Desiran angin malam mencekam diselubungi hitam rasa yang kian merebak. Sosok itu bergeming tanpa emosi. Diam nihil bunyi. Menelusuk ketakutan, menenggelamkan jiwa yang gentar.
Pelahan tapi pasti, sosok itu mendekat, terus merapat seraya mengikat tubuh Sarinem dengan rantai tak kasatmata. Sosok itu luntang-lantung, mencari jati adiwangsa yang telah lama usai.
Aram temaram sudah sekelilingnya, Sarinem nyaris hilang cahaya mata, nyaris buta. Tak dapat lagi bebas, ia terjengkang dalam posisi yang malang. Tenggoroknya kopong, tak ada yang dapat dikeluarkan. Berpaut sehasta tali, berpaut goyahnya iman atas apa yang ia lakukan.
Sosok itu menjadi dekat, sangat dekat hingga nafas Sarinem tercekat kuat. Ritmenya tak teratur, energinya terkuras terlalu jauh. Kekuatan abstrak begitu nyata terasa, begitu hidup dan membekas. Nyali menciut dan selimut kepasrahan bergabung menyiksa Sarinem.
Belaian pada rambutnya perlahan tapi pasti. Sangat lembut tanpa tenaga. Sapuan halus itu bukan menenangkan, penuh dengan ketegangan. Terdengar ringkihan lemah nyaris hilang. Seperti nyanyian, namun dengan suara parau setipis helai sutra.
Peluh deras mengalir, mengkilapkan tampak kulit mulus Sarinem. Seketika, ada suatu hal berubah, ia merasakan hal aneh. Sosok itu masih membelainya, pandangan Sarinem pun masih kabur tak cerah. Air! Itu rasanya! Lantai padat silih berganti, bagai meleleh tanpa sebab. Namun, tetap saja, Sarinem tak dapat berontak.
Sarinem meronta, panggilan jiwa mendesak hebat tepat beberapa waktu setelah merasakan anomali yang terjadi. Ia merasakan sosok 'itu' tak lagi menyentuhnya. Lekas ia bergegas, menapaki lantai yang sesungguhnya. Mengendap cepat tanpa tujuan, hanya berlari menjauh dibimbing naluri alamnya.
Pintu-pintu berbaris di kanan dan kirinya, di sepanjang lorong terang dengan wallpapper dan karpet yang senada merah. Lilin-lilin menghinggapi dinding, sebagai pemanis. Sarinem masih menyusuri tempat itu, tidak tahu apa harus perbuat. Tidak tahu kapan ini semua dimulai.
'Ini pasti cuma mimpi,' tegasnya dalam hati.
Tangannya bergerak menuju lilin, membuat jarinya meraba pucuk oranye. Belum sempat menyentuh, refleksnya absolut memerintahkan untuk menjauh. Kejut panas itu mencengangkan!
Ia mengamat bingkai besar, terpampang lukisan wanita di sana. Rambut lurus, paras ayu tirus dengan kain meliliti tubuhnya bak bangsawan. Tatapam mata kelam tegas tanpa senyum bibir. Bebar-benar kecantikan murni.
Lampu dari ujung lorong arah Sarinem datang meredup satu demi satu, bersamaan saat ujung telunjuknya bertemu dengan permukaan lukisan itu. Samar-samar, Sarinem mencermati ada yang bediri di sana, berjalan perlahan dan setiap langkahnya melenyapkan cahaya terang lampu. Adrenalnya meningkat cepat, darahnya kembali mendesir berdesis. Lari, pimpin insntingnya.
Kakinya berkayuh, dengan sangat cekatan mendorong tubuh konsisten ke depan menjauhi gelap. Tidak lagi peduli kanan kirinya, pintu-pintu itu dilewati begitu saja. Keringat menetes dari puncak hidungnya.
Lorong usai, Sarinem tidak menemukan lagi bagunan, hanya ada hamparan luas bertanamkan mawar-mawar merah cerah. Ia mulai bingung apa yang harus dilakukan. Lentera-lentera menyala menghilangkan gelap malam hanya pada jangkauannya. Tak menimbang lebih jauh lagi, Sarinem membawa tubuhnya keluar dari lorong menuju taman mawar. Yang terpenting menjauh dari bangunan itu.
Lentera-lentera bercahaya indah, mempesona pandang mata. Mawar-mawar yang tumbuh acak memberikan kesan mewah lebih jauh lagi. Hawa malam tetap saja mempengaruhi Sarinem, ketakutannya tidak kunjung padam.
Setiap lentera mulai padam beriringan. Sarinem dilanda firasat buruk yang membesar hampir meledak. Suara ringkihan yang sama terdengar kembali. Sarinem menyusur cepat mengikuti nyala lentera hingga menemukan bagunan indah yang tidak terlau besar. Melihat jendela sangat terang, Sarinem menjadi agak lega. Cahaya selalu menenangkan, semakin terang semakin baik.
Dibuka pintu besar, menghamburlah Sarinem masuk ke sana. Menjelajah ruangan dan memutuskan untuk memasuki kamar. Indah, kamar yang indah. Dominan putih dengan ornamen keemasan dari kuningan. Sarinem duduk di kasur besar yang sangat nyaman. Ia berbaring, memejamkan mata erat, tak tahan atas apa yang ia alami. Jika hanya mimpi belaka, mengapa ia tadi dapat merasakan panas lilin? Bahkan ia lupa bagaimana bisa sampai ke lokasi itu.
Mendadak cahaya sirna entah kemana, suasana tidak enak terasa kental padat. Sarinem merapatkan kelopak mata serapat yang ia bisa berharap saat membuka mata ia berada di kasur keras kontrakkannya.
Rasa tangan mengelus berasal dari betis kanan Sarinem. Matanya makin menutup dan ia menahan nafas. Suara yang sama terulang lagi dan lagi, menyayat keberanian mengandakkan nyali. Sarinem memalingkan kepala ke samping kanan, mendapati benda itu tergeletak di dekatnya. Dipimpin naluri, tangannya meraih benda itu.
Sosok itu bergerak naik, suara ringkihan perempuan itu terekam jelas dan Sarinem mulai merasakan beban pada tubuhnya. Makin memberat, beratnya terasa bertambah seiring waktu.
Tanpa pikir panjang lagi, Sarinem menikamkan pisau dengan cepat ke sosok itu. Sektika, energinya terkuras, ia merasa sangat letih lalu terkulai pingsan tak bedaya.
___________________________Tersadar, Sarinem mendapati hutan belantara di sekelilingnya. Pohon-pohon yang tinggi dan remang-remang melatarinya. Baru saja hendak mencari jalan pulang, Sarinem melihat tubuh lelaki tergeletak di dekatnya. Memberanikan diri, Sarinem mencoba melihat parasnya.
"Aaa!" Teriaknya.
Wajah Mas Jono yang ia dapat, dengan luka pada perutnya dan batu runcing penuh darah tidak jauh dari situ. Pusing, Sarinem merasa kepalanya membatu berat dan pembuluhnya berdenyut nyeri luar biasa. Tak lama kemudian, ia tumbang. Sementara lelaki itu sudah tidur tanpa nafas, tak bernyawa
-Bersambung-