Kala itu aku sedang duduk santai di ruang tamu, sambil berhayal untuk mendapat ide meulis. Tetapi, entah mengapa fikiranku itu tak pasti. Berlari kesana-kemari tanpa jelas arah dan tujuannya. Melihat kucingku, aku teringat dengan sosok Ibu. Kucing itu hanya hidup bersamaku, tidak bersama dengan kedua orang tuanya. Apa manusia sama dengan kcing? Atau lebih rendah dari kucing? Pantas saja kucing hanya sebatang kara, toh orang tuanya saja tidak menikah secara resmi. Ayah kucing itu hanya hinggap sementara dengan ibu kucing itu, lalu pergi entah kemana. Dan ibu kucing itu telah mengandung anak dari perbuatan ayah kucing itu. Loh loh loh, tapi kenapa hanya seorang ibu yang bersusah payah untuk anaknya? Kemana ayah kucing itu? Akhhh, sudahlah... biarkan manusia yang tak berfikir untuk memikirkannya.
Kringg kringg kringg...(Dering handphone)
“Hallo, assalamu’alaikum...” kata orang disebrang sana.
“Wa’alaikum salam...” jawabku.
“Hai Rama, bisa tidak nanti sore temani saya...” lanjut orang disebrang sana.
“Ini kawan lamamu, Andri...” lanjutnya.
“Ohhh, ente dri... apa kabar ente...? Gimana mondoknya? Enak???” tanyaku.
“Yaaa, begitulah... sibuk sama akhirat...” jawabnya.
“Ahli surga tuhh kayaknya, hehehe...” lanjutku.
“Akhh, bisa aja ente Ram...”
“Emangnya ente udah pulang ke Jakarta dri...?” tanyaku.
“Udah, baru aja sampe...”
“Yaudah kalo gitu, emangnya mau pergi kemana...?”
“Mau nyari kado buat Ibu ane... Dia ultah besok...”
“Ohh, gitu... Yaudah dehh besok ane temenin...”
“Oke Ram... besok jam 10 ane samper ente...”
“Oke siap...”
Belum lama aku menutup telepon dering sms pun berbunyi.
“Ram, sekarang bisa ke rumah gue? Gue butuh bantuan” pesan dari Arin teman sekelasku.
“Oke, siap...” jawabku.Langsung aku menghidupkan mesin motorku, dan melaju dengan kecepatan sedang. Di jalan sempat terlamun lagi, setelah melihat anak kecil itu menggandeng tangan ibunya. Aku berfikir, biasanya ketika kita kecil dulu, orang terdekat kita adalah ibu kita. Bahkan kita sampai menggandeng tangan ibu kita. Memeluk ibu kita, meminta maaf secara langsung dan terbuka oleh ibu kita. Dan setelah dewasa tiba, apakah yang terjadi? Meminta maaf pun ketika kita salah, tidak pernah secara lansung. Kangen dengan ibu kita, tidak pernah langsung memeluk ibu kita. Dan ketika jalan di jalan umum, tidak pernah menggandeng tangan ibu kita. Apakah alasannya??? MALU alias MINDER. Yaa, begitulah anak zaman sekarang...
Selalu saja ada peristiwa di jalan yang membuatku berfikir. Belum lama melihat anak kecil tadi, aku melihat yang lainnya. Melihat serang wanita tua yang sedangg menarik gerobaknya, cucuran keringat mengucur tetes demi tetes. Ya, bayangkan saja jika itu adalah ibu kita. Yang sedang bersusah payah mencari uang demi anak anaknya, lalu apa yang dilakukan oleh anaknya? Tak pernah mau bersyukur. Belum lagi ketika sampai di rumah, selalu saja ada pertengkaran dengan suaminya. Apa sebenrnya penyebab permasalahan ini semua??? Apa hanya aku yang merasakan kehilangan sosok ibu???
“Assalamu’alaikum...” ucapku ketika sampai di rumah Arin.
“Wa’alaikum salam, eh elo Ram... Ayo masuk...” ajaknya.
“Duduk Ram, bentar gua ambil minum dulu...” lanjuttnya.
“Nih bro, minuman kesukaan lo...” sambil menaruh segelas susu coklat di meja.
“Ada apa sih Rin...? tumben banget lo nyuruh gue kesini...” tanyaku.
“Ada yang mau gue omongin Ram...”
“Apa...?”
“Hmmmm, jadi gini... kemaren, gue ketemu sama.....” terputus.
“Sama siapa...?”
“Sama... Ibu lo Ram... Waktu gue ke pasar, ibu lo nyamperin gue. Terus dia bilang kasih ini ke Rama...” sambil memberikan sesuatu.
“Ini apa...?”
“Lo buka aja sendiri Ram...”
Waktu aku buka kado itu, aku berfikir apakah Ibu masih ingat denganku, masih peduli padaku? Apa benar dia masih menyayangiku? Apa iya??? Setelah melihat isi kadonya, aku terdiam, ada tulisan kecil didalamnya. “Rama, rajin belajar yah... Ini ibu belikan laptop baru untuk kamu. Ibu tau, laptop lama kamu rusak. Kejar mimpi-mimpi kamu yang belum tercapai, Ibu tau kamu pasti bisa jadi penulis yang hebat.” Tak kuat air mata ini ku tahan, menetes satu persatu. Aku rindu padamu ibu....
“Ram... (Sambil mengelus pundak) yang sabar ajah, Ibu lo masih inget sama lo, masih sayang sama lo, masih peduli sama lo, dan dia tau apa mimpi dan cita-cita lo. Jangan benci sama dia...” sambil tetap mengelus pundakku.
“Hemmm... dimana lu ketemu dia? Anter gue kesana...” kataku yang masih menangis.
“Lo mau ketemu dia...? gak bisa Ram, ibu lo udah balik ke Jogja. Dia tinggal disana...”
“Kata siapa dia tinggal disana...?!” dengan nada emosi.
“Dia sendiri yang bilang...”
“Gue kangen dia Rin...”
“Gue tau Ram, sekarang lo jangan berfikir buruk lagi tentang dia...”
“Iya gue paham... Gue pergi dulu, mau nyari tempat tenang...”
“Hati-hati Ram....”
Sepanjang perjalanan, hanya ibu yang etrbayang olehku. Sungguh, rindu yang teramat sangat setelah ditinggal olehnya satu tahun. Seburuk-buruknya ibu kandung, ia tetap ibu kandung yang melahirkanku. Sebaik-baiknya ibu tiriku saat ini, hanyalah drama belaka. Jika saja waktu bisa ku ulang, aku akan mengulang semua kejadian ini. Jika saja sejarah bisa diubah, aku akan merubah sejarah keluargaku ini. Namun, Tuhan telah berkehendak, inilah takdir keluagraku.
#########
Esok harinya, aku menepati janjiku bersama Andri. Tepat jam 10, dia datang ke rumahku. Dengan sepeda motornya, dan dengan memakai baju muslim dia datang.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam, dateng juga ente...”
“Iyalah, masa ane lupa sama janji ane...”
“Yaudah, ayo langsung chao!(pergi)”
(Motor)
“Bro, ente kenapa sih...? kenapa gak ceita sama ane...” kata Andri memulai.
“Kenapa apanya...?”
“Jujur deh sama ane... cerita aja...” lanjutnya.
“Cerita yang mana...?”
“Keluarga ente... Ada apa sebenernya...?” tanya Andri.
“Oh, jadi ente tau...? dari mana ente tau...?”
“Tau sendiri dari nyokap ente...”
“Loh?? Kapan ente ketemu nyokap ane..?” tanyaku heren.
“Waktu di Depok...”
“Jadi, bener dia tinggal di Depok...?”
“Iya, tepat deket pondok ane. Kok ente tau...? pasti dari Arin???”
“Dari mana lagi ente tau kalo Arin yang ngomong...?” tanyaku heran.
“Kemaren ane sama Arin pergi ke pasarnya bareng, terus ketemu sama nyokap ente...”
“Terus, sekarang dia dimana? Ente tau...? anterin ane, ane pengen ketemu sama dia...”
“Dia di Depok... Yakin, ente mau ketemu sama dia? Nanti bokap ngamuk lagi...”
“Iya juga sihh...” kataku terdiam.
Sesampainya kami di pasar, Aku melihat suatu peristiwa kembali. Melintas satu keluarga dihadapan mataku. Seorang Ayah yang mendorong gerobaknya, seorang ibu yang menemani suaminya, dan ketiga anaknya yang naik diatas gerobak tersebut. Begitu riang dan harmonisnya mereka, meski harta tak memungkinkan untuk mereka miliki. Tidak semua orang yang memiliki harta bisa membeli atau mendapat keharmonisan dalam keluarga. Bahkan orang yang seperti mereka lebih banyak sibuk dengan dunianya saja, lupa akan pentingnya suatu keluarga.
“Ram, kira-kira nih sepatu cocok gak buat nyokap ane...?” kata Andri sambil menunjukan sepatu berwarna putih.
“Woiii... Ngelamun aja ente, ane nanya dikacangin...” lanjutnya.
“Eh... Sorry bro. Iya bagus-bagus...”
“Kenapa sih ente...? Kepikiran nyokap...?” tanyanya.
“Ahh engga... Biasa aja...”
“Yaudah Pak, bungkus yang ini...” kata Andri kepada penjual sepatu.
“Nanti, kalo ente ada waktu libur, ane anter ke Depok...” lanjut Andri.
“Iya deh, makasih ya bro...” jawabku.
Setelah mendapat sepatu untuk dijadikan kado, kami berdua pergi pulang. Di motor aku hanya bisa terdiam, entah rasa apa yang sedang melanda saat ini. Rasa kangen, rindu, sedih, kesal, atau apapun lah itu aku bingung. Sahabatku masih bisa untuk merayakan hari dimana Ibu yang melahirkannya dilahirkan. Dan aku, tidak bisa merayakan hal itu lagi, bahkan melihat wajahnya saja tidak. Berbahagialah engkau sahabat. Ibu, aku rindu padamu....
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen [Rama]
Short StoryMenceritakan semua tentang kehidupan Ramadhan atau yang biasa disebut Rama. Rama adalah anak yg sholeh, berbaikti kepada oran tuanya. Banyak kisah inspiratif yg terdapat pada kisah-kisahnya. Kisah-kisah tersebut 40% diambil dari kisah nyata dan 60%...