Di sebuah istana, seorang pemuda duduk di atas awan. Matanya menerawang ke bawah. Ke dalam gelapnya malam bertabur bintang. Pemuda itu tidak menyadari seorang wanita duduk di samping dan menatap ke arah yang sama pada dirinya.
"Semuanya sudah siap, Lucius.", kata wanita itu. Lucius menghela nafas. Sebagai eksekutor dari nirwana, tiap titah dari mulutnya adalah kata-kata final yang tidak bisa dibantah karena setiap titah yang keluar adalah perintah dari semesta.
Ya. Semesta. Sekumpulan dewan berisi sekumpulan orang tua yang sok tau, sok suci, dan sok bijak.
Lucius membuang wajah. Tidak sudi membahas perintah yang seperti kutukan dari dewan gila itu.
"Aku tau kau tidak suka, Lucius. Tapi perbuatan Lunar memang pelanggaran berat. Kau tau kan penduduk langit sepertinya tidak boleh melanggar aturan sakral langit?". Lucius menatap tak percaya pada Lumina. "Ada apa denganmu? Apa kau dicuci oleh mereka?". Wanita itu menggeleng. "Tidak, Luc. Aku tidak dicuci mereka. Aku hanya berbicara dari sudut pandangku sebagai..."
"Persetan dengan kedudukanmu!". Lucius bangkit dengan gusar dan meninggalkan Lumina yang menghembuskan nafas pasrah.
Lumina menatap ke bawah. Ia tahu kakaknya akan menebarkan mimpi buruk ke semua orang, tanpa terkecuali jika ia semarah ini.
"Hah...". Ia menghela nafas dan menatap ke atas. Kepada istana di bulan yang terlihat kosong tidak berpenghuni.(Maria POV)
Aku sadar aku baru saja diseret oleh Kazuma ke kamarnya. Namun, kenapa di kamar ini justru aku menemukan seorang wanita yang menatap... rindu padaku?
"Lunar...", panggil wanita tersebut. Ia membuka lebar tangannya. Berharap aku menghamburkan diri padanya. Aku secara spontan menggerakkan kaki ke arahnya dan memeluknya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ada sebuah perasaan rindu yang entah kenapa muncul setelah melihat mereka.
"Kau harus siap, Sayangku. Kau harus siap!". Aku menatap bingung pada wanita ini. "Kau akan tau nanti. Sekarang... ikuti tali ini dan ikutilah seorang wanita yang akan menghampirimu ketika great eclipse tiba.", ujarnya seolah tahu apa yang ingin kutanyakan.
"Tapi..."
"Tidak ada waktu, Sayang.". Ia menoleh ke kanan dan kiri. "Pergilah, Sayangku.". Ia mengalungkan sesuatu di leherku. "Kalung ini akan bersinar saat great eclipse dan saat itu tiba, ikutilah gadis yang menemuimu saat itu. Berjanjilah padaku!". Ia menggengam erat tanganku. Aku hanya mengangguk dan mengikuti sebuah tali. Aku menoleh ke belakang.
Ruangan yang tadi kudatangi hancur dan perlahan mendekatiku. Aku berlari seraya mengikuti tali itu. Aku terus berlari... berlari... hingga...
"Nona, apakah kau tidak apa?". Aku membuka mataku. Kulihat maid yang menjagaku sejak aku berada di sini menatap cemas diriku. "Ah... apa yang terjadi padaku?", tanyaku seraya menegakkan tubuhku.
"Anda pingsan saat melihat Yang Mulia, Nona."
Yang Mulia?!
Aku mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?!". Sebelum maid itu menjawab perkataanku, seorang pemuda membuka kasar pintu kamarku.
"Kau!!!". Ia menarik tanganku dan menyeret paksa diriku ke sebuah kereta yang sudah disiapkan.
"Bawa dia!", perintahnya. Sang kusir mengangguk dan ia membawaku menjauh dari istana.
Ada apa ini!? Kenapa pria itu sebrengsek itu mengusirku? Apakah... Yang Mulia yang memintanya?
Entah mengapa setetes air mata mengalir dari pelupuk mataku.
Kereta itu terus membawaku melewati hutan hingga berhenti di sebuah tempat. Sang kusir turun dan menurun paksa diriku sebelum membawa keretanya pergi dari hutan.
"Hei... hei...!!!", panggilku. Namun kereta itu tidak berhenti. Kereta itu terus melaju tanpa memedulikanku.
Aku menatap sekitarku. Aku bergidik. Suasana di hutan ini sangat mencekam meskipun masih pagi. Aku menggigil karena hutan ini sangat dingin.
Apakah aku di utara?!
Aku meneguk ludahku. Jika seseorang di buang ke utara, sudah pasti dianggap penjahat kelas kakap di selatan. Aku menangis sembari mengusap bahuku.
Apa salahku?! Mengapa Yang Mulia membuangku?!
Aku terus melangkah hingga kakiku tak kuat lagi menopang tubuhku. Aku tetap menangis sementara butiran salju mulai berjatuhan dan menimbun diriku.
(Javier POV)
Aku terbangun. Javelin memeluk erat diriku sementara Devionne mengusap air matanya. Aku mengernyit. Ada apa ini?!
"Syukurlah, Kak! Akhirnya kau sadar.". Aku hanya mengelus lembut kepalanya.
"Syukurlah kau sudah sadar, Jav.". Aku hanya tersenyum tipis menanggapi kata-katanya.
Sementara dua manusia ini bersuka cita dengan keadaanku yang pulih setelah entahlah... aku sendiri tidak tahu berapa lama aku tertidur, sebuah gambaran seorang gadis berambut pirang tertimbun salju muncul di mataku. Bersamaan dengan gambar itu, sebuah rasa sakit menyerang ulu hatiku.
"Kakak!"/"Javier!"
Dua orang itu menatap cemas diriku. "Aku... tak apa.". Aku menggenggam tangan Devionne. "Siapkan... kudaku...", kataku tersengal-sengal. "Tapi, Jav..."
"Siapkan kudaku!!", bentakku. Devionne mengangguk dan ke luar dari kamarku. Aku bangkit namun dicegah oleh Javelin. "Kau mau kemana, Kak?!". Aku mengacuhkan perkataannya dan berjalan tertaih-tatih menuju kudaku.
"Kak...", panggil adikku saat melihatku menaiki kudaku. Devionne menatap cemas diriku yang memaksakan berkuda di saat sakit dan salju turun cukup deras.
"Hia!!". Aku memacu kudaku. Membuat penjaga gerbang kelabakan membuka pintu saat kudaku melaju dengan kencang.
Aku dan Devionne terus melaju melewati pohon-pohon pinus yang berdiri di sekeliling kami.
"Hiah!!". Aku terus membawa kudaku. Aku tidak tahu kemana aku pergi. Aku hanya mengikuti rasa terbakar yang semakin menjalar di pelipis kananku.
"Hih...". Kudaku tiba-tiba berhenti. Aku mengelus kepalanya. "Ada a...". Mataku tertuju pada satu sosok yang tertimbun salju.
Aku bergegas turun dan menghampirinya. Semakin aku berusaha mendekatinya, pelipis kananku semakin sakit. Namun, aku tak peduli. Seperti besi yang tertarik magnet, aku perlahan mendekatinya.
Aku tercekat. Wajah itu. Wajah yang sering muncul dalam mimpiku akhir-akhir ini.
"Ukh!!". Aku memegang pelipisku. Aku sudah tidak kuat lagi. Buru-buru kuminta Devionne yang sudah turun dari kuda menaruh gadis ini di kudaku.
"Javier, kau..."
Aku menggeleng. "Ayo... kita pulang!". Devionne mengangguk dan sekali lagi kami melewati pohon-pohon pinus yang berdiri di sekitar kami.
----------------------------------------------------------
"Ukh...".
Maria mengerang pelan. Perlahan ia membuka matanya. Ia memandang sekeliling ruangan. Ruangan ini... sangat berbeda dengan ruangan Yang Mulia. Maria menggeleng pelan. Tidak! Ia tidak boleh mengingat orang tersebut. Bukankah... orang tersebut ingin membunuhnya?!
Kreeet...
Maria menoleh tak kalah suara decitan pintu terbuka menampilkan seorang gadis yang tersenyum padanya.
"Ah... kau sudah sadar rupanya.". Maria memandangi gadis tersebut. Siapa dia?!
"Ah... maafkan aku. Aku belum memperkenalkan diriku."
"Namaku Javelin dan selamat datang di utara!"
Mata Maria seakan ingin loncat ketika ia mengetahui siapa gadis yang ada di depannya.
"Javelin... apakah ia sudah..."
Javier terdiam ketika matanya bertemu dengan mata biru Maria. Mata yang selama ini sering menghiasi tidurnya dengan air mata.
"My lune..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan... Utara... Selatan...
Roman d'amour500 tahun telah berlalu... Namun... Ingatan itu terus terbayang layaknya layar film yang terbentang... Selalu bergaung layaknya cerita yang dibisikkan di telinga sebelum tidur... Ini sudah 500 tahun... Namun... Tak seorang pun dapat melakukannya... ...