3: Confession

3.7K 311 32
                                    

¶¶¶

"Hai", sapa seseorang yang tiba-tiba datang dengan nada datar.

Seorang cewek, sendirian.
Sendirian ke Dufan? Aneh.

Eh, tunggu.

Kok kayak...
Jangan bilang...
Gak gak gak, ini bukan FTV. Gak mungkin cewek itu...

Zidny?

"Zidny?", panggil gue kepada cewek tersebut tak percaya. Gue sontak menegakkan posisi duduk gue. Otomatis kepala gue yang sedari tadi bersandar di pundak Iqbaal dan rangkulan tangan Iqbaal di pundak gue terlepas.

"Lah, Zid? Ngapain?", tanya Bang Kiki frontal. Buset. Sadis amat tuh pertanyaan dah Bang. Laras yang berada di sampingnya langsung menyikut lengan Bang Kiki.

"Eh, maksud gue, kok gak bilang-bilang dulu?", tanya Bang Kiki ulang, memperbaiki kalimat tanyanya agar terdengar lebih sopan.

Kepala dan perut gue yang tadinya sudah sedikit membaik, sekarang justru jauh lebih buruk daripada pas baru turun dari Hysteria tadi. Bukannya gue takut sama Zidny ya, tapi gue gak mau di-cap jelek sama orang. Siapapun itu.

Zidny terus menatap Iqbaal datar. Gak ada ekspresi sama sekali. Ekspresi sedih enggak, marah juga enggak, seneng apalagi. Wah, nih orang lagi ancang-ancang mau ngebunuh kita apa gimana?

Eh tapi, diliat dari perlakuan Zidny ke gue selama ini...

Kayaknya dia,

Baik?

Gue dengan keadaan pusing dan mual ini terus memperhatikan wajah Zidny. Tiba-tiba gue dikejutkan dengan lengan Iqbaal yang kembali merangkul gue setelah tadi gue melepaskannya kemudian telapak tangan Iqbaal yang menarik kepala gue lembut lalu meletakkannya kembali pada pundak kirinya, seperti tadi.

Tangan kiri gue memegangi seraya memijit pelan pelipis gue. Makin sakit deh nih. Ah.

Iqbaal memegang tangan kiri gue lalu menjauhkannya dari pelipis gue, kemudian ia mengambil alih pekerjaan tangan kiri gue tadi. Tangannya yang sedang merangkul gue ini perlahan memijat-mijat pelipis gue.

"Tadi gue...", baru saja Zidny mau menjawab pertanyaan Bang Kiki, Iqbaal buru-buru memotongnya.

"Ngapain sih lu, Zid?", tanya Iqbaal dengan nada tinggi, namun tidak terkesan membentak.

Gue yang mendengarnya langsung menepuk pelan paha Iqbaal dengan tangan kanan gue.

"Harusnya aku yang nanya, Baal! Kamu ngapain disini?! Segitu pentingkah Lyra buat kamu?! Sampe kamu boongin aku kayak gini?!", bentak Zidny dengan mata berkaca-kaca. Gue yang sedari tadi menahan sakit sambil memejamkan mata di pundak Iqbaal sontak membuka mata lalu melirik ke arah perempuan itu.

Gue mencoba melepaskan kepala gue dari pundak Iqbaal, namun pria ini menahannya.

"Pertama, iya, dia penting banget buat gue. Gue berkali-kali bilang ke lo kan? Dia ini cewek ketiga yang gue cinta setelah Bunda sama Teh Ody. Gue rasa lo udah bisa simpulin seberapa pentingnya dia buat gue, Zidny", ujar Iqbaal.

Hah?

Gue langsung melepaskan kepala gue dari pundaknya. Kali ini Iqbaal tidak menahannya.

Gue menatap Iqbaal tak percaya. Masihkah gue menjadi cewek ketiga yang dia cinta itu?

Iqbaal menatap gue tulus lalu tersenyum simpul. Ia perlahan melepas rangkulannya lalu berdiri dari bangku panjang ini, meninggalkan gue duduk di bangku ini seorang diri.

[2] DESTINY -idrTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang