Hutan belantara sudah membentang di depan mata. Sarinem menelusur tiap inci pemandangan yang dapat terlihat dari tempat itu. Pohon-pohon tinggi menjulang berlatarkan gelap malam dengan cahaya bulan temaram sebagai lampunya. Suara-suara hewan pengerat seperti jangkrik terdengar bernyanyi-nyanyi di sekitarnya, para katak juga tak mau kalah, konser mereka terus diselenggarakan mewarnai malam yang panjang.
Sarinem agak merinding melihat pemandangan yang asing baginya, tubuhnya terasa dingin. Sejumput rasa takut sudah menyelimuti batinnya. Mana ada orang yang mau tinggal dengan pemandangan seseram ini, kurang lebih seperti itulah hal yang tersirat di bena Sarinem.
"Hih, kok serem amat sih!" Aksen Jawa sarinem kembali terdengar.
"Yaudah ya nak Sarinem, emang Mpok tinggal di sini." Terdengar suara agak berat yang sepertinya di samarkan.
"Tapi Mbokke gamau pindah aja?" Tanya Sarinem.
"Ya enggak lah sari, Mbok udah biasa disini. Lagian Mbok berani kok."
"Emang mbok gamau cari istri saja, eh anu, maksud Sari, suami."
"Ndak ah buat apa cari suami , mbok kan udah ada temennya."
Sarinem agak begidik saat telinganya dimasuki kalimat itu. Ia tahu, Mpok Jumini, bibinya, aslinya adalah seorang laki-laki tetapi karena alasan yang kurang jelas, tiba-tiba ia memilih untuk menjadi wanita. Karena itulah, warga desa mengucilkannya ditambah lagi ilmu-ilmu gaib yang sering ia mainkan membuat warga resah.
Mpok Jumini memasuki rumahnya yang ditumpu dua kayu besar dari pohon mahoni tua, dua buah tiang kokoh berdiri tegak menyangga rumah yang terbilang kecil tersebut.
Sarinem masuk ke dalam mengekori sang bibi yang sudah di depan. Hidungnya dapat mengendus jelas aroma menyengat dari dedupaan yang terbakar. Wangi bebungaan tercampur aduk dengan sajen yang telalap api membuat suasana di dalam makin menekan. Sarinem duduk di depan meja tempat diletakannya benda-benda aneh seperti keris, lilin dan sebagainya. Sarinem duduk dengan tangan bertumpu pada pahanya. Ia merinding saat sang mpok menyodorkan asap-asap dari berbagai wadah.
"Jadi, kamu mau lebih menggoda ya Sar?" Tanya bibinya setelah selesai dengan asap-asap tadi.
"Um, anu, iya bi. Biar orang pada tertarik sama saya." Jawab Sarinem.
"Kalau begitu, kamu harus memakai ini." Kata Mpok Jumini sambil menyodorkan sebuah benda dengan jarak sepuluh senti di depan wajah Sarinem.
"Ini apa mbok?" Tanya Sarinem.
"Ya kuncup kembang lah Sari, emangnya ini keliatan kayak beha apa? Ya nggak lah.." Kata Mpok Jumini.
"Sari tahu Mbok, emangnya Mbok pikir Sari edan apa? Gini-gini Sari pernah sekolah." Kesal Sari. "Maksud Sari itu buat apa?"
"Oalah Sari, kamu tu ya, kalo kamu dulu sekolahnya pinter kamu gak akan jadi tukang jamu le. Yaudah ini pegang dulu." Mpok Jumini menyerahkan tujuh kuncup kembang berwarna kuning pucat.
Sari menerimanya dengan membuka kedua telapak tangan. Tak lama setelah itu, Mpok Jumini merapal mantra.
"Ya, yang haus yang haus..."
"Leh Mbok! Mbok mau manggil setan apa jualan aer sih Mbok!"
"Iya ya Sar, maklum lah Mbok udah tua. Ya, walaupun Mbok masih cakep." Mpok Jumini terkekeh pelan. "Oh ya, Mbok juga jual air awet muda, kamu mau?"
"Ih Si Mbok! Saya kan kesini mau dibikin lebih menggoda." Tukas Sari.
"Iya Sarinem, Mbok bikin dulu ya."
Kali ini Mbok Jumini lebih serius merapal mantra dengan bahasa jawa.
."Ya, wahai yang halus, yang halus, yang kasat mata."
Tiba-tiba angin semilir yang dingin datang entah dari mana asalnya menyapu rambut-rambut halus yang tidak tertutup kain. Semakin lama Mpok Jumini merapal mantra, semakin kuat angin itu berhembus. Sampai tiba-tiba Mpom Jumini berhenti dan angin pun hilang. Lalu, datang hawa panas entah dari mana, tubuh sarinem mengeluarkan keringat. Ruangan pengap yang kecil itu terasa makin panas seakan-akan makin menyempit ingin menelan mereka. Sarinem hanya diam terbungkan, suaranya tercekat di tenggorokan tubuhnya diam terpaku. Ingin rasanya ia keluar sekadar menghirup udara segar. Tapi dirinya seakan tertahan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Mpom Jum bangkit dan menyiram kuncup-kuncup kembang di genggaman Sarinem. Berbagai air di cipratkannya. Setelah air selesai dibalur ke kuncup-kuncup tersebut, Mpok Jumini menghebuskan nafas dari mulutnya ke kembabg itu.
Sarinem takut, tanganya terasa dingin, dingin yang tidak biasa. Sarinem terus meggenggam ketujuh kuncup tadi. Beberala menit berlalu, semua kembali normal. Hawanya kembali manusiawi.
"Makan satu kuncup kembang itu Sari." Perintah Mbok Jum.
Tanpa ada niatan membantah, Sarinem memasukan satu kuncup kembang ke mulutnya lalu mengunyahnya. Rasa kecut terasa menjalar lidahnya, liang mulutnya terasa pahit. Tak ingin memperlama penderitaannya, Sarinem menelan kuncup tersebut tanpa menghiraukan rasa yang akan diterima kerongkongnya.
"Sudah kamu telan?"
Sarinem menganggukan kepalanya pelan. "Sudah Mbok."
"Kalau begitu Biar Mbok kasih tau. Itu namanya susuk kembang. Kamu akan lebih menawan dan lebih menawan setelah ini. Setiap pagi, selama enam hari, kamu harus jalanin ritual yang Mbok kasih tau."
Sarinem kembali mengangguk.
"Jadi, kamu musti pergi minum air setelah bangun. Abis itu, kamu ambil tuh satu kuncup. Setelah itu kamu ke depan rumah tapi gak boleh jalan, kamu harus ngerangkak. Kalo sudah, kamu merem abis itu ngerapal mantra. Selesai, kamu lempar kuncupnya."
"Itu doang Mbok? Mantranya gimana?"
"Iya, mantranya gini 'yang manis yang cantik yang cakep. Rasuki saya beri kebagusan,' udah cuma begitu." Kata Mpok Jum.
"Ih serem, tapi cuma begitu saja kan Mbok?"
"Iya Sari." Jawab Mpok Jum.
Mendengar hal itu, Sari mengangkat tubuh kecilnya lalu bangkit berdiri. Setelah merapihkan bajunya Sarinem menatap Mpok jum.
"Jadi, saya bayar berapa mbok?"
"Heleh kamu ini! Gausah pake bayar-bayaran. Saya kan Mbok kamu, apa sih yang enggak buat kamu."
Sarinem mendengus sesaat, ia menggelengkan kepalanya.
"Bener nih Mbok? Sari gak enak." Kata gadis itu.
"Bener, hush! Udah sekarang kamu pulang. Nanti kemaleman gak baik." Kata Mpok Jumini yang sudah berdiri sambil menuntun Sarinem keluar ruangan.
"Anu, iya Mbok." Jawabnya.
Mereka keluar melangkahkan kakinya sekitar sepuluh lanngkah ke depan hingga mencapai teras rumah. Si Mbok menghentikan langkah dan menahan Sarinem.
"Inget ya, gaboleh lewat sehari pun."
"Em, Sari ngerti Mbok." Jawab Sari.
"Sama ini, satu lagi. Pantangannya kamu gak boleh makan daun sirih."
Sarinem menghela nafas panjang lalu berkata lagi.
"Tenang Mbok. Sari ngerti."
"Ya wis, sekarang kamu pulang sana."
Sarinem pun pulang, menyusuri jalan setapak yang semula ia lalui. Kiri kanannya tersusun pepohonan dari yang tinggi sampai yang rendah seperti pohon pisang. Rasa takut Sarinem tidak sebesar tadi, sekarang Sarinem lebih berani. Ia mengembangkan seringai di wajah tirusnya. Sarinem terus melewati jalan setapak hingga sampai ke pemukiman warga.
"Akhirnya, sebentar lagi pak lurah jadi suamiku."
![](https://img.wattpad.com/cover/61283698-288-k473265.jpg)