N/A
Makasih kalian yang sudah mau membaca cerita ini.
Gatau deh part ini gimana. Menurutku ancur-cur-cur pake banget. Kacau lah semuanya.
Tapi masih boleh dong dapet Vote dan Comment nya? Hehehe
Yaudah silahkan membaca part ini (:
---
Rezeva menghempaskan tubuhnya pada sofa ruang tamu di rumahnya. Seragam bahkan sepatu sekolah masih enggan ia lepaskan dari tubuhnya.
"Jangan gila gara-gara cowok doang deh, Dek," Deva berseru sambil berjalan dari arah dapur. Tangannya menggenggam sebuah gelas berisi air mineral dingin. "Bukannya lo udah lupain dia, ya?" Deva meneguk air di tangannya itu lantas duduk di sofa yang belum ditempati Rezeva. Bisa babak belur jika ia duduk di atas Rezeva dengan mood seperti sekarang ini.
Rezeva memandang Deva sinis. Deva yang dipandangipun hanya memasang tampang polosnya, "Loh, bukannya lo yang bilang sendiri waktu mau pulang kesini dari rumah nenek. Bahwa lo udah lupa sama Raharda, 'kan?"
Rezeva memalingkan mukanya, merasa tertohok atas pernyataan Deva-yang memang benar adanya.
"Kakak ga tau, sih. Gimana susahnya ngelupain cowok. Apalagi Raharda tuh sekelas sama aku, Kak! Se-ke-las!"
Rezeva bangkit dari sofa dengan wajah masam. Deva yang berpikir Rezeva akan merajuk ke kamarnya-dan membanting pintu keras keras-lantas merogoh ponsel dari saku celananya untuk bermain game.
Tetapi alangkah terkejutnya Deva saat Rezeva bukan pergi ke kamarnya, malah memeluk betisnya sambil memasang tatapan memelas.
"Kak, pindahin dia ke kelas lain ya? Atau aku aja yang dipindahin. Masa sih, Kakak ga mau bantuin adik satu-satunya ini? Ya? Ya? Ya? Please..,"
Deva menatap Rezeva sambil menahan tawa. Tampang Rezeva saat ini benar-benar lucu menurutnya. Puppy eyes, hidung yang dikerutkan, dan bibir yang dilengkungkan ke bawah. Tetapi karena Deva masih mempunyai hati dan tidak ingin merusak akting adiknya ini, ia setengah mati untuk memasang tampang cool.
"Ga mau," jawab Deva dingin. Rezeva menatap Deva kesal. Dilangkahkan kakinya pergi dari hadapan Deva.
Deva menatap Rezeva dengan senyum di wajahnya, gue punya rencana yang lebih baik, Dek, batinnya.
---
Bulu kuduk Raharda terus meremang. Entah sudah berapa kali. Mungkin puluhan. Atau mungkin ribuan kali.
Pikirannya terlempar jauh tentang kejadian di sekolah tadi Tentu saja dalam kata 'sekolah', ada kata 'Revalda' disana.
Gue bisa masuk rumah sakit jiwa, batinnya.
Tangan Raharda terulur untuk melihat-lihat koleksi buku di rak meja belajarnya.
SREK
Kening Raharda mengkerut saat secarik kertas berwarna biru yang sudah lecek, terjatuh ke lantai marmer kamarnya tepat saat ia menarik salah satu buku favoritnya.
Badan Raharda membungkuk guna mencapai kertas itu.
'Untuk Zain Raharda' bunyi kalimat pertama kertas itu.
Oh, kertas ini, batin Raharda.
Raharda berjalan menuju sisi tempat tidurnya lantas duduk di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raharda [ON HOLD]
Teen FictionMelupakan itu kaya tiket lotre. Kadang berhasil-tapi-kadang juga gagal. Melupakan itu bisa tercapai kalau ada penunjangnya. Salah satunya; si 'yang akan dilupakan' ga masalah kalau dilupain. Tapi gimana kalau si 'yang akan dilupakan' itu lagi dalam...