Raharda terus mengamati gadis yang tadi sempat ia ganggu pagi nya.
Rezeva.
Entah mengapa, tapi ia merasa janggal dengan ekspresi wajah Rezeva.
Saat ia tak sengaja melihat wajahnya saat membagikan tugas portofolio dari Bu Ninik, wajah Rezeva tersenyum sangat lebar. Lalu saat ia sekelompok dengannya-Siska-dan-beberapa temannya yang lain, saat itu ia melihat wajah Rezeva bete setengah mati. Lalu setelah itu Raharda melihat Rezeva menatap nya dengan tatapan yang-em-ingin membunuh (mungkin).Tak ingin merasa tak enak terus akhirnya Raharda dengan sengaja menarik Rezeva ke belakang sekolah saat bel pulang berbunyi, yang tentu saja dibalas berontakan dan bermacam-macam jenis misuhan oleh Rezeva.
"Diem, Rez! Gue ga mau ngapa-ngapain lo! Ga usah teriak-teriak deh," sentak Raharda. Dan tentu saja membuat Rezeva bungkam. Bahkan tanpa mengeluarkan suara pun Rezeva dapat bungkam hanya dengan melihat tatapan Raharda (cielah cielah).
"Gue salah ngomong apa sih sama lo tadi pagi? Kok lo sampe ngeliatin gue segitunya?" tanya Raharda to the point.
"Gu-gue? Ngeliatin lo? Mata lo udah juling kali ya?" jawab Rezeva jutek sambil memutar matanya, padahal hatinya sudah meloncat-loncat di atas trampolin.
"Iya, mata gue udah juling karena kecantikan lo," mata Rezeva membulat. "Rez, gue suka sama lo. Lo mau ga jadi pacar gue?"
DUAR
Rezeva mengerjapkan matanya tak percaya. Persetan dengan suara yang ia dengar itu. Entah itu memang suara petir atau efek lebay yang memang diharapkan telinganya. Yang Rezeva tahu pasti, hatinya sedang mengadakan festival drum masal. Menciptakan alunan musik tak enak di dengar yang membuat tubuhnya lemas. Membuat wajahnya tiba-tiba terasa panas. Mendidih. Siap untuk dituangkan ke dalam gelas. Dicampur dengan kopi dan juga gula.
"Rezeva," panggil Raharda lembut sambil menggerakkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Rezeva.
"Gue mimpi apa? Kok cowok yang gue suka bisa bales perasaan gue?" gumam Rezeva. Raharda menatap Rezeva. Lalu tak lama tangannya menarik tangan Rezeva meninggalkan tempat itu.
---
Deva menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya sejak pulang sekolah tadi. Berguling-guling di atas tempat tidur, berloncat-loncat di atas sofa, menyetel musik dangdut keras-keras, dan mengadakan konser ala Rhoma Irama--yang sebenarnya bukan gayanya. Dan jangan lupa, teriakan Rezeva yang terus menggema ke seluruh bagian rumah.
Aku.
Ditembak.
Raharda.
Bahkan lagu band rock manapun tidak dapat mengalahkan teriakan Rezeva.
"Dek," Deva menutup buku Fisikanya dan menaruhnya kesal di atas meja. Rezeva tidak menggubris panggilan Deva, malah terus asik meremas-remas bantal di pangkuannya seraya tersenyun seperti orang gila. Dan jangan lupa, masih berteriak tiga kata itu.
"Dek!" panggil Deva dengan lebih keras. Rezeva akhirnya menatap Deva dengan penuh tanda tanya.
"Kena-"
"Lo ga bisa diem, ya? Gue tuh lagi belajar! Be-la-jar! Besok gue ulangan fisika dan gue harus dapet bagus. Lo dari tadi loncat kesana-kemari, nyalain musik keras-keras, teriak-teriak ga jelas. Udah deh Rez, telinga gue sakit denger teriakan lo,
"Lo tuh cuma ditembak. Apa harus segitunya? Lo boleh seneng sampe melayang, tapi jangan ganggu gue. Lagian lo ga tau Raharda emang suka sama lo atau ga. Paling dia cuma kesambet terus nembak lo. Besok dia pasti udah lupa sama lo,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Raharda [ON HOLD]
Teen FictionMelupakan itu kaya tiket lotre. Kadang berhasil-tapi-kadang juga gagal. Melupakan itu bisa tercapai kalau ada penunjangnya. Salah satunya; si 'yang akan dilupakan' ga masalah kalau dilupain. Tapi gimana kalau si 'yang akan dilupakan' itu lagi dalam...