10. Saat Perpisahan

1.2K 31 15
                                    


"rio, betulkah itu.... Ibu ibu cantik itu mama kandungmu?". erwan menatapku menuntut penjelasan. Aku jadi bingung harus mengatakan apa, terlalu dini mereka harus sudah tau semuanya, sedangkan aku saja masih belum bisa meredakan keterkejutan yang kurasakan.
"iya rio.. Tadi aku dengar sendiri... Rio... Kamu... Anak ibu itu, gila rio.! Ibu itu punya mobil semewah itu... Dia pasti luar biasa kaya..!". teriak rian setengah histeris, seolah olah tak percaya dengan ini semua, aku tak perduli seberapa kaya ibu kandungku, ia bukan ibu yang baik untukku, meninggalkan aku selama ini, demi mengejar kekayaan... Bukan seperti itu ibu yang aku inginkan!. Aku cuma ingin bersama emak, karena emak dengan segala keterbatasan yang ia miliki, namun mampu membuat aku bahagia, bisa menjadi sosok ibu panutan. Salah besar kalau rian pikir aku silau harta.
"maaf rian, aku tak perduli berapa harga mobil dan sebanyak apa kekayaan ibu itu.... Memang betul ia yang melahirkan aku, tapi emak lah satu satunya ibu bagiku..". aku menjawab sedikit ketus sambil menendang kerikil merah yang tergeletak diatas tanah dibawah kakiku. Rian dan erwan saling berpandangan dengan heran, sepertinya mereka berdua agak kaget mendengar kata kataku barusan. Erwan mendekatiku dengan hati hati bertanya.
"rio, sepertinya kamu tak bisa menerimanya.. Aku mengerti kalau kamu nggak mau membahas ini, aku hanya ingin kamu baik baik saja sobat..."
"makasih wan, terus terang aku malas membahasnya, mendingan kita jalan jalan aja, malas aku ketemu ibu itu....!"
"jalan kemana rio, ini sudah sore..". tanya rian agak heran.
"terserahlah, aku cuma tak nyaman kalau ada ibu itu.."
"ya sudahlah, kita jalan sekarang..!". erwan memandangku dengan penuh pengertian. Rian mengambil sepedanya dibawah pohon, aku mengikuti erwan yang mengambil sepedanya juga. Tak sampai lima menit kami bertiga sudah berada dijalan, tanpa tau mau kemana. Erwan mengayuh sepedanya menyusuri jalan kecil belum diaspal, melewati pinggiran sungai tempat kami bertiga duduk beberapa hari yang lalu, aku lebih banyak diam, seperti mengerti, erwan dan rian pun ikut ikutan diam. Hari sudah semakin sore, cahaya matahari sudah mulai meredup karena matahari sudah mulai turun. Menurut perkiraanku, ibu kandungku sudah pulang sekarang, jadi aku mengajak rian dan erwan pulang, sebenarnya aku tak enak juga sama mereka. Mau bagaimana lagi, saat ini aku sangat butuh teman untuk melupakan sejenak masalahku. Sampai dirumah tepat seperti perkiraanku, tak ada lagi mobil ibuku. Aku turun dari boncengan erwan, menawari kedua temanku ini untuk mampir dulu, namun mereka menolak karena sudah hampir maghrib Mereka langsung pulang.
Setelah mereka berdua pergi, aku masuk kedalam rumah. Yuk tina sedang mencuci piring didapur, emak sedang mandi, sementara yuk yanti kulihat sedang mengangkat baju dari jemuran.
"adek darimana aja, tadi emak nyari nyari..". tanya yuk tina saat melihatku.
"rio malas yuk ketemu ibu itu, risih rio ia peluk peluk...". aku duduk disamping yuk tina.
"mungkin adek belum terbiasa aja... Nanti juga pasti adek bisa menyayanginya..". yuk tina menepuk bahuku, tersenyum dengan aneh.
"ayuk kok ngomong gitu, emangnya rio mau tinggal sama ibu itu, nggak lah yuk.. Rio kan tetap tinggal sama emak dan ayuk disini.”. Protesku sedikit heran juga, kenapa yuk tina bicara seolah olah begitu yakin kalau aku mau tinggal dengan ibu kandungku. Pintu kamar mandi terbuka, emak keluar dengan handuk terlilit dikepala. Begitu melihatku, emak langsung bertanya.
"rio ini darimana saja, dicari cari sama yuk yanti tadi.. Kok keluar nggak bilang bilang sama emak..?"
"malas mak ketemu sama ibu itu..". jawabku singkat sambil mengambil potongan daun pisang yang tergeletak diatas meja, kemudian aku menyobek daun itu seakan akan daun itu bersalah kepadaku. Emak menggelengkan kepala melihat kelakuanku, kemudian emak menghampiriku, menarik kursi lalu duduk disampingku.
"rio nggak boleh begitu, dia itu ibu kandungmu, yang sudah melahirkanmu, tadi dia sedih sekali waktu kamu mendorongnya... Ia bilang ia kangen sekali sama kamu nak, emak jadi tak tega waktu ia tadi menangis...". aku mendongak menatap emak. Ibu itu menangis... Perasaan tadi ia biasa biasa saja waktu aku menolak ia peluk.
"rio belum bisa menerimanya mak, rio masih canggung, bagi rio cuma emak lah ibu rio...!". kataku dengan keras kepala. Sekilas aku seperti melihat emak tersenyum senang, tapi cuma sebentar, emak langsung mengubah ekspresi wajahnya.
"sebentar lagi kamu ujian, setelah lulus kamu harus melanjutkan ke smu, ibumu sudah mempersiapkan semuanya, ia berencana untuk memasukanmu ke smu favorit di palembang.... Katanya ia akan membawamu pindah ke palembang nak.."
"mak rio nggak mau ikut ibu itu, rio cuma mau tinggal sama emak disini, boleh kan mak?". aku berharap emak mengiyakan namun jawaban emak sungguh membuat aku terkejut.
"sebetulnya emak tak keberatan, tapi rio tau sendiri bagaimana keadaan kita, emak ini orang susah, tak mampu lagi emak untuk menyekolahkan kamu, beban kita sudah semakin berat, emak tak bisa memasukkan kamu ke smu, hanya ibu kandungmu yang bisa mengatasi masalah itu.. Emak tak mau kamu jadi pengangguran nantinya..". kata emak dengan lembut, namun entah mengapa aku merasa seperti di tolak, emak mengatakan itu berarti emak mengisyaratkan kalau keberadaanku dirumah ini telah menambah beban bagi emak. Batinku menjerit, tak kusangka aku akan mendengar juga hal ini dari mulut emak. Tubuhku gemetaran, dengan gontai aku berdiri, meninggalkan emak dan ayuk ayukku di dapur. Aku masuk kekamarku, kemudian mengunci pintu. Suara adzan di masjid tak aku hiraukan lagi. Ranjang yang sempit cuma cukup untuk aku sendiri, tempat aku berbaring merenungi semua kejadian yang aku alami, mengenang hari hari aku melewati masa kecil hingga sekarang, bersama emak dan ayuk ayukku. Dalam susah dan senang, suka duka, apakah tak lama lagi semua ini harus aku tinggalkan. Sementara hatiku begitu berat untuk melakukannya. Namun aku juga tak mau menjadi benalu yang hanya menambah beban bagi emak. Aku tak ada jalan lain, terpaksa aku pergi dari sini. Meninggalkan emak, yuk tina, yuk yanti dan semua yang aku sayangi. Mengawali hidup baru entah dimana, aku akan berusaha untuk menerima, mungkin sudah saatnya aku memutuskannya. Aku akan mencoba untuk mengenali ibu kandungku, walaupun aku tak mengenalnya, namun aku tahu seorang ibu tak akan tega untuk melukai darah dagingnya sendiri. Tak terasa airmataku jatuh. Kenapa aku tak punya pilihan, aku hanya bisa menerima nasib. Terdengar suara ketukan di pintu kamarku, yuk yanti memanggilku untuk mengajak makan malam, tapi aku pura pura tak mendengar, hingga tak lagi terdengar suara yuk yanti. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh dari kamarku. Aku tertidur hingga pagi. Saat aku bangun rumah dalam keadaan sepi, kucari emak didapur tapi tak ada. Kenapa aku bisa tidur seperti orang pingsan. Perutku lapar, untung saja ada makanan diatas meja. Hari ini aku tak jualan, entah kenapa emak tak membangunkan aku. Tak biasanya emak tak berada dirumah sepagi ini, kemana emak? Hatiku jadi bertanya. Apakah mungkin emak yang berjualan sekarang? Membayangkan emak berjualan membuat aku jadi merasa bersalah, emak sudah tua, kasihan kalau harus berkeliling kampung menjajakan kue. Biasanya itu tugas aku dan kedua ayuk ayukku. Ku letakkan kembali kue yang baru aku gigit sedikit tanpa nafsu, laparku mendadak hilang. Jam didinding menunjukan pukul enam lewat sepuluh menit, aku harus mandi dan bersiap siap ke sekolah. Setelah mandi dan berpakaian, aku duduk diruang tengah menunggu emak. Tak lama kulihat yuk yanti pulang sambil membawa dulang yang telah kosong. Aku langsung bertanya pada yuk yanti. Ternyata betul dugaanku, emak menjual kue keliling kampung, menggantikan aku. Aku tak mengatakan apa apa lagi, sekitar lima menit kemudian yuk tina pulang, kue yang ia bawa masih ada tapi tak banyak, saat melihatku sudah memakai baju sekolah, yuk tina tersenyum.
"dek, tunggu ayuk ya, kita berangkat sama sama.." kata yuk tina sambil menaruh dulang diatas meja.
"iya yuk, tapi jangan lama lama, sudah siang, takutnya nanti kita telat ke sekolah..". aku menjawab sambil duduk lagi di kursi tamu. Yuk tina langsung kekamar mandi mencuci muka dan gosok gigi. Aku duduk menunggu sambil melihat lihat ke jalan, namun emak belum juga pulang. Yuk tina menghampiriku setelah ia telah siap. "berangkat yuk dek..". ajaknya sambil merapikan rambutnya.
"emak kok belum pulang juga yuk.?". aku berdiri kemudian mengambil tas diatas meja, memakainya ke punggung.
"mungkin emak agak siang..udahlah nggak usah nungguin emak, pesan emak tadi kita nggak usah nunggu emak...". jawab yuk tina sambil berjalan ke pintu. Aku mengikutinya.
"dek nih uang jajan adek, emak nyuruh ayuk yang ngasih ke adek, takut emak lupa..". yuk tina memberikan selembar uang seratus rupiah padaku. Aku mengambil uang itu dengan tangan sedikit gemetar. Entah kenapa rasanya aku tak pantas lagi menerima uang dari emak.
"ayo dek, nanti kita terlambat..!". yuk tina mempercepat langkahnya. Aku mengikuti yuk tina, kami berpisah di perempatan jalan. Sampai disekolah pun hatiku tak bisa tenang. Erwan yang duduk disampingku seperti mengerti dan tak banyak tanya saat melihat aku sedikit murung. Hingga jam istirahat, aku lebih memilih menyepi duduk sendiri dibelakang perpustakaan sekolah. Waktu keluar kelas tadi, aku buru buru pergi sebelum erwan atau rian sempat menghampiriku.Aku sedang tak ingin berbicara pada siapa siapa. Tak kan ada satu orangpun yang bisa menghiburku sekarang. Tak juga rian.... Hingga bell tanda masuk berbunyi, rasanya berat sekali kaki ini melangkah untuk kembali ke kelas. Aku berpapasan dengan rian didepan teras kelas, ia langsung menghampiriku dengan wajah bertanya.Aku buru buru masuk untuk menghindarinya. Erwan sudah duduk dibangkunya.
"kamu tadi kemana rio?". tanya erwan ingin tahu.
"memangnya kenapa? Tak boleh ya aku sendirian..". aku menjawab dengan ketus. Padahal erwan tak bersalah apa apa padaku, tapi entah kenapa rasanya aku jadi kesal dengan pertanyaannya itu. Erwan terdiam mendengar jawabanku, ia menatap aku, namun aku membuang pandangan ke arah jendela. Untunglah pak rahmat guru fisika cepat masuk, jadi aku tak perlu berlama lama menghindari erwan.
"rio.. Aku mau bicara sama kamu.. Pokoknya istirahat ini, kamu tunggu aku.. Jangan sembunyi lagi seperti tadi...". bisik erwan dengan nada perintah bukan meminta. Aku tak menjawab, pura pura sibuk membuka tas dan memilih buku pelajaran. Tas pemberian erwan.
"pokoknya kamu tak boleh begini, aku tunggu istirahat nanti.. Aku tak mau kamu diam seakan akan kita bermusuhan..!". erwan kembali berbisik sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"iya iya.. Aku dengar.. Aku belum tuli..!". jawabku tak sabar. Seisi kelas menoleh padaku, aku tersentak, rupanya tadi aku menjawab dengan keras.
"ada apa rio...?". tanya pak rahmat dari depan kelas sambil memandangku dengan tajam. Aku jadi kebingungan, pak rahmat guru yang killer, ia suka ringan tangan terhadap murid, sudah beberapa orang temanku yang pernah merasakan di tampar wajahnya oleh pak rahmat. Aku tak mau kalau sampai kena tampar juga olehnya.
"rio kurang enak badan pak...". erwan yang menjawab.
"betul rio?". tanya pak rahmat meyakinkan kalau aku memang sakit.
"iya pak.. ". jawabku pelan, aku tak bohong karena jujur saja kepalaku rasanya masih pusing.
"kalau sakit kamu istirahat saja di UKS, percuma saja kamu disini, tak bisa mengikuti pelajaran, malah mengganggu teman yang mau belajar..".. ujar pak rahmat penuh perhatian, memang teman teman tahu kalau aku sempat menginap dirumah sakit.
"biar aku yang ngantar rio ke UKS pak..!". erwan menawarkan diri. Pak rahmat cuma mengangguk kemudian berdiri menulis di depan papan tulis.
"ayo rio..". erwan membantuku berdiri, seolah olah aku tak bisa berjalan kalau tak ia bantu. Sebenarnya aku risih juga, tapi karena didepan kelas, aku tak mungkin menolaknya. Kami berdua keluar dari kelas, berjalan menuju ke ruang UKS.
"makasih erwan... Tadi aku udah gemetaran..". aku berkata sejujurnya.
"tak apa apa rio... Aku mengerti kamu lagi ada masalah, paling tidak kamu ceritalah, aku kan sahabatmu, tak perlu kamu merasa sungkan atau malu.."
"maaf ya wan.. Bukan maksudku bertingkah.. Tapi aku memang lagi ada masalah... Aku butuh ketenangan...". aku meminta pengertian dari erwan.
"masalah kemarin itu ya..?"
"iya..."
"mamamu mau membawa kamu bersamanya?"
"iya.."
"kamu mau..?"
"entahlah"
"kok entah?"
"aku bingung.."
"kenapa bingung..?"
"aku tak bisa memilih.."
"kamu bisa memilih.."
"emak menyuruhku ikut ibu kandungku.."
"terus..?"
"aku ragu.."
"jadi kamu akan pergi..?"
"kemungkinan..."
"kamu pindah dari bangka?"
"bisa jadi.."
"kenapa kamu nggak minta sama emak kamu agar diizinkan tinggal bersamanya?"
"emak tak sanggup lagi untuk menghidupiku..". erwan terdiam mendengar jawabanku barusan, langkahnya langsung terhenti. Aku memandang erwan dengan heran.
"kenapa wan?"
"jadi kamu akan betul betul pergi?". erwan mengulangi lagi pertanyaanya tadi. Aku terdiam sejenak sebelum menjawab. Aku tahu erwan adalah sahabatku yang terbaik yang aku punya. Aku pasti akan sangat kehilangan erwan nanti.
"rio.. Kita ke kantin aja yuk... Kita bicara disana.."
"sekarang sedang jam pelajaran wan... Tadi kita izin mau ke UKS, nanti kamu kena hukum sama pak rahmat...!". tolakku dengan halus.
"tak masalah... Aku tak ingin melihat kamu kalut seperti ini rio... Tentang pak rahmat nanti aku bisa hadapi..". erwan membantah dengan keras kepala.
"terserah kamu kalau gitu..". aku mengikuti erwan berjalan menuju ke kantin belakang sekolah. Sampai di kantin, erwan mengajakku duduk di kursi bagian dalam kantin, jadi tak terlihat kalau dari luar.
"kamu mau makan apa rio?". tanya erwan sambil menarik kursi. Aku baru teringat kalau dari semalam perutku belum diisi apa apa.. Masalah yang aku hadapi ini membuat selera makanku jadi hilang.
"kamu pesan aja untuk kamu sendiri.. Aku lagi gak pengen makan.."
"muka kamu pucat, pasti kamu tak sarapan tadi pagi.. Nanti kamu sakit lagi rio.. Kan yang repot emak kamu juga..". nasehat erwan dengan sabar. Aku merenung, kata kata erwan itu ada benarnya. Akhirnya aku mengalah dan memesan mie goreng pada ibu kantin.
"kok kalian nggak belajar.. Bolos ya?". tanya bu kantin sok tau.
"rio sakit bu, tadi udah diizinkan sama guru ke UKS, tapi karena ia belum makan, aku ajak kesini dulu..". jelas erwan sabar. Aku menyender dikursi. Melihat suasana sekolah yang sepi. Pohon akasia bergoyang ditiup angin, menjatuhkan bunga berwarna kuning tua ke tanah. Cuaca hari ini sedikit panas, keringat mengalir terus dari dahiku. Ibu kantin berbalik untuk mengambil pesanan kami. Sementara menunggu, erwan kembali bertanya padaku.
"aku berharap kita bisa kembali bersama di smu nanti rio.. Tapi sepertinya itu cuma angan angan saja...". cetus erwan dengan pandangan menerawang.
"aku juga berharap begitu... Tapi keadaan tak memungkinkan wan.. Emak tak mampu membiayai aku.. Walaupun aku terus memaksa untuk tetap disini, yang ada aku tak sekolah...". hampir aku menangis saat mengatakan itu.
"kalau soal itu, aku bisa ngomong sama mama.. Kamu kan bisa masuk program anak asuh.. Atau, kamu kan pintar.. Siapa tau kamu bisa dapat beasiswa...". erwan mencoba memberi jalan keluar, tapi aku ragu.. Aku tak mau selalu merepotkan orang, selama ini aku selalu diajarkan emak untuk selalu berusaha... Jangan menggantungkan hidup dari kebaikan orang lain.
"aku tahu niat kamu baik wan, .. Tapi tak segampang itu.. Beasiswa itu tak pasti.. Iya kalau aku dapat,.. Kalau nggak gimana?". aku balik bertanya. Erwan langsung terdiam.
"nah kamu sendiri juga bingung kan... Aku tak mau terlalu tinggi bermimpi.. Aku takut terjatuh lagi... Mungkin ini sudah garis hidupku.. Aku harus kembali pada ibu kandungku..". aku menghentikan bicara karena ibu kantin menghampiri kami sambil membawa dua piring berisi mie goreng dengan telur.
"makasih bu..". kataku pada bu kantin saat ia meletakkan piring diatas mejaku.
"bu, es jeruk dua gelas..". ujar erwan sambil menarik piringnya lebih dekat.
"jadi kamu sudah bulat benar benar ingin meninggalkan bangka..?". tanya erwan dengan sedih.
"aku bisa apa wan... Aku tak mau menambah beban bagi emak.. Kalau dituruti, sedih hati ini wan.. Meninggalkan orang orang yang aku cintai...". aku mengaduk aduk mie goreng dengan tidak berselera.
"dimakan rio.."
"iya wan..". aku menjawab sambil menyuap sesendok mie goreng, lalu mengunyahnya dengan malas. Aku tak enak hati sama erwan kalau tak memakan mie yang telah ia pesan.
"kalau kamu jadi pergi.. Jangan pernah lupa padaku ya rio...". suara erwan terdengar agak parau. Wajahnya agak menunduk seolah olah sedang mengamati isi piringnya.
"mana mungkin aku bisa melupakan kamu sobat.. Selama ini kamu telah baik padaku.. Bagiku kamu saudaraku wan.. Sahabat terbaik yang pernah aku punya...". aku mencoba menghibur erwan, sekaligus menghibur diriku sendiri yang tak yakin apakah nantinya aku mampu menghadapi semua ini. Apakah aku mampu berjauhan dengan emak. Sementara selama ini tak pernah satu haripun emak pergi dari rumah. Aku paling tak bisa ditinggal emak. Aku juga tak yakin nanti bisa bertemu teman sebaik erwan ditempat lain. Sahabat sejati tak mudah di cari. Aku belum bisa membalas kebaikan erwan padaku, walaupun aku begitu berniat. Selama ini aku tak pernah punya rejeki lebih untuk mentraktir ataupun membelikan sesuatu untuk erwan. Aku menghabiskan mie gorengku. Lalu minum es jeruk lewat sedotan. Kenyang rasanya perutku.
"nah gitu dong... Baru namanya anak pintar..". erwan menggodaku saat melihat piring di depanku telah kosong. Aku tersenyum lebar melihat wajah erwan yang lucu, aku tahu ia berusaha menghiburku. Erwan menghabiskan minuman dalam gelasnya.
"sekarang kita ke UKS Aja.. Nanti ketahuan sama pak rahmat..". erwan berdiri kemudian menghampiri bu kantin untuk membayar makanan kami tadi.
"iya wan, ntar dikira sama pak rahmat, kita berdua sekongkol berpura pura sakit biar bisa menghindari pelajarannya..". aku mengingatkan erwan. Jangan sampai ia mendapat masalah gara gara aku. Aku membuka pintu UKS, penjaganya kebetulan temanku juga anak kelas 3c. Namanya dewi, begitu melihat aku dan erwan datang. Ia langsung berdiri menghampiri kami dan bertanya.
"kenapa rio, kamu sakit lagi ya?". aku mengangguk, dewi menyuruhku masuk kedalam.
"aku cuma sedikit nggak enak badan aja kok wi.. Cuma mau baring sebentar..". cepat cepat aku menjelaskan, begitu melihat dewi membuka lemari untuk mengambil peralatan P3K.
"ini ada obat sakit kepala, kamu minum aja dulu agar lebih mendingan, setelah itu kamu tiduran aja.. Sebentar aku ambilin segelas air putih..". ujar dewi penuh perhatian. Anak satu ini memang pantas sekali menjadi perawat. Aku menelan sebutir obat sakit kepala yang diberi oleh dewi dengan bantuan segelas air. Sebenarnya aku paling malas minum obat, tapi sepertinya beberapa hari ini aku harus selalu berhadapan dengan yang namanya obat. Cuma gara gara tadi aku tak bisa menahan suara didalam kelas, aku harus terdampar di UKS.
"makasih ya dewi..". aku mengulurkan gelas kosong padanya. Dewi tersenyum dan mengangguk.
"sama sama rio.. Sekarang istirahatlah.. Aku mau duduk di depan dulu.. Tirainya perlu aku tutup nggak?"
"tutup aja wi... Agak silau sih..". aku melihat ke jendela dari kaca yang sinar matahari bisa menerobos melaluinya. Dewi menarik tirai hingga tempat tidur tak bisa terlihat dari pintu. Erwan berdiri disampingku, meraba keningku seolah olah aku memang betul betul kena penyakit yang parah.
"sedikit panas... Kamu tidur aja, aku mau kembali ke kelas.. Nanti aku kesini lagi..". ujar erwan sambil tersenyum lebar. Aku ikut tersenyum sambil mengedipkan mata. Setelah erwan pergi aku memejamkan mata, disaat sendiri seperti ini, pikiran yang tadi sempat sirna kembali datang. Aku akan meninggalkan erwan, dia adalah teman yang sangat baik, aku tak mampu membayangkan berjauhan darinya nanti. Erwan sudah banyak membantuku, ia begitu perhatian. Sahabat sejati yang pernah aku miliki. Mana mungkin aku bisa melupakan erwan. Ia akan selalu ada dihatiku. Walaupun nanti kami tak bertemu lagi. Aku akan selalu mengenang erwan. Aku tertidur sebentar dan terbangun karena sebuah tangan hangat sedang meraba leherku. Begitu aku membuka mata, ada rian dan erwan sedang berdiri sambil memandangku. Aku jadi salah tingkah.
"eh sejak kapan kalian berdiri disini.. Maaf ya aku ketiduran...". aku bangun lalu duduk diatas ranjang.
"belum lama kok, kami datang kamu langsung bangun, gimana udah mendingan?". tanya rian sambil duduk diatas ranjang. Rupanya tadi yang meraba leherku itu rian. 
"makasih rian, nanti aku pinjam catatan kalian ya.. Aku tak mau ketinggalan, soalnya kita udah mau ujian.. Kalau NEM ku kecil, bisa bisa aku nggak lulus.."
"santai aja rio... Kamu kan pintar, mana mungkin bisa ketinggalan..". hibur erwan. Aku tertawa mendengarnya.
"biasa aja kok... Aku kan nggak terlalu pintar pintar amat...". "tapi kalau dibandingkan denganku, kamu jauh lebih pintar.. Justru aku yang takut nggak lulus nanti.. Soalnya kalau ujian kamu nggak mungkin bantu aku kan...". seloroh erwan ikut tertawa.
"gimana nanti kita belajar sama sama.. Soalnya aku juga ingin lulus..". timpal rian tak mau kalah.
"loh.. Kamu kan biasa ngumpul sama rombongan vendi, kalian kan biasanya belajar sama sama...". aku menggoda rian sambil melirik pada erwan, sembunyi sembunyi mengedipkan mata. Karena satu kelas juga sudah tahu, kalau dulu, vendi pernah nggak naik kelas, seharusnya sekarang ia sudah duduk di kelas satu smu. Anak itu selalu mengandalkan harta orangtuanya untuk menutupi kelemahannya dalam belajar.
"gila apa... Mau belajar gimana sama mereka.. Tiap hari yang selalu di bahas mobil tamiya, kalau nggak, membahas cewek, motor, mobil, film.. Bisa bisa isi ujianku nantinya. Dash yankuro, saint seiya.. Mario bross dan mobil mobil keluaran jepang.. Ingat gak waktu ditanya sama bu irma siapa nama pemain tenis perempuan di indonesia, masak ia jawab yayuk suseno.....!". ujar rian sedikit sebal. Aku dan erwan tertawa terbahak bahak mengingat kejadian lucu itu. Waktu itu seisi kelas tertawa mendengar jawaban vendi, termasuk bu irma juga.
"eh.. Kok ribut ribut di UKS sih.. Ayo keluar.. Mengganggu aja..!". serempak kami bertiga menoleh ke belakang, rupanya dewi sudah berdiri di belakang kami.
"sudah agak baikan rio?". tanya dewi sambil berjalan menghampiriku.
"sudah wi, makasih banyak ya.. Maaf tadi udah bikin ribut..". jawabku sedikit tak enak hati.
"oh nggak apa apa.. Aku kira tadi rian sama erwan mengganggu kamu yang lagi istirahat..". rian turun dari ranjang saat melihat tatapan mata dewi yang agak berkerut saat melihat ia duduk diatas ranjang.
"kenapa, Kamu sakit juga?". sindir dewi agak mengejek. Rian cengengesan tak jelas sambil buru buru berdiri disamping erwan.
"wi aku udah sehat, makasih ya untuk tumpangan tidurnya.. Sekarang aku mau kembali ke kelas..". aku turun dari ranjang dan berdiri.
"ya nggak apa apa.. Aku juga mau ke kelas sebentar lagi.. Habis ini giliran rosita yang jaga disini..". ujar dewi sambil membereskan tempat tidur UKS.
"perlu dibantu nggak.?". goda rian sambil memasang senyum mautnya pada dewi.
"kalau nggak keberatan sih.. Aku minta tolong keluar dari sini, soalnya aku mau nyapu..!". balas dewi tak acuh. Aku dan erwan tertawa melihat wajah rian yang langsung berubah dari senyum menggoda menjadi ternganga.
"dasar cewek sok..!". gumam rian kesal, untung saja tak terdengar oleh dewi, kalau nggak... Bisa bisa sapu yang ia pegang mendarat dipunggung rian. Aku mengajak erwan dan rian keluar dari UKS, kemudian kami bertiga mencari tempat yang teduh dan tenang untuk mengobrol. Rian menunjuk ke pohon akasia didepan lab kimia, kami langsung berjalan dan mengambil tempat dibawah pohon itu. Aku duduk diatas bangku yang terbuat dari sebilah papan tebal. Sambil memandangi murid murid dari kelas satu hingga kelas tiga yang sedang menggunakan waktu istirahatnya. Ada yang bergerombol didepan kelas, ada yang berjalan hilir mudik sambil makan es, ada juga yang sedang latihan berbaris.
"rio... Kata erwan kamu mau pindah ya?". tanya rian tanpa aku sangka sangka. Aku menoleh pada rian dan mengangguk.
"kemungkinan... Aku juga belum tau..". jawabku pelan.
"padahal kita baru mau akrab ya rio.."
"kita kan bisa tetap menjadi teman... Tenang aja, walaupun jauh nantinya, aku tak akan pernah lupa sama kalian berdua...". aku berpura pura tenang, padahal dalam hatiku bergemuruh tak menentu. Aku sangat sedih membayangkan akan meninggalkan mereka berdua.
"aku harap juga begitu.. Aku jadi menyesal kenapa baru kenal kamu sekarang.. Dulu aku pernah kasar sama kamu.. Aku minta maaf rio..". kata kata rian membuat aku jadi makin sedih, aku juga menyayangkan kenapa baru mengenal rian, padahal setelah aku akrab dengannya ternyata rian sangat baik, kalaupun dulu ia pernah kasar, aku tak marah, aku sudah memaafkannya.
"tak masalah rian.. Sudahlah kenapa sih jadi pada sedih sedih begini.. Aku kan bukan mau mati...". selorohku sedikit garing. Rian dan erwan diam.
"loh kok malah melamun sih..". aku mengibaskan kedua tangan didepan wajah mereka.
"apa apaan sih rio.. Aku nggak melamun tau..!". sungut erwan sebal. Rian cengengesan tak jelas.
"rio, kapan kamu pindah?". rian bertanya sambil mengambil bunga akasia yang terjatuh tepat dibawah tempatnya duduk.
"kemungkinan setelah pengumuman kelulusan, soalnya ibuku pasti tau kalau nggak memungkinkan kalau aku pindah sekarang.. Jadi beliau hanya bisa membawaku setelah aku lulus...". aku menjawab seadanya.
"berarti masih satu bulan lebih kita bisa bersama sama..". timpal erwan yang sedari tadi sibuk menggaruk kakinya yang terkena gigit semut yang penuh dipohon akasia ini.
"iya.. Pokoknya tenang aja.. Aku pasti bilang kok kalau udah mau pergi nanti..!"
"kamu pasti lebih senang nanti, soalnya ibu kandungmu itu kaya sekali...". lagi lagi rian membahas tentang kekayaan ibu kandungku.
"rian aku udah bilang, tak perduli mau sekaya apapun ibuku, aku tak perduli, coba kamu yang jadi aku... Selama ini menganggap ibu yang ada dirumahmu itu adalah ibu kandungmu, ternyata bukan... Sedangkan kamu sudah terlanjur mencintainya dan menganggap kalau dialah ibu yang melahirkanmu.. Kamu tak merasakan betapa sakitnya harus pergi dan meninggalkan orang yang kamu sayangi... Apa arti kekayaan kalau kita harus kehilangan orang yang kita sayangi..."
"maaf kalau aku membuatmu tersinggung, tapi aku hanya ingin kamu tak merasa apa yang kamu jalani terlalu berat, pasti ada sisi baiknya juga... Mungkin saat ini belum kelihatan..". rian masih tetap mempertahankan pendapatnya. Aku tahu kata katanya itu ada benarnya juga, cuma aku yang tak bisa menerima hingga saat ini, aku belum merasakan sesuatu yang membuat hatiku bergetar saat bertemu dengan ibu kandungku. Sampai saat ini aku masih merasa ini seperti satu mimpi buruk. Rian berdiri lalu meloncat menggapai daun akasia, aku hanya duduk memperhatikan apa yang ia lakukan. Sementara erwan cuma diam tak mengatakan apa apa, mungkin ia memang sudah tak tahu harus mengatakan apa lagi. Hingga bell masuk berbunyi, kami tak membicarakan apa apa lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelangi Di Langit BangkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang