Special Chapter : Jeonghan Side (Part 1)

1.9K 176 44
                                    

Katakan saja aku jahat, kalian bebas memaki aku sesuka kalian, aku tidak peduli. Keinginanku hanya ingin semuanya terasa adil dan aku berhasil. Aku berhasil mewujudkan keinginanku.

Rencana yang aku rancang dengan sebaik mungkin bersama adikku tersayang ternyata berjalan mulus. Dan kurasa mereka saja yang bodoh. Ini bukanlah rencana yang rumit dan membingungkan. Tetapi dengan mudahnya mereka terpesona olehku dan Mingyu.

Apa kalian ingin tahu cerita dibalik semua yang terjadi? Tentu saja, aku akan menjelaskannya disini.

Hal yang melatarbelakangi semua rencanaku dan Mingyu adalah sebuah kecelakaan yang merenggut kedua orang tua angkat kami. Oh ya, apa kalian mengetahui tentang diriku dan Mingyu berasal dari salah satu panti asuhan yang sama? Ketika itu kami memang diadopsi bukan oleh orang tua yang sama. Tentang Mingyu, aku tidak ingin susah-susah menceritakannya, biar saja ia sendiri yang menjabarkannya.

Aku diadopsi ketika umurku baru saja 3 bulan, sepasang suami istri yang mengadopsiku adalah Mr. Jeon dan Mrs. Yoon. Nama-ku pun berubah menjadi Jeon Jeonghan. Satu tahun kami jalani bersama dengan bahagia. Hanya aku, ayah, dan ibu. Tetapi setelah aku beranjak satu tahun, ibu melahirkan seorang adik laki-laki. Jeon Wonwoo. Aku sangat menyayanginya. Tetapi entah aku yang aneh atau ayah yang berubah, ayah lebih menyayangi Wonwoo daripada aku. Aku menyadarinya, aku bukan darah daging mereka, dan itu terasa wajar saja.

Hanya ibu yang selalu berada disampingku meski bahkan ayah sendiri sering menuntutku untuk menghapus marganya dari namaku, dan entah sejak kapan namaku-pun berubah menjadi Yoon Jeonghan, aku bersama ibu. Wonwoo sama sekali tidak mengetahui tentang marga-ku yang berubah.

Dua tahun yang lalu, ayah berselingkuh dan pergi meninggalkan ibu dan aku dengan membawa Wonwoo. Begitupun dengan Wonwoo yang senang hati ikut bersama ayah.

Satu tahun kemudian, ibu menikah dengan Mr. Choi, tepat beberapa hari setelah ayah menikah dengan Mrs. Kim ㅡselingkuhannyaㅡ. Dan karena pernikahan ibu yang kedua tersebut, aku bertemu dengan Mingyu.

Kim Mingyu, seorang remaja tampan dan lembut terhadap setiap orang, sifatnya membuat aku mencintainya, ah, bukan,, bukan cinta layaknya seorang kakak laki-laki terhadap adik laki-lakinya, tetapi lebih dari itu.

Asal kalian tahu, sejak kecil, Yoon Jeonghan bukanlah seorang laki-laki cantik, berambut sebahu, bersikap feminim, dan... psycho. Melainkan seorang laki-laki tampan, normal, dan baik. Itulah alasannya mengapa ketika proses menuju rencanaku, ketika bertemu, Wonwoo sama sekali tidak mengenalku, tetapi mungkin ia merasa sangat tidak asing mendengar namaku.

Soal perasaanku kepada Mingyu, awalnya ia menolak dan lebih memilih hanya menganggapku sebagai hyungnya. Tetapi pada akhirnya ia luluh dan menambahkan posisiku didalam hatinya sebagai kekasih, tidak hanya seorang hyung. Ibu maupun Mr. Choi ㅡyang telah menjadi ayahkuㅡ sama sekali tidak mengetahui hubungan kami. Bahkan Mingyu sendiri yang meminta kepada Ayah Choi agar kami berada dalam satu kamar.

===

KECELAKAAN YANG MERENGGUT ORANG TUA KAMI

Ketika itu, kami berencana berpindah rumah, dan malam sebelum kepindahan, insiden itu terjadi.

Kota yang baru, orang tua kami berniat untuk memperkenalkan kota ini kepada kami dengan cara berkeliling kota hingga malam hari.

"Sayangnya malam ini hujan lebat.." Ayah Choi berbicara dari kursi pengemudinya, disampingnya terdapat ibu yang mengangguk setuju. Sementara aku dan Mingyu duduk di jok belakang. "Kalau saja tidak hujan, kita dapat melihat sekolah baru-mu, Mingyu.."

"Tidak apa, abeoji.. lain waktu saja.." Mingyu tampak tidak terbebani.

Bagaimana dengan universitas baru-ku? Kami telah melihatnya tadi siang. Sangat bagus dan memang berkualitas tinggi.

"Dan ini,, taman kota.." Ibu memperkenalkan.

Meski hujan lebat ber-petir dan jendela mobil tertutupi butiran air hujan dari luar, taman kota tidak terlalu buruk, taman yang cukup luas itu tertata dan didukung dengan pencahayaannya yang cukup baik membuat taman kota semakin terlihat indah.

Tetapi beberapa detik kemudian, segala keindahan taman kota itu tidak dapat kulihat lagi. Mereka terlihat jungkir balik dan memutar. Mobil yang kami tumpangi terlempar dan berguling-guling hingga beberapa meter kedepan, ketika seharusnya aku terbentur oleh setiap sisi di dalam mobil, aku malah merasakan sebuah pelukan melindungiku. Mingyu ㅡsekaligus adik atau kekasihkuㅡ yang memelukku.

Tetapi sayangnya pelukan Mingyu tidak cukup untuk melindungiku. Aku merasakan benturan yang sangat keras pada kepalaku hingga membuat jendela mobil yang ada disampingku terpecah.

Sangat menyakitkan dan membuat kepalaku merasakan pusing yang amat sangat.

Ketika detik-detik yang menyakitkan itu, tidak henti-hentinya aku berdoa agar Tuhan menyelamatkanku.

Aku tidak bisa terus menerus membuka mataku, serpihan kaca itu akan menusuk alat pengelihatanku, lagipula aku tidak ingin melihat ini. Maka dari itu aku menutup mataku, tetapi aku berusaha agar aku tetap berada dalam pelukan Mingyu.

Benturan demi benturan begitu membantingku hingga beberapa menit kemudian, semuanya berhenti. Aku membuka mataku.

Aku masih hidup!

Terima kasih, Tuhan! Aku masih hidup!

Semua terasa berat dan menyakitkan. Aku merasa remuk di setiap bagian tubuhku.

"M-mingyu-ah.. K-kim Mingyu,, b-bangunlah.."

Aku berusaha menggerakkan tanganku agar dapat menepuk-nepuk pipi Mingyu yang berada dihadapanku. Matanya belum juga terbuka sebagai tanda bahwa ia masih sadarkan diri.

Aku menyadari sesuatu bahwa, aku dan Mingyu terbaring di langit-langit mobil, sementara ibu dan Ayah Choi seolah masih terduduk di jok mobil, mereka dalam posisi terbalik bak sepasang kelelawar, itu akibat sabuk pengaman yang masih menahan tubuh mereka. Aku sendiri tidak mengetahui apakah nyawa masih mengisi tubuh mereka atau tidak.

Seketika aku bisa sedikit berbahagia karena perlahan Mingyu membuka matanya. Tetesan air mata bercucuran dari kedua mataku, tanpa disengaja aku tersenyum, tetapi aku menangis.

"H-hyung.." panggilnya lirih.

Tidak dapat aku bayangkan apa yang terjadi apabila Mingyu tidak memelukku. Mungkin nyawaku telah melayang.

"Kau,, baik-baik saja,, 'kan?"

Mingyu benar-benar gila. Ketika dirinya sendiri baru tersadar dan mengalami lebih banyak luka dariku, ia malah menanyakan kabarku.

"Aku,, aku baik-baik saja,, Gyu.. Kita keluar harus dari sini.. Pegang tanganku.."

Sebelah tanganku tergerak untuk menggenggam tangannya, dan ia kembali menggenggam tanganku. Dengan susah payah kami berusaha keluar darisana. Didalam mobil tidak seluas apa yang kalian bayangkan.

Aku berhasil membuka pintu mobil, hujan masih turun diluar sana, sementara asap dari mobil kami terlihat terbang bebas disekitar. Beberapa sisi terbakar meski hujan deras, apinya bagai tidak terusik oleh air yang berniat membunuh mereka.

Dengan kaki yang sedikit pincang aku berusaha berdiri, syukurlah karena aku masih mampu untuk berdiri, begitu pula dengan Mingyu yang menyusul keluar dari mobil kami yang dalam posisi terbalik

"T-tolong.. tolong kami!" Teriakku semampu mungkin, karena disebelah sana aku melihat dua orang berlari menjauh bersama payung mereka, gelap malam hari malah menelan mereka hingga tidak dapat aku lihat lagi.

"H-hyung.. kita,, harus menjauh dari sini.." Mingyu memperingatkan dengan susah payah.

Apinya membesar.

Dan menjalar ke mulut tangki penyimpanan bensin.

Kalau kami tidak cepat pergi, kami akan terkena ledakan mobil.

"Tapi,, ayah dan ibu masih didalam sana.." aku tidak dapat menahan tangis lagi, luka bakar yang menganga dan terkena air hujan begitu terasa perih di beberapa bagian tubuhku, kalau aku benar-benar bisa, aku ingin menyelamatkan ayah dan ibu saat itu, membawa mereka jauh dan mencari bantuan.

Sayangnya waktu tidak sepanjang itu.

DUARRRR..

Sebelum ledakan itu terjadi, Mingyu lebih cepat menghalangiku, hingga jarak antara aku dan mobil terhalangi oleh tubuh tingginya, dan aku yakin saat ini punggungnya tidak baik-baik saja.

Dibawah hujan ini dan mobil yang terbakar, perlahan aku mendongakkan wajahku untuk menatapnya. Mingyu tersenyum tipis yang membuat perasaanku sedikit tenang. Aku menenggelamkan wajahku dalam pelukanya dan menangis disana, aku tidak kuasa untuk melihat keadaan mobil kami yang berada dalam keadaan mengenaskan seperti itu.

Hingga beberapa belas menit kemudian, suara sirine mobil polisi-pun terdengar.

===

Perawat itu menyarankan padaku untuk berjalan-jalan sedikit berkeliling rumah sakit, tidak perlu jauh, asalkan kakiku tidak membengkak karena aku tidak bergerak turun dari ranjang rumah sakit.

Terhitung seminggu sudah aku siuman, tetapi tidak bagi Mingyu. Setiap hari aku berkunjung ke ruangannya, mengajaknya berbicara seperti orang gila, tetapi aku tidak peduli, kuharap ia akan mendengar suaraku dan terbangun.

Siapapun tahu luka yang menggerogoti tubuhnya lebih parah dari luka-ku.

Tetapi kali ini, ketika aku berjalan pelan di lorong rumah sakit, seorang pria yang berjalan diujung lorong sangatlah tidak asing, berjas dan tampak berwibawa, tetapi sedikit tergesa-gesa. Dia ayah. Ayah Jeon.

Syukurlah aku bisa mempercepat langkahku. Hingga akhirnya aku dapat mengikutinya sampai ia memasuki sebuah ruang rawat yang tertera nama pasien pada pintunya.

Choi Seungcheol.

Aku bersembunyi dibalik pintunya tatkala mendapati ayah tengah memeluk seorang wanita ㅡyang sedang menangisㅡ didalam ruangan tersebut. Disana juga terbaring seorang laki-laki yang tertidur diatas tempat tidur pasien. Samar-samar aku mendengar percakapan mereka.

"Yeobo,, Dokter berkata,, Seungcheol mengalami amnesia permanen.. Kepalanya,, terbentur terlalu keras." ucap Wanita yang dipeluk ayah sambil terisak.
"Tenanglah,, Seungcheol pasti akan baik-baik saja.." ayah mengelus-elus punggung wanita itu dan terkadang mencium puncak kepalanya.

Drrttt.. drrrtt..

Panggilan yang sampai pada ponsel ayah menghancurkan momen mengharukan tadi, ketika ia berjalan mendekati pintu untuk keluar ruangan, aku segera menjauh dari ruangan tersebut kemudian membalikkan badan. Ayah bodoh sepertinya, atau ia memang tidak bisa mengenali anaknya sendiri hingga ia berjalan melewatiku?

Diujung sana, ayah menjawab panggilannya, sedikit demi sedikit aku bisa mendengar apa yang ia bicarakan.

"Apa kau sudah pulang?"

"..."

"Di perjalanan? Ke rumah sakit, 'kan?"

"..."

"Baguslah.. Kau bisa kemari sendiri, 'kan? Maksud ayah,, tanpa dijemput."

"..."

"Ah,, begini Wonwoo-ya.. Ada suatu hal yang ayah dan Ibu Kim minta,, ayah tahu kau anak baik,, jadi,, kau bisa bantu, 'kan"

"..."

"Seungcheol,, kakakmu itu,, ternyata menderita amnesia karena kecelakaan.. Itu membuatnya melupakan seluruh ingatannya.."

"..."

"Jadi,, kami memintamu untuk membantunya menumbuhkan ingatan bahwa kau adalah satu-satunya adik laki-laki Seungcheol. Ayah adalah ayahnya, dan Ibu Kim adalah ibunya. Setidaknya kau membantu kami sedikit.."

"..."

"Sahabatnya? Ah tentu saja kita tidak akan membuat Seungcheol melupakannya.. Joshua itu 'kan? Kami juga sudah memanggilnya untuk datang.."

Puk..

Seseorang menyentuh bahuku secara tiba-tiba.

Aku membalikkan badanku.

"Yoon Jeonghan-ssi? Mengapa anda kemari? Anda sudah berjalan-jalan terlalu jauh.." ia adalah Perawat Jung yang telah merawatku. Sangat kebetulan sekali aku bertemu dengannya.
"Aku,, tersesat." jawabku berbohong.

Ia menuntunku untuk kembali menuju ruanganku, dan saat itu aku bersumpah, aku masih mengingat letak ruangannya.

===

Kami berdua sampai di rumah kami. Masih baru dengan aroma khas zat kimia pada cat yang menghiasi tembok. Meski sederhana, tetapi cukup nyaman. Terlalu banyak ruangan disini. Sayangnya hanya aku dan Mingyu yang akan menempatinya. Keluarga kami belum sempat berbahagia bersama disini. Bahkan di ruangan yang seharusnya menjadi tempat tidur Ayah Choi dan ibu masih tersimpan sebuah tas besar yang berisi penuh pakaian mereka. Belum terbuka maupun tersentuh.

Ketika aku masih menatap nanar seluruh isi rumah dan mata yang terasa basah, tangan kiri Mingyu tergerak untuk menggenggam tangan kananku. Meski aku tidak menolehkan wajahku kearahnya ㅡyang berada disampingkuㅡ, aku dapat mengetahui dirinya yang tengah tersenyum untuk menenangkanku, tetapi sayangnya kali ini senyumnya tidak berguna, aku merasa diriku masih terbalut duka.

"Mingyu-ah.. Agar segalanya terasa adil, semuanya harus seimbang, 'kan?" aku bertanya, tersenyum, bahkan terkekeh ringan miris. Mingyu tidak menggubrisku.

"Maka dari itu, nyawa dibayar nyawa." ucapku lagi.

Ha! Bukankah itu benar? Hidup di dunia harus adil, bung! Jadi, katakanlah pernyataan yang tadi aku katakan itu benar!

===

"Kim Mingyu.. Lihatlah! Rambutku sudah mulai memanjang!" seruku sedikit berteriak kegirangan dari dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, Mingyu datang menghampiriku yang tengah berdiri dihadapan sebuah wastafel ber-cermin.

Mingyu menghela napas pasrah. Sudah aku katakan berkali-kali bahwa rencana-ku ini akan tetap berjalan, tidak jarang, awalnya Mingyu memerintahkanku untuk tidak melanjutkan rencanaku, tetapi aku tidak mau. Tetap tidak mau!

Dan langkah pertamaku adalah, memanjangkan rambutku dan menumbuhkan jiwa feminin-ku.

"Sayang,, kau,, bersungguh-sungguh?" tanya-nya pasrah.

Aku bergumam mengiyakan sambil mengelus-elus rambutku sendiri.

Mingyu menghela napas lagi. Kemudian memeluk pinggangku dan menaruh dagunya pada bahu-ku tanpa berhenti menatap cermin dimana bayangan kami tergambar.

"Baiklah kalau itu keputusanmu.. Dasar keras kepala.." Mingyu menutup kedua matanya sambil mencium rambutku.

Kedua tanganku tergerak untuk memegangi lengannya yang masih melingkar di pinggangku. Kemudian aku mengatakan sesuatu ㅡyang lebih tepatnya sebuah permintaanㅡ padanya,

"Aku,, sedikit membutuhkan bantuanmu,, Kim Mingyu."

===

Sebuah kebetulan yang memberuntungkan, tampaknya alam mendukung rencanaku, itu benar-benar terbukti, ini yang pertama.

Malam itu, aku baru saja pulang dari salah satu salon untuk menata rambutku dan memberikan sedikit perawatan pada wajahku, sudah kukatakan Mingyu adalah laki-laki yang baik, dihadapanku, ia senang hati mengantarkanku ke tempat favorit kebanyakan perempuan itu, tetapi aku tidak tahu apa yang ia katakan dalam hatinya, lagipula aku tidak peduli apa yang ada dalam pikirannya.

Kami harus melewati jalan itu, ya, jalan yang mana lagi selain jalan dekat taman kota, atau katakan saja jalan yang menjadi saksi insiden itu terjadi. Kami melewatinya, tetapi kali ini berjalan berdua bersama Mingyu diatas trotoar. Samping kanan kami adalah jalanannya, sementara samping kiri kami adalah taman kota.

Dan ditengah taman. Mingyu dan aku dapat melihat disana terdapat empat orang laki-laki yang saling menyerang, gerak-gerik serangan mereka menggambarkan bahwa terjadi pertengkaran dua lawan dua. Dua orang yang satunya berbadan cukup pantas untuk berkelahi, tetapi dua orang lainnya, tampaknya mereka hanya cukup menjadi flower-boy yang manis.

"Itu Seungcheol hyung!" ujar Mingyu menunjuk mereka. Ujarannya membuat pikiranku seketika terbang menuju saat dimana aku melihat ayah di rumah sakit. "Mereka berkelahi lagi.."

Dan saat itulah sebuah ide yang mendukung rencanaku-pun tumbuh di pikiranku.

"Bersama siapa dia?" tanyaku pada Mingyu. Seungcheol adalah kakaknya yang terdahulu. Tentu saja ia akan mengetahui segala hal tentang Choi Seungcheol.
"Sahabatnya, Joshua hyung. Nama korea-nya,, Hong Jisoo."
"Sahabat?"
"Sangat bersahabat."

Aku kembali berpikir. Sementara perkelahian ditengah taman sana belum juga berhenti.

"Bagaimana kalau aku menghancurkan persahabatan mereka?"

Celetukanku itu sukses membuat Mingyu membelalakkan matanya.

"Caranya?"
"Kau bilang, ayah mendaftarkanku masuk ke universitas yang sama dengan Seungcheol, 'kan? Maka dari itu, aku akan membuat sebuah skenario. Semacam,, cinta segitiga?"
"Kau akan memacari mereka berdua?! Tidak! Aku tidak mau!" Mingyu menolaknya dengan begitu mentah.

Aku mengerucutkan bibirku sendiri, kuelus lembut pipi Mingyu dengan perlahan, kuharap Mingyu akan luluh karena perlakuanku ini.

"Mingyu-ya.. Sudah kukatakan ini hanya skenario, sayangku.. Aku tidak akan dan tidak mungkin mencintai mereka.." wajah Mingyu memberitahuku bahwa dirinya masih tidak rela menyerahkanku pada Seungcheol maupun sahabatnya. Tanganku ㅡyang tadi mengelus pipinyaㅡ aku turunkan hingga tengkuknya. "Lakukan apapun yang kau mau padaku apabila aku mengkhianatimu.."

Barulah Mingyu menatapku.

"Apapun?"

Aku menganggukkan kepalaku untuk semakin memantapkan keyakinannya.

"Yang aku mau?"
"Iya, Kim Mingyu. Jadi,, kau membolehkanku, 'kan?"

Mingyu mendengus pasrah kemudian mengangguk.

Chu~

Aku mencium bibirnya sekilas. Membuatnya kembali membelalakkan mata.

"Aku mencintaimu, Kim Mingyu. Sekarang ayo,, mereka sudah selesai berkelahi!"

===

"Ekhm.. Bagaimana rasanya kalian memukul mereka?" tanyaku begitu lantang pada dua orang bertubuh besar. Dibelakangku berdiri Mingyu yang berjaga jikalau dua laki-laki disana mencelakaiku sebagaimana mereka pada Seungcheol dan sahabatnya.

Jalan ini sudah benar-benar sepi. Aku berdiri tepat dibawah sorotan lampu jalan. Sementara dua orang laki-laki itu berada sekitar 5 meter di depanku.

"Apa urusanmu?" tanya salah satunya dengan begitu galak. Sangat minim luka pada wajah mereka, tentu saja, sudah kukatakan Seungcheol dan sahabatnya itu tampak tidak seimbang untuk melawan mereka.
"Apa setelah kalian memukul mereka, kalian merasakan kepuasan?"

Tampaknya dua orang itu tidak mengerti apa maksud dan tujuanku. Maka dari itu mereka saling bertatapan sekilas.

"Bagaimana apabila kalian mendapat kepuasan, dan kalian dibayar olehku?" tanyaku sambil menyunggingkan senyuman miring.
"Kami tidak menyukai basa basi, langsung saja katakan apa maumu!" seru satu orang yang lain.

"Aku ingin meminta bantuan kalian, untuk terus memukul mereka. Dengan kata lain, aku ingin kalian menjadi tangan kananku. Tenang saja soal bayarannya."

===

Apa kalian ingat tentang Seungcheol yang pertama kali bertemu denganku ㅡdalam tanda kutipㅡ ketika ketinggalan bus dan mengejarnya hingga menepuk-nepuk jendela bus yang tepat berada disampingku?

Ah, itu adalah ketidaksengajaan yang membawa keberuntungan nomor dua.

===

Skenario pertama-ku adalah saat Shinjo dan Dongmin yang bertemu denganku di toilet universitas. Kami sudah mengetahui tentang Seungcheol yang akan menuju toilet waktu itu.

Bukankah skenario-ku itu hebat?

Oh iya, soal aku yang menceritakan tentang Seungcheol kepada Mingyu di kamar waktu itu, ketika aku menendang pinggangnya, itu hanya untuk mengelabui kalian saja.

===

Sementara itu, bertemu dengan Joshua adalah suatu ketidaksengajaan yang membawa keberuntungan nomor tiga. Itu benar-benar tidak disengaja. Ketika ia menyebutkan namanya adalah Hong Jisoo, seketika segala ide untuk rencanaku-pun muncul dibenakku dengan begitu lancar.

Dan penampilanku yang feminim itu benar-benar membantu. Dengan begitu mudah dan bodohnya ia bisa masuk kedalam ranjau-ku.

Tentu saja, saat itu adalah saat yang paling tepat untuk memulai skenario kedua-ku bersama Shinjo dan Dongmin. Aku hanya mengirim beberapa pesan pada mereka dan mereka akan beraksi. Sementara itu, apa tugasku ketika itu? Tugasku mudah saja, hanya sebagai penahan Joshua agar dirinya tidak menghalangi Shinjo dan Dongmin melancarkan tugas mereka. Dengan kata lain, biarkan saja Seungcheol dipukuli mereka habis-habisan sementara Joshua, sahabatnya sendiri tengah bersenang-senang denganku.

Keesokan harinya setelah skenario kedua-ku berakhir lancar, terdapat satu pesan sebelum sampainya pesan dari Mingyu ㅡketika dirinya memintaku untuk memakan ramyun bersamaㅡ, satu pesan itu adalah pesan dari Shinjo dan Dongmin.

"From : Right Hands

'Seungcheol menuju minimarket.'"


Dan setelahnya sampailah pesan dari Mingyu.

===

Skenario yang ketiga merupakan skenario favoritku. Ketika aku mengetahui kedua tangan kananku adalah mahasiswa teknik otomotif terbaik di kampus, seketika muncul-lah sebuah skenario pada otak-ku.

Kuharap kalian semua mengerti apa maksudku, ketika Seungcheol menjadi korban kecelakaan bus umum waktu itu.

===

"Yoon Jeonghan, kutahu aku gila karena aku bisa mencintai laki-laki cantik sepertimu. Tetapi,, sungguh,, jadilah milikku.."

Sumpah demi apapun, aku sungguh tidak menyangka, seorang Hong Jisoo bisa serendah itu dihadapanku saat ini. Secepat itu? Hanya karena aku sedikit bersikap manis padanya? Dan ia bisa mencintaiku semudah itu? Dia benar-benar bodoh.

Kedua tanganku ada digenggaman kedua tangannya, dan kedua matanya tidak berhenti menatap lekat kedua mataku. Kuakui ia memang tampan. Kalau saja aku melupakan rencanaku, mungkin aku telah benar-benar jatuh cinta padanya.

"Dan apa kau tahu, Hong Jisoo? Aku,, tidak terlalu bodoh untuk menolakmu.." jawabku sedikit malu-malu. Bagus Yoon Jeonghan! Kau tidak buruk di seni teater.

Tetapi sayangnya, tidak dapat aku deskripsikan bagaimana bahagianya Joshua saat itu, ia terlihat sangat, sangat bahagia.

Mingyu akan menghukumku? Ah, tentu saja, setelah aku ceritakan ini padanya, ia pasti akan 'memakan'-ku sampai habis hingga aku tidak dapat berjalan esok paginya.

Grepp..

Joshua memelukku! Sambil terus berkata terima kasih padaku.

Aish erat sekali! Hingga aku tidak bisa bernapas.

Dan kau tahu siapa yang menyelamatkanku saat itu?

Ponselnya, ah bukan, tetapi seorang polisi yang menghubunginya untuk memberitahukan padanya tentang Seungcheol yang mengalami kecelakaan.

Hey, Right Hands! It's that you?

===

Penampilan, cantik. Rambut, rapi. Suara,,

Ekhm..

Jadilah seorang Yoon Jeonghan yang baru!

Kutarik napasku dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Dan aku yakin Joshua tidak akan kembali dalam waktu dekat.

Knok.. Knok.. Knok..

Tidak lama setelah aku mengetuk tiga kali pintu kayu dihadapanku ini, akhirnya seseorang didalam membukanya.

Wonwoo.

Seorang Jeon Wonwoo yang membukanya, dengan mata yang memerah dan kantung mata yang cukup besar. Benar-benar bukan adikku yang dulu. Tapi kuharap perawatan pada wajahku ini benar-benar bisa mengubah wajahku agar Wonwoo tidak mengenalku.

Tampaknya Wonwoo kurang tidur. Apa sebegitu pedulinya dirinya untuk menjaga sang kakak tiri?

"A-apakah ini benar ruang rawat Choi Seungcheol?" kuusahakan untuk mengubah suaraku menjadi sedikit berbeda.

Ya Tuhan,, jangan sampai aku ketahuan olehnya!

"Y-ya.. benar.." dapat kulihat raut wajah bingung Wonwoo. Aku sendiri tak tahu apa dirinya kebingungan karena melihat diriku yang asing dimatanya atau kebingungan karena rasanya ia mengenalku.

Jantungku terus berdegup.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku tetap santai.
"Anda bisa melihatnya sendiri,, masuklah.."

Anda? Dan ia membiarkanku masuk begitu saja? Wonwoo memang tidak berubah. Diriku sendiri masih ingat tentang ajaran Ayah Jeon, bersikaplah formal kepada orang asing yang sekiranya lebih tua.

Atau haruskah aku juga membenci Ayah Jeon? Ah tentu saja! Kalau dirinya tidak pilih kasih padaku dan tetap menerimaku menggunakan marga Jeon pada nama depanku, aku yakin tidak akan pernah muncul dibenakku untuk membunuh Seungcheol dan Wonwoo, meski dulunya aku begitu menyayangi Wonwoo, dulunya.

Dapat kulihat sendiri keadaan Seungcheol ketika itu. Matanya tertutup begitu rapat. Wajahnya yang pucat dan kurus seperti pada tubuhnya. Perban yang mengitari kepalanya pada bagian dahi. Juga goresan serpihan kaca yang melukai pipi putihnya juga rahangnya. Oh ya,, infuse yang menancap punggung tangannya. Pasti rasanya menyakitkan, bagi Seungcheol, dan aku senang. Ha! Coba saja ia langsung mati saat itu, kan aku tidak perlu menyusun rencana yang lain.

Ingin rasanya aku tertawa. Tapi tentu saja itu hal yang mustahil.

"Dia sedang tertidur, ya?" mengapa aku bisa bertanya pertanyaan bodoh seperti itu, sih?
"Bukan, hyung belum siuman semenjak kecelakaan.."

Bahkan Wonwoo sudah memanggilnya 'hyung'. Haruskah aku menunjukkan kemampuanku bermain peran?

"Kau pasti Wonwoo, adik Seungcheol, 'kan?"

Wonwoo mengangguk kaku.

"Aku,, Jeonghan.. Aku dan hyung-mu teman satu universitas.. Seungcheol sering bercerita tentangmu..." Huek. Ingin rasanya aku muntah. Aku baru saja mengenal Seungcheol beberapa hari dan belum satu minggu. Tidak mungkin Seungcheol begitu mudah bercerita tentang adiknya.

Wonwoo hanya tersenyum.

Tetapi sepersekian detik kemudian Wonwoo menunjuk kearah Seungcheol, yang tentu saja membuat pandanganku tertuju kepada apa yang ia tunjuk.

"S-seungcheol hyung..."
"A-apa?"
"Dia bangun!"

Wonwoo benar.

Jari tangan Seungcheol bergerak sedikit demi sedikit, begitu pula dengan kelopak matanya yang gemetar hingga semakin lama membuka semakin lebar.

Aku dan Wonwoo menghampirinya dan dapat melihat kedua bola matanya bergerak searah untuk mencari tahu dimana ia saat ini.

"S-seungcheol-ah!" Ucapku memanggil namanya, dengan khawatir serta penuh dusta.

"H-hyung!" Wonwoo juga ikut memanggilnya.

Kulihat raut wajah Seungcheol yang tidak dapat kubaca, ia kebingungan, tetapi kesakitan, kelelahan, dan,, ekspresi lain bercampur menjadi satu. Tetapi yang paling dapat kulihat adalah wajahnya yang terlihat bahagia setelah menyadari keberadaanku yang ada disampingnya.

"J-jeonghan-ah.." panggilnya lirih. Ha! Bahkan ia lebih mendahulukan memanggil namaku dari pada Wonwoo yang jelas-jelas saat ini berstatus sebagai adiknya. Kau hebat, Yoon Jeonghan!

"Seungcheol-ah! Aku,, sungguh khawatir dengan keadaanmu.."

Seungcheol terkekeh ringan.

"Kupikir,, aku baik-baik saja.."

"Hyung,, Kau baru saja bangun setelah dua hari kau belum sadarkan diri.. Apa aku harus memanggil dokter?"

Baguslah kau bertanya itu, mantan adikku..

"Ya.. Panggilah!" titahku padanya sedikit terburu-buru.

Wonwoo mengangguk sambil tanda menurut kemudian setengah berlari meninggalkanku bersama Seungcheol. Setelah kulihat Wonwoo benar-benar pergi,

Grepp..

Aku menggenggam tangan Seungcheol dengan kedua tanganku.

"Seungcheol-ah! Mengapa ini bisa terjadi?" Kuharap wajahku ini dapat menipunya.
"Aku tidak tahu.." Seungcheol mengatur napasnya bagai telah berlari bermil-mil jauhnya. Berlebihan sekali, padahal apabila ia mati ditempat, rencanaku pasti dipermudah. "Yang kuingat adalah,, ketika aku tengah membalas pesan darimu, dan kecelakaan itu terjadi."

Tuhan sepertinya masih menyayangimu, ya?

Kutarik kedua ujung bibirku agar membentuk senyuman.

"Syukurlah!"

Cklekk..

Pintu ruang rawat terbuka dan menampakkan seorang dokter lengkap dengan jas putih dan stetoskop bagai sebuah kalung, beserta dua orang perawat datang dengan tergesa-gesa.

===

Dan kalian tentu tahu, ini belum seluruhnya, masih banyak yang perlu aku ungkapkan tentang rencana-rencanaku bersama Mingyu untuk mencapai keadilan yang aku harapkan.

Ini hanya beberapa poin kecil dari rencanaku. Jadi, kisahku ini, bersambung.

===  


Holahooo para readers sekalian!! Yeay!! Akhirnya Soora kembali membawa SpeChap (yang bakal berchapter-chapter pula) inii.. Semoga suka yaa.. ^^

Sebelumnya Soora mau minta maaf karena :

1. Soora terpaksa mem-private SpeChap ini karena Soora udah gak tahan sama Siders :(

2. SpeChap ini lama banget, iya kan?

Tapi semoga kalian cukup puas sama SpeChap ini karena mungkin sebagian dari kalian mungkin bakal bilang "Ooh.." ketika di baca beberapa bagian SpeChap ini..

Selanjutnya Soora mau bilang Terima Kasih sebanyak-banyaknya karena kalian setia nunggu SpeChap ini..

Yaah.. Happy Reading aja dehh.. Happy 16K Readers!! dan Happy 1,5K Votes!! ^_^

JANGAN LUPA VOMMENT!!

See ya! :*

The Same Occurrence (SEVENTEEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang