b a g i a n 4

85 13 5
                                    


Dingin menusuk tulang bagaikan pedang tajuk berujung salju. Matahari yang tak akan sirna nampaknya seperti mengalahkan ego nya kali ini. Rintik rintik air hujan tergelincir licin diatas batu batu oranye perumahan dan di permukaan kaca gedung-gedung perbudakan.

Semua orang berlari, meneduh dibawah naungan pohon, halte--atau bahkan warung kopi. Namun masih banyak yang beradu nyali, menawarkan tubuhnya untuk dibasahi demi menyeselaikan apa yang diperintahkan oleh derajat atas--yang asyik duduk manis di ruangannya, bermodal jas dan sepatu berwarna netral yang di semir rapih.

Kerutan-kerutan kening mulai bermunculan seiring dengan lebatnya air turun dari langit. Suara ketukan-ketukan kaki mulai terdengar, seolah berusaha mengalahkan kerasnya bunyi rintik hujan yang beradu dengan tapak bumi. Jam tangan berbagai harga terus di tatap seakan waktu akan habis lima menit lagi.

Dering telepon mulai bermunculan. Berbagai nada, alasan dan emosi mulai diutarakan ke pelaku seberang.

Serena duduk manis disebuah kedai kopi kecil di seberang kantor pos langganannya. Sudah genap 1 hari setelah surat terakhirnya itu dikirim. Entah apa yang membuatnya berhenti--entah apa yang membuatnya jenuh.

Hatinya terasa janggal, seperti ada sesuatu yang menyumbat dada nya sehingga membuatnya terisak.

Gelisah dan duka mengguyur pikirannya. Tentu saja dia gelisah--gelisah karena segala hal yang dia lakukan hanya sia-sia.

Rintik-rintik air hujan mulai membasahi jendela kedai kopi tempat dimana Serena berdiam. Rintik-rintik itu menetes dengan cepat, seakan sedang dalam pertandingan siapa yang dapat sampai lebih cepat di dasar kaca.

Mata Serena tak berkedip sedikitpun. Bibirnya sedang sibuk menggigiti kuku-kuku jemari nya yang panjang dan tidak beraturan itu. Tatapannya lurus ke depan--ke kursi kosong yang ada di seberang mejanya.

Orang-orang mungkin melihat dirinya saat ini seperti orang pemalas yang tidak punya kehidupan selain melamun dan menghayal. Namun, andai mereka bisa melihat kedalam--melihat apa yang ada di kepala kecil itu--menangis dan meringis.

Kursi kosong yang ada di depannya itu, dulu, bukan lah sebuah kursi kosong hampa. Namun realita nya, sekarang, kursi itu hanya kursi kayu kosong biasa yang tak bisa bicara dan hanya dapat dipandang oleh mata.

Dan itu lah mengapa hati nya menangis.

kali ini, kesepian bukan lah kata yang tepat bagi Serena.

          kehilangan.

Mata nya kehilangan pemandangan untuk ditatap. Telinganya kehilangan suara tawa dan canda untuk didengar. Tubuhnya kehilangan kehangatan untuk digenggam. Dan hatinya--hatinya kehilangan seseorang untuk dicintai.

---------

"Nanti, aku mau bangun rumah di dekat pantai,"
Serena mengerutkan alis matanya. "Kenapa harus pantai?"

          lelaki itu terdiam dan tersenyum.

"Tipikal ya? tapi serius, aku mau bangun rumah di pantai. Kalau itu nggak kesampaian, aku mau ke Paris,"
Ekspresi wajah Serena semakin bingung. "Paris? makin mainstream,"

SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang