Chapter 8 : Si Bunglon

257 30 0
                                    

"Ketika ada seseorang yang berusaha merebut kebahagianmu, apa yang akan kamu lakukan??"

=====《FaBell》=====


Sudah sebulan ini aku terapi dan aku bangga sendiri mengenai hasilnya. Aku sudah bisa menggunakan tongkat lho? Sebuah kemajuan, bukan?

Setiap hari aku selalu terapi ditemani sama pacar tercintahku lho? Aelah apaan sih, Bell, hahaha. Iya gitu deh. Setiap kali aku terapi pulang sekolah, kak Alif selalu menemaniku terapi. Dia selalu saja menyempatkan waktunya di kala sibuk-sibuknya dia sedang mengerjakan skripsi. Aduh, jadi makin sayang kan gini ini.

Hari ini adalah hari pertama aku berjalan dengan menggunakan tongkat. Rasanya bahagia banget gitu seperti berjalan biasa. Tangan kiriku juga sudah nggak terlalu nyeri lagi jadi aku bisa membawa dua tongkat untuk menyanggah kedua kakiku.

Tapi, aku heran aja gitu dengan sikap kak Alif yang akhir-akhir menjadi romantis dan sangat-sangat perhatian sekali padaku. Aku bukannya mau berpikir yang gimana gitu ya,cuma kan aneh aja gitu. Apalagi mas Raffa. Ish, dia juga selalu ikut-ikutan untuk mengantarku terapi.

Sebenernya sih gapapa, cuma kan aku tahu kalau mas Raffa pasti sibuk dengan perusahaan papa sampai tetek bengeknya. Dan setiap kali aku bertanya kenapa selalu ikut mengantarku terapi kalian tahu jawabannya? Kan aku pingin liat adikku yang unyu-unyu ini bisa jalan lagi. Aneh banget jawabannya itu. Nggak searah dengan pertanyaanku.

Iya udahlah. Biarkan saja. Aku juga nggak mau berpikiran yang macem-macem kok tentang mereka. Mungkin mereka mendapat hidayah kali ya agar bisa berdekatan denganku? Hahaha, ngarang kamu, Bell.

"Kok melamun sih, Sayang? Ayo makan sarapannya, entar keburu siang. Telat lagi." Lamunanku terbuyar ketika melihat kak Alif dengan sendok ditangannya dan siap menyuapiku. Spontan pun aku langsung menerima suapannya.

Dia tersenyum manis. Sangat manis sekali seperti permen. Yailehhh ....

"Setelah kuliah, kamu mau nerusin pekerjaan kamu dimana, Nak Alif?" Suara Mama berdengung di meja makan. Kak Alif yang masih sibuk menyuapiku mendadak memberhentikan aktivitasnya. Dia meletakkan sendoknya di atas piring dan menatap mama.

"Saya berpikiran untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang dipegang ahli sama Mas Raffa, Tante, tapi .... "

Dia menggantungkan ucapannya dan membuat seluruh pasang mata disini menatapnya. Termasuk aku.

"Tapi ... papi mengutus saya agar saya memegang saham perusahaannya."

"Itu bagus lho, Nak Alif. Diumur kamu yang baru lulus kuliah sudah bisa memegang saham perusahaan papimu sendiri." Papa menyahut semangat. Memang seperti itulah papa. Jika ada seorang pria yang bekerja di suatu perusahaan, pasti papa sangat antusias sekali mendukungnya.

"I-iya, Om. Tapi saya memegang saham perusahaannya yang berada di ... Los Angeles, Om." Hening. Mendadak hening seketika. Apa pun yang ada di pikiranku sekarang mendadak berhenti juga. Aku menatap kosong ke depan tanpa menatap siapa pun juga. Sebuah tangan yang mendarat lembut di punggung tanganku dengan spontan aku menepisnya. Entah tangan siapa itu.

"Bella berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Aku anter, Sayang."

"Nggak usah. Aku dianter Mas Raffa aja. Ayo, Mas." Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan air mataku yang akan runtuh saat itu juga. Entah kenapa rasa sesak tiba-tiba menyerangku. Aku juga tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Rasanya sakit, perih sekali.

Mas Raffa membukakan pintu untukku dan meletakkan tongkatku di belakang. Dia menatapku sekilas sebelum akhirnya menancap gas. Aku menunduk dalam diam dan bisa kurasakan rok sekolahku yang basah sedikit demi sedikit. Menangis? Iya, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menangis dalam diam dan hanya suara isakanku yang terdengar.

FaBellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang