√Penjelasan pertama

265 21 0
                                    

Ame's POV

Aku pulang sekolah dengan Kak Ion, rencananya hari ini aku akan menginap di rumahnya karena kemarin Tante Diyah dan Om Leon akan pergi ke Karimunjawa, bulan madu. Lagi.

Sebelum pulang, Kak Ion mengajakku ke rumah Kak Fahreza untuk mengambil stik PS nya yang tertinggal. Setelahnya ia mengantarku sampai depan gerbang rumah, seperti biasanya.

"Jangan lupa Am. Ingetin Bang Tara kalo dia lupa," kata Kak Ion sambil mengacak pelan rambutku yang sudah berantakan setelah memakai helm.

"Iya iyaaaa, nanti jam 7 aku sampek bang," kataku cemberut sambil membenarkan posisi rambutku.

"Oke! Abang pulang ya dek!" Ucapnya mengecup pipiku dan dahiku yang menjadi kebiasaannya sekarang ini, Kak Ion pernah menanyakan pada Ayah boleh atau tidak mengecup pipi dan dahiku, dan Ayah membolehkan nya "itu masih wajar kali Yon, nggak papa." Tutur Ayah pada Kak Ion kemarin lusa saat Kak Ion mampir sebentar ke rumah.

Kak Ion memasukkan gigi motornya dan menghilang di telan tikungan ujung jalan.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore, dan aku bersiap-siap dengan diriku. Jam 6 aku menggedor kamar Bang Tara dan minta diantarkan, benar saja kata Kak Ion, Bang Tara hampir lupa dengan janji bersama temannya.

Setelah Bang Tara mengganti baju, aku berangkat dengannya menuju rumah Kak Ion dan menjadi penunjuk jalan karena Bang Tara belom mengerti rumah Kak Ion yang sebenarnya dekaaaat sekali dengan rumah Bang Al.

Setelah melewati gunung, lembah, sungai dan bebatuan, akhirnya kita sampai rumah Kak Ion.

"Bagus juga rumahnya," begitu kata Bang Tara ketika ia berhenti tanpa mematikan mesin mobil.

"Udah ah. Mampir nggak Bang?" tanyaku pada Bang Tara sambil mengambil tas baju ganti di jok belakang.

"Nggak deh. Gue udah ditungguin Al di Starbucks."

"Oh ya udah." Ucapku, padahal di hati ngebatin 'udah ada ojek onlen kenapa abang ga mau bilang kalo arah maennya nggak sama, bukannya hemat malah tambah uang bensin dan nggak ramah lingkungan kalo abang mesti muter balik ke starbucks'.

"Jangan macem-macem sama Darion. Nggak ada cium di bibir. Sampek abang tau, bakal abang bawain orang KUA buat langsung ijab qobul in kalian," kata Bang Tara santai.

"Iye Bang. Kapan sih Ame nggak nurut?" Tanyaku padanya yang kuakhiri dengan kecupan di pipinya.

"Udah turun sana. Ion juga nggak nungguin di depan. Nggak sopan tu bocah," kata Bang Tara celingak celinguk ngeliat teras rumah Kak Ion.

"Di dalem kalik, soalnya aku belum line ke Kak Ion," kataku dari luar mobil.

"Yaudah, abang pergi dulu, bye." Kata Bang Tara sambil menutup jendela mobil.

Setelah Bang Tara menghilang, aku mengetuk pintu rumah Kak Ion, namun tak ada jawaban. Aku memencet bel rumahnya, tak ada jawaban juga. Aneh. Aku menelfon nomornya juga sama.

Sampai akhirnya aku bersandar di pintu malah pintunya terbuka, kalo maling seneng ni, ngga perlu congkel-congkel langsung aja, sikaaat!

"Kak Ioon.." Panggilku dari ruang keluarganya. Rumahnya terang benderang, tapi suasananya justru mirip kuburan. Aku bergidik ngeri, pikiran jadi kemana-mana dengan sendirinya.

Aku naik ke lantai 2 mencari kamar Kak Ion. Sampai aku melihat kamar dengan pintu kayu berwarna coklat penuh dengan stiker perlombaan futsal, instingku berkata itu kamarnya.

Aku memegang gagang pintu dan membuka kamarnya, hasilnya sepi. Kamar dengan kasur lantai di dekat pintu balkon, televisi di depan kasur, rak buku di samping tv, satu meja kecil di sampingnya lagi dan 2 pintu di sebelah kiri serta tempat sampah di pojokan.

Can I? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang