b a g i a n 1

267 18 12
                                    


        "  ke-98.

          6 Februari 2013,

Pukul 4 pagi. Gelap belum mau menggulung dirinya dari langit. Matahari pun masih tertidur nyenyak dibawah gulungan kapas putih--mengalahkan egonya untuk bersinar dan membiarkan bulan untuk bekerja lebih lama lagi.

         Bulan itu nampak tertidur, seakan lelah untuk terjaga saat malam sepanjang hidupnya.

         Kembali. Aku lelah disini.

Dunia ini gelap--gelap yang membutakan orang-orang akan kebaikannya. Dunia ini dingin dan beku--dingin yang bukan hanya menghantui udara dan cuaca, namun juga bagian dari para manusia yang hati nya terbalut baja itu.

Saat tangis mengisi sunyi, topeng-topeng kaca itu mulai beranjak--berjalan ringan melewati ratusan bahu yang biru, tak peduli akan keanehan topeng itu.

Apakah mereka masih peduli?

Sekali lagi, apakah mereka masih peduli?

           Diam, bukan?

          Segalanya menjadi diam semenjak kau pergi.

Melihat tangis yang tersembunyi--meringis, mendengar suara namun seakan tuli.

Langkah demi langkah ku ambil dengan hati-hati--tak ingin meninggalkan jejak di atas jalanan tandus yang dulu kita sering lewati. Tawa dan canda seakan terkubur jauh dalam memori, meninggalkan bercak tinta hitam seakan tanda jika warna sudah mati.

Rindu. Menerjang setiap kali aku menyebut nama mu. atau mengingat betapa indah senyum mu. atau mungkin, seberapa hangat tubuh mu memelukku.

Andai aku bisa bertemu sekali lagi dalam mimpi. aku ingin bertanya, bagaimana kehidupan mu saat ini? ingin rasanya aku berbagi matahari, karena aku tahu, disana hanya ada gelap dan sendiri.

          Mereka tak mengerti.

          Bagaimana rasanya terbangun seorang diri di malam hari--merindukan sesuatu yang tak bisa ku sentuh lagi.
   
          Mereka tak mengerti.

         Bagaimana rasanya menangis seorang diri, seakan mata ini hanya diciptakan untuh bersedih. Berusaha mengusap setiap tetes air mata yang ada di dua kulit pipi.

         Namun apa daya.

         Jika kau menangis mengeluarkan air mata, maka aku menangis mengeluarkan mimpi, mimpi usang yang sudah tak bisa terpakai lagi.

          Kau pernah berjanji, bukan?

          berjanji untuk memelukku saat tubuhku remuk dan hancur.
         berjanji untuk mengusap air mata ku saat mereka jatuh.
        berjanji untuk menuntunku, dan berjalan berdampingan sampai kau dan aku termakan oleh waktu.

           Nampaknya harus kau ingkari semua janji itu.

          Tidak. Bukan salah mu, bukan salah ku.

SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang