b a g i a n 9

129 6 2
                                    


"Hmm..e-e-enggak begitu sih," Serena menjawab dengan terbatah. berbohong, tentu saja.

"Ohh. Habis kata Leon, lo jago dalam hal tulis menulis gitu," Lanjut Arya yang nampaknya mendeteksi ketidaknyamanan yang terpampang jelas di wajah Serena.

"Arya," Leon memanggil temannya, namun dengan nada panggilan yang tak biasa--tegang dan terdengar memperingatkan.

Serena tersenyum kecil, mencoba membiarkan ketegangan yang seketika mendiami tubuhnya itu pergi. "Suka sih. Tapi biasanya bisa nulis gitu kalo lagi sedih, sedih yang gue nggak bisa cerita ke orang kenapa alasannya. Pasti nanti larinya ke nulis. Kalau lagi seneng-seneng gitu sih malah susah nyari inspirasi tentang apa yang mau ditulis," Serena menjelaskan dengan hati-hati, tidak mau membuat kesalahan yang akan membuat mereka penasaran tentang topik yang sedang dibahas.

"Si Leon juga sering tuh bikin-bikin puisi gitu. Dan kadang puisinya suka hiperbola dan kayak naskah drama," Balas Diaz, sambil tersenyum meledek dan mengarahkan pandangannya ke arah Leon berada, yaitu disamping Serena.

"Wah yon, jangan-jangan lo sedih all the time ya? jading bisa menciptakan karya cipta setiap saat?" Celetuk Chica.

Serena mengerakkan pandangan kedua mata nya ke sosok yang duduk disamping dirinya itu. Tanpa disadari Serena duduk sedekat ini dengan Leon, membuat Serena bisa memandangi setiap detail yang ada di wajah laki-laki tersebut. Ada sebuah goresan luka di dekat rahang kanan, yang warna nya sudah pudar sehingga menyatu dengan kulit wajah nya. Luka itu seperti luka jahit yang sudah lama terjadi. Serena pun melanjutkan kedua mata nya berkelana, lalu pandangannya berhenti pada kedua mata, yang bersinar di pertengahan, membuat warna coklat dari bulatan itu tak lagi kelam, seperti dunia saat malam--namun berubah seperti ombak lautan, menghayutkan setiap telapak yang berdiri di tepian.

"Serena? eh, kok bengong?" Leon memanggil, sambil mengguncang-guncang bahu kanan nya itu. dengan cepat, Serena berkedip dan mengembalikkan kepala nya pada posisi awal, menghadap ke apapun yang ada di depan matanya itu. "Oh iya maaf. Suka bengong sendiri,"

"Kalo deket-deket Leon emang bikin bengong. Serem auranya, ya kan?" Vero yang berceletuk kali ini, membuat Leon mengambil nafas, tak ingin membalas ejekan tersebut.

"Hmmm," Leon berdeham. "Abis dari sini, kalian pada mau kemana?" Leon bertanya.

Keempat temannya pun bertukar pandangan. "Mauu...," Chica yang pertama kali membalas.

"Mau nonton midnight. Arya mau bayarin katanya," sambung Diaz.

Merasa namanya disebut, Arya langsung menoleh dan memberikan wajah tidak setuju.

"Ooh. Kalau gitu, gue langsung balik aja deh. Sekalian anter Serena pulang," kata Leon sambil mengusap noda makanan yang ada di ujung bibirnya.

Lagi-lagi, keempat temannya itu bertukar pandangan, lalu terkekeh-kekeh. "Bilang aja biar bisa berduaan sama Ser--" Chica berceletuk, namun berhenti saat Diaz menekan pahan Chica dibawah meja dengan sikutnya. "Ouch,"

"Itu juga sih," Leon menjawab, lalu menoleh ke arah kiri pundaknya, dimana Serena duduk hanya beberapa garis dari dirinya.

Serena, yang beberapa detik kemudian menyadari apa yang Leon bicarakan, seketika terdiam, dengan pipi yang memanas--membuat dirinya terlihat seperti baru saja berlari satu putaran dengan matahari tepat bersinar diatas bayangan. Bahkan, Serena tidak berani mengangkat kepalanya untuk bertemu pandangan Leon yang terpaku pada dirinya itu. Dan tanpa disadari, bibir Serena yang terpoles merah itu, terangkat menjadi sebuah senyuman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang