b a g i a n 6

91 12 10
                                    


          Seharusnya Serena mengenali suara nya dari awal. Seharusnya.

         "Serena?" Lelaki itu bertanya, sudah dengan wajahnya yang dapat terliha.

          Serena terdiam dan membisu, mencoba membayangkan alasan mengapa orang ini ada disini.

          Mulutnya ingin berkata--ingin bertanya. Namun bibirnya itu seakan tertutup rapat dan enggan membuka.

           "k..k-k-kok?" Serena akhirnya mengatakan sesuatu, walau hanya 2 detik lamanya dan harus terbatah.
            Lelaki yang awalnya tenang dan tak terbebani, seketika berubah raut dan ekspresi. Keningnya mengkerut dan alis tebal nya itu seakan bergabung bersama. "Astaga," dia berkata. "Pasti bingung ya? sorry, sorry. Saya bisa jelasin," lelaki itu melanjutkan.

          Mata Serena mengikuti kemana arah lelaki ini menuju, dan sekarang, tatapan Serena menatap lurus ke arah depan, karena lelaki ini sudah menempati kursi kosong yang sedari tadi butuh untuk dihangatkan.

         "Udah order?" lelaki ini bertanya, dan hanya mendapat respons gelengan kepala dari Serena.
          "Mau apa?" pertanyaan berikutnya kembali terlontar.
           Tanpa melihat menu, Serena sudah tau harus memesan apa. Tempat ini bukan lah tempat asing baginya.
          "Latte machiato," dengan singkat Serena menjawab.

           Setelah memesan satu cangkir Latte Machiato dan satu espresso, mereka berdua memulai pembicaraan yang semakin lama hanya membawa ketegangan.

         "Pertama, kalau pake anda, terlalu formal ya?" lelaki ini bertanya.

           "Jujur, iya," Serena menjawab singkat.

           "Alright. Karena berdasarkan perasaan gue lo baru berumur diantara 18 atau 19, which means seumuran sama gue. Jadi pakai gue-lo nggak apa apa kan? just in case kalau lo anggap nggak sopan," Lelaki ini berkata.

            "Terserah," balas Serena.

            "Gue Leon. Dan iya, tukang pos yang datang kerumah lo tadi siang, buat ngasih surat itu, gue--lagi nyamar,"

            Leon.

           "Pantesan kayak ada yang aneh," Serena merespons, membuat Leon mengernyitkan alis dan keningnya.

           "Aneh ya, ngeliat tukang pos se keren gue?" Leon membalas dengan bercanda.

          Serena hanya memutar kedua bola mata nya. "Nggak. Aneh aja,"

         Leon tersenyum. "Lo juga aneh," Dia membalas. "Sering kirim surat, tapi ditipu kayak gitu aja bisa percaya," lanjutnya.

          Lagi-lagi Serena harus memutar kedua bola matanya, untuk menunjukkan rasa jengkelnya. "Terus alasan nyamar kayak gitu apa?" Serena kembali bertanya.

        "Gue udah coba mau balas surat lo dari awal. Tapi sama sekali nggak ada alamat, cuma ada nama. Terus karena gue sempet mikir nyari lo itu nggak ada gunanya, jadi gue diemin aja surat-surat lo yang dikirim kerumah gue," Leon menjawab namun berhenti.

           "Terus kebetulan lo berhenti kirim surat, dan justru hal itu buat gue jadi penasaran. Gue mau tau, apa alasan lo nulis surat itu--apa yang numbuhin ide lo di setiap suratnya," Leon melanjutkan.

           Serena menghela napas nya.

           Mengetahui jika Serena sedang mendengarkan, Leon berbicara kembali. "Setelah surat lo berhenti, gue coba nanya orang-orang sekitar rumah, yang siapa tau punya referensi tentang nama 'Serena' dan kebetulan ada yang tau," Leon melanjutkan, menyisakan Serena terdiam dan berandai-andai.

SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang