Fact(s) - end

954 99 4
                                    

Ia terusik dalam tidurnya ketika sebuah lengan dirasa mengunci geraknya. Kemudian ia tersadar dan berbalik menghadap pemilik lengan itu.

Ditatapnya wajah Mark begitu damai dalam tidurnya. Wendy merapikan ujung-ujung anak rambutnya. Setahun berlalu semenjak terbangun dengan ingatan yang kosong, selama ini yang ia tahu hanyalah Mark.

Jauh dalam benak hatinya, Wendy merasa bersalah pada Mark.

"Kau begitu baik padaku, Mark. Apa sungguh kau pernah meminta orang sepertiku menjadi istrimu?" Wendy berdialog dengan orang tidur.

"Maafkan aku, aku selalu menghindar. Firasatku mengatakan sesuatu yang buruk, Mark."

"Aku takut, aku takut setelah mengetahuinya, aku semakin terpuruk dan malu untuk menemuimu."

"Sedangkan aku tak bisa jauh darimu."

"Seharusnya kau tinggalkan aku dari awal Mark, aku tak pantas, aku ini gila." Cicit Wendy dengan nada bergetar dan melepas dekapan Mark.

Wendy beranjak meninggalkan kamar setelah mengecup kening Mark.

Begitu suara pintu tertutup terdengar, setitik air mata lolos dari mata yang terpejam itu. Air mata yang setahun ini luar biasa ia tahan.

"You deserve it, honey."

***

Suara dentingan sendok menemani acara sarapan mereka, padahal sudah berulang kali Mark mencari topik pembicaraan, namun Wendy tetap bergeming.

Drrtt... drrtt....

Mark mengeluarkan ponselnya. Dilihatnya nama Jackson di layarnya. Mark pun beranjak meninggalkan ruang makan setelah mencium kening Wendy terlebih dahulu.

Digesernya layar ponsel itu.

"Ha-"

"Ya! Kubilang juga apa! Kau resign sajalah, toh hartamu tak akan pernah habis meski kau tak bekerja seumur hidupmu! Jadi kau tak perlu merepotkan orang lain untuk membolos." Cerocos orang di sebrang tak sabaran. Mark memijat keningnya pening.

"Ya, ya, ya, apalagi Nyonya Jackie?" Sahut Mark.

"Apa kau bilang?! Kau mengataiku?!"

"Kau bahkan lebih bawel dari Wendy." Sahut Mark enteng.

"Wendy, Wendy, Wendy, selalu dia yang kau sebutkan. Lihat sekarang, siapa yang dulu menolak mengatakan jatuh cinta padanya?! Kan sudah kubilang jangan pernah meragukan ucapanku."

"Tutup mulut monyongmu itu, Jack. Aku lelah. Oh ya, aku akan di sini sehari lagi. Tolong katakan aku perpanjang cuti ya. Thanks!" Ujar Mark yang langsung memutus sambungannya.

Ia memasukkan kembali ponselnya dan bergegas masuk untuk menemui Wendy lagi.

Wendy terkejut ketika keluar ruang makan, ia mendapati Mark. Wendy langsung membuang mukanya gugup. Padahal ia sudah bertekad untuk mendengarkan segalanya hari ini.

Mark menghampiri wanita itu dengan seulas senyumannya. "Maafkan aku, aku tak akan lagi memaksamu, kita jalan-jalan saja ya hari ini."

Wendy menunduk dalam-dalam. "Bagaimana?" Tanya Mark sambil mengangkat dagunya, agar Wendy menatap Mark.

Wendy menggeleng. "Aku sudah siap."

Mark terdiam sejenak.

"Maksudmu, Kau yakin?"

Wendy pun mengangguk. "Dengan satu syarat."

Mark mengerutkan keningnya.

"Apapun yang terjadi padaku di masa lalu, aku ingin kita berpisah setelah aku mendengarnya." Ujar Wendy dengan mantap. Tak pernah semantap ini.

Heartless //under constructionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang