The Accident✅

1K 122 9
                                    

Sepasang tangan putih mulus mengepal kuat. Kuku panjang yang dicat hitam itu menusuk telapak tangannya di tengah dinginnya malam yang menggerogoti. Setelah berkendara tak tentu arah selama berjam-jam, sesuatu dalam dadanya tak kunjung padam. 

Ia kembali menyalakan mesin sportage hitam itu dan mengendarainya dengan gila. Matanya menatap nyalang ke jalanan, emosi berkilatan di mata hazel yang diturunkan dari ayahnya itu. Dan mata itu termasuk salah satu hal yang ia benci. Semakin ia berusaha melepaskan segala perasaan buruk dalam dirinya, semakin pula mereka menggerogoti dirinya. Mungkin ia hanyalah untaian takdir buruk yang bernapas. 

Fatal. Diantara gelapnya malam, kabut turun dan mempersempit jarak pandangnya. Hingga sesuatu menghalanginya. 

Boom.

Benar-benar takdir buruk yang menghampirinya.

*********

Pagi hari ini ternyata suhu semakin negatif dan nampaknya stasiun pertelevisian, kantor polisi, dan rumah sakit mendadak jadi semakin sibuk.

"... Sebuah mobil pribadi telah menabrak pembatas jalan di Jalan Gwanghamun menuju jembatan Dong-Ho. Korban dalam keadaan kritis di rumah sakit Universitas Andora dan dikabarkan merupakan seorang musisi berinisial W,"

Kurang lebih begitulah sepenggal berita yang disampaikan salah seorang pembaca berita pagi hari ini. Surat kabar, laman online, dan juga papan bergerak di jalanan kota pun mengabarkan yang sama.

"Tim forensik dan kepolisian belum bisa memutuskan bagaimana kejadian sebenarnya. Karena korban belum sadarkan diri dan ini merupakan kecelakaan tunggal. Kabut turun begitu tebal, sehingga CCTV tak terlalu membantu. Selain itu, ditemukan juga banyak luka-luka kekerasan fisik di sekujur tubuhnya," Begitu penuturan Tuan Lee ㅡkepala kepolisian setempat.

***

Mark panik bukan main. Cuti yang sengaja ia ambil hari ini harus lenyap ketika kenikmatan cutinya itu baru sampai pada tahap bangun dengan secangkir kopi dan menyalakan televisi. Dengan kemeja navy, celana hitam, dan kacamata hitam dia berjalan tergesa menuju kantornya. Bukan, bukan untuk bekerja. Tapi berita lakalantas tunggal itu merenggut seluruh perhatiannya.

Ia bertemu dengan Kang Seulgiㅡ seorang jurnalis wanita yang seumuran dengannya. Ia kaget, karena setahunya Mark telah mengambil cuti yang cukup panjang. Namun melihat tatapan Mark, Seulgi segera memahami situasi.

"Oh, Markㅡ kami akan melakukan rapat darurat. Kurasa kau sangat tertarik untuk bergabung," ujarnya dengan senyum miring.

"Segera," sahut Mark tanpa membuang waktu.

***

"Kita kan bukan polisi yang harus memecahkan kasus ini," protes Lily, si jurnalis yang duduk di pojok dengan dandanan berwarna pink terang dari atas sampai ke bawah.

"Tapi kita bertanggung jawab untuk mengumpulkan berita yang faktual dan menghilangkan segala kebohongan," Mark tak ingin kalah.

"Oh, Mark, jadi kau pikir berita tentang kecelakaan musisi sakit jiwa itu adalah sebuah kebohongan? Kau terlalu naif, bung. Apakah tubuhnya yang terbujur kaku itu bukanlah sebuah fakta?" ujar Niel santai memancing harimau dalam tubuh Mark.

"Kau tak seharusnya menyebut dia seperti itu, Niel!" Mark mulai bangkit dari duduknya.

"Oh, God. Tolong hargai kehadiran yang lain dan kembali pada topik pembahasan kita," Ujar Seulgi menengahi mereka.

"Bambam, bagaimana hasil CCTV di TKP?" Tanya Seulgi pada Bambam, jurnalis junior yang imut namun sangat cekatan.

"Kami tidak mendapatkannya karena untuk keamanan dan masih dalam penyidikan polisi. Namun, menurut mereka, CCTV pun tidak begitu jelas dikarenakan kabut turun sangat tebal pada saat kecelakaan terjadi," jelasnya.

"Setidaknya kita dapat melihat dari cahaya lampu yang berasal dari mobil untuk memastikan bahwa itu benar-benar kecelakaan tunggal," ujar Haneul kritis. Yang lain mengangguk. "Kita semua tahu, jalanan Gwanghamun adalah jalan utama yang tidak pernah benar-benar sepi." Lanjutnya.

Sementara Mark, banyak hal yang mulai berkonflik di pikirannya. 

***

"Maaf, anda dilarang mendekat," seorang penjaga keamanan dengan pakaian serba hitam menghentikan langkah Mark. 

"Saya bukan media, saya sahabatnya," sahut Mark santai.

Pria tadi cukup tercengang dengan penuturan Mark, dan begitu saja mempersilakannya masuk. Ternyata mengelabui penjaga itu jauh lebih mudah dari yang Mark pikirkan. 

Pintu ruangan serba putih itu terbuka begitu saja setelah diketuk dan tanpa sahutan beberapa saat. Irene yang melamun bangkit begitu saja dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang terbuka. Matanya seketika membulat seperti melihat hantu di siang hari. Tidak. Maksudnya, malaikat yang ini sangat tampan. 

Mark tersenyum hangat melihat keterkejutan Irene. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Irene. 

Mark hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung juga bagaimana menjelaskannya. "Di sini saja," Irene langsung menuju sofa di ujung ruangan, begitu melihat kecanggungan antara Mark dan dirinya. 

"Bagaimana keadaannya?" tanya Mark sambil menatap ke arah wanita itu yang terbaring koma dengan peralatan di sekujur tubuhnya.

Irene mengangkat alisnya. "Seperti yang kau lihat."

Keheningan melanda sesaat.

"Jadi, bolehkah aku tahu apa yang terjadi diantara kalian? Kau begitu mencurigakan akhir-akhir ini," tanya Irene to the point untuk membayar rasa penasarannya.

Mark menunduk dan menggeleng kecil, senyumnya tertahan. "Tidak ada yang terjadi. Kecuali jika kau memercayaiku untuk mendekatinya,"

"Apa niatmu yang sebenarnya?" Tanya Irene penuh selidik. Ini adalah pertama kalinya seseorang menyatakan dengan tulus ingin dekat dengan sahabatnya itu.

"Kau boleh memercayaiku untuk saat ini," sahut Mark lagi.

"Bagaimana pun keadaannya?" tanya Irene lagi.

"Kau boleh menceritakan apapun padaku mulai saat ini," namun Irene terdiam kembali. Ia menggigit lembut bibir bawahnya, Ia masih meragukan Mark.

"Aku datang kemari sebagai diriku sendiri. Aku tulus ingin mendekatinya dan membantunya, dan tentu saja aku tertarik padanya," Ujar Mark meyakinkannya.

Irene menghela napas berat. "Ini adalah hal yang benar-benar rumit, Mark,"

Dan Mark mengangguk meyakinkan.

***

Wendy tersesat dalam sebuah ruangan yang gelapnya bukan main. Ia terus merentangkan tangannya, mencari pegangan ataupun secercah cahaya. Tenggorokkannya seakan tersumbat sehingga tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.

Berkali-kali ia terjatuh pada permukaan yang terasa sangat keras dan kasar, hingga ia merasa celana jeans yang ia gunakan telah robek di bagian lututnya dan cairan pekat berbau anyir itu telah mengalir deras. Sungguh, ia hanya meraba-raba tanpa tahu dimana sebenarnya ia saat ini berada.

"Wendy," sebuah suara menakutkan memanggilnya dari belakang. Ia terkesiap dan mulai berlalu untuk menjauh. Namun lagi-lagi ia terjatuh hingga keningnya terbentur dan keringat itu bercampur dengan cairan darah yang pekat.

"Wendy," suara itu memanggilnya lagi. Suara itu terdengar tak asing, namun ia takut bukan main. Mencoba untuk bangkit, namun tiba-tiba ia membeku ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya yang menegang.

Wendy sama sekali tak sudi untuk menengok ke belakang. Maupun itu sebuh pertolongan. Ia tak sudi mengingat siapa pemilik suara itu. Ia bergeming.

"Belajarlah untuk menyambut uluran tangan orang lain, cantik," Bisiknya.


***

Original: 27 Desember 2015

Revisi: 18 Maret 2020

Heartless //under constructionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang