilu dan seruling bahagia. Kadang aku bersedih namun tak jarang tertawa menitkmati hidup. Aku senang mengatur negeri ini, mengatasi segala rupa masalah yang ada. Hanya satu yang tidak kupercaya,
Cinta.
Tidak ada cinta yang benar-benar ada menurutku, aku berpegang pada tanggung-jawab. Akumerasa cinta hanya suatu hal yang bodoh. Manusia menikah bukan karena cinta, melainkan naluri. Hanya untuk mempertahankan peradabannya, itu pandanganku.
Kini aku berjalan dalam lorong istana, berlalu dengan wibawa yang kuemban sejak lahir. Banyak orang yang menyapaku, mereka harus memberi hormat, tapi tidak wajib bagitu untuk membalasnya. Pandangan lurus ke depan dan dagu sedikit ku angkat, itu prosedur yang harus ku jalankan untuk benar-benar menjadi anggun.
Melihat wanita bertubuh gemuk di ujung dekat pintu istana, aku merasa jijik. Bukan seperti itu kodrat wanita, tidak boleh bertubuh gemuk dan membiarkan satu keindahan hilang. Wanita adalah keindahan. Wanita adalah makhluk yang dituntut indah, baik paras, tingkah laku, tutur kata, maupun pemikiran. Kehormatan wanita ada pada keelokannya, saat membiarkan keindahan hilang, itu sama saja membuang kehormatan diri sendiri.
Ku perintahkan pelayan untuk meraih kendi berisi madu dengan tegas, aku tidak suka mengulang perkataan. Tidak lama kemudian, pelayan itu datang.
Langsung saja aku berjalan menuju kamar ibuku, pelayan itu pasti mengikuti kemana aku pergi, tidak perlulah aku meminta lagi. Dengan kain batik indah bermotif bebungaan pemberiannya yang sekarang sudah disulap menjadi gaun indah, aku tidak merasa ragu lagi menemuinya.
____________"Ibu, ini, pengen punya cucu-"
Suara Ibu meminta mendengung di liang terlinga tanpa henti. Aku ingin berbakti pada dirinya.
Sekarang aku menjadi pemimpin kerajaan besar ini, ratu tak bersuami.
Ibu, yang notabenenya adalah ratu sah kerajaan ini menyerahkan mandat tanggung jawabnya kepada putri semata wayangnya, ia tak tahan memerintah lagi setelah Ayah tiada. Aku yang mewarisi darah kepemimpinan kental tentu memegang sumpah saat dilantik menjadi pemimpin agung. Aku akan memimpin dengan bijaksana.
Dari luar, kerajaan ini terlihat kokoh, amat kuat dan sejahtera. Ulat pun senang berada di kerajaan ini karena daunnya yang manis. Namun, tidak sejaya itu. Dinasti ini di ujung tanduk, di ambang kehancuran. Dan itu semua, aku. Itu semua karena diriku.
Awalnya aku tidak seperti ini, bukan pemegang prinsip radikal. Hanya stigma bahwa wanita adalah makhluk terhormat. Tidak berfikir lebih jauh bahwa perlahan, tanpa sadar, aku mendoktrin diri sendiri, merawat menjaga keyakinan itu hingga tumbuh membesar lalu mengacau.
Pandanganku berubah saat ini, aku ingin tetap suci, sampai mati. Tidak boleh ada ikatan yang membelenggu diriku termasuk pria. Tak tersentuh, aku merasa bahwa wanita sejati adalah ia yang memegang tanggung jawabnya sampai akhir hayat dan dedikasi terbesarku hanya akan kucurahkan untuk negeri ini.
Desas-desus tentu terdengar dari dalam istana. Soal masa depan kerajaan ini nantinya, tentang ratu yang belum menikah dan kabar angin bahwa sang ratu tidak akan menikah. Semua itu mengalir, berbisik dari mulut ke mulut, sembunyi-sembunyi. Tapi aku tahu, istana tahu soal itu, dan sepenuh hati aku yakin pelayan-pelayan yang kutemui setiap hari pasti pernah membicarakannya.
Kami, para bangsawan sudah terbiasa. Terdidik untuk memilah emosi, mengendalikan diri, menulikan telinga dari hujatan dan memekakannya untuk mendengar keluhan. Itu yang ayahku ajarkan, yang sebelumnya diajarkan pula oleh kakekku.
Aku tidak perlu khawatir, politik dalam diriku mengalir merah pekat tanpa halangan. Untuk hidupku pun aku bermain catur, mengendalikan bidak amat cermat. Rencananya sudah kurancang sejak lama. Hanya perlu menunggu alir angin segar lalu akan kubuka kartu yang selalu tertutup itu lalu membiarkannya mematri lajur tegas nan elok.
"Bilang padanya, jika masih seperti itu. Ratu tak segan lagi membelah perutnya. Aku benci pencuri!" Ucapku tanpa gentar dari singgasana kepada pengurus kasus.