Flashback

785 89 6
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00, tapi seorang pria masih setia bergelung di balik selimutnya.

Bugh..!

Bugh..!

"Ya! Apa kau akan terus tidur?!" Seorang wanita dengan celemeknya meneriaki pria itu setelah menyerangnya dengan bantal dan guling.

Pria itu menyipitkan pandangannya, menyesuaikan cahaya, kemudian tersenyum dan menarik wanita itu sekali hentak.

"Selamat pagi, istriku." Sapanya dengan wajah tampannya di pagi hari. Sedangkan sang wanita tersipu malu.

"Berhenti memanggilku seperti itu, Mark." Ujarnya.

"Tapi kan aku suamimu." Sahutnya lagi nada jenaka.

"Lupakan. Kau harus bersiap untuk pergi bekerja."

"Aku cuti." Ujar Mark sambil menarik lagi wanita yang hendak bangkit itu, lalu ia terdiam.

"Kita akan ke pemakaman hari ini." Wanita itu, seketika menunduk di duduknya dan melepas genggaman tangan Mark. Mark meraihnya lagi.

"Tidak ada penolakan, kau sudah berjanji padaku." Ujar Mark, namun wanita itu malah memandang Mark nanar.

"Aku belum siap." Sahutnya dengan nada bergetar.

"Kau bukannya belum siap, tapi kau selalu menghindari kenyataan, sayang."

Wanita itu hanya bangkit dari duduknya dan meninggalkan kamar. Mark menghempaskan kembali tubuhnya di kasur, ia menghela napas. Entahlah, keadaan belum benar-benar membaik.

***

Wanita itu menunduk dalam diam di samping Mark yang masih setia di balik kursi kemudinya. Padahal mereka telah tiba sejak lima belas menit yang lalu.

Mark melepaskan kacamatanya, beranjak keluar mobil dan memutarinya menuju pintu penumpang.

Ia menjulurkan genggamannya ketika pintu terbuka, "Kemarilah." Ujarnya tenang. Wanita itu mengangkat pandangan kecewanya pada Mark. Namun, akhirnya ia pun menyambut genggaman itu dengan tangan luar biasa bergetar.

Mereka berjalan beriringan sangat lambat. Hingga tibalah mereka di sebuah gundukan tanah dengan nisan di hadapannya. Wanita itu pun terjatuh berlutut begitu saja di depan nisan itu.

Entah apa yang ada di ingatannya kali ini, tapi wanita itu telah kehilangan memorinya sejak kejadian memilukan itu.

Entah ia memang sudah benar-benar mengingatnya, atau hanya karena tulisan 'Emily Gardella Son' pada nisan itu.

Mark membiarkan wanita itu tenggelam dalam tangisan yang begitu memilukan. Jujur, luar biasa ia tahan sesuatu yang berdetak membabi buta dalam dadanya.

"Mama..." Kata itulah yang tertangkap di sela isakan itu, yang membuat Mark terkesiap.

'Mungkinkah.....' batinnya.

Wanita itu tiba-tiba berhenti dalam isakannya, mengelap sisa air matanya dengan pilu lalu bangkit. Mark meraihnya dalam dekapannya.

"Apa yang terjadi dengan Mama, Mark?" Tanya Wendy.

JDERRRRR!!!

***

Rintik-rintik menggelapkan langit sore yang seharusnya menunjukkan jingganya.

Mark mengisap kopi hitamnya di balik jendela kamar motel, sedang Wendy terbaring kelelahan. Lelah yang tak terperi namun imajiner, antara jiwa dan raga.

Mark memutuskan untuk mencari penginapan karena tiba-tiba saja hujan turun sangat lebat ketika mereka di pemakaman.

Mark pun lelah. Akhirnya ia tersadar, setahun berlalu, selama ini ia hanya berpura tegar dan mampu untuk menghadapinya demi dia. Namun di balik itu, ia sama saja tak mampunya.

Heartless //under constructionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang