Chapter 5

70 5 0
                                    

Sama seperti hujan, kamu datang disaat yang tepat.

***

Sampai saat ini aku tidak pernah bisa mengerti bahwa efek dari mencintainya bisa separah ini dalam kehidupanku. Rasanya ada lubang menganga didalam dadaku setiap saat aku mengingatnya lagi. Empat tahun sudah kuhabiskan dengan berusaha melupakannya dan aku berhasil. Tidak juga. Aku sudah berhasil mengesampingkan perasaanku dan memulai hidup baru lebih tepatnya.

Ruangan ini masih sama seperti setahun yang lalu saat pertama kali aku menempatinya. Membantu seseorang menyelesaikan masalahnya cukup membuatku sibuk dan melupakan masalah yang pernah tejadi dihidupku. Pikiranku sudah mulai terbuka seiring bertambahnya umur dan pengalamanku dalam menghadapi masalah-masalah klienku. Kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, penyiksaan, kekerasan pada anak dibawah umur, pembunuhan dan masih banyak lagi kasus-kasus yang kuhadapi. Saat itulah aku mengerti bahwa aku masih beruntung walaupun banyak kehilangan yang ku alami. Setidaknya masih banyak orang-orang diluar sana yang mengalami permasalahan yang lebih parah dariku. Untuk apa aku terus terpuruk sementara orang-orang tengah membutuhkan uluran tangan untuk membantu mereka.

Aku sudah kembali dari Bandung seminggu yang lalu. Perasaan sedih dan menyakitkan itu masih ada dan masih kurasakan, begitu juga rasa senang dari memori yang pernah tercipta di kota itu. Bagiku cinta itu tidak hanya bicara tentang bahagia dan rasa manis saja, tetapi juga ada rasa sedih dan pahitnya. Jika berani jatuh cinta maka harus berani patah hati dan kecewa. Dan aku tidak pernah menyesali apapun yang pernah terjadi meskipun ada perasaan lelah dan hampa yang kurasakan karena mencintai.

Berbeda dengan diriku yang dulu, saat itu aku terlalu dibutakan oleh rasa senang yang tak terkira sampai aku lupa bahwa akan ada kekecewaan setelahnya.

***

4 tahun yang lalu.

Sesampainya aku dirumah senyum yang sejak tadi bertengger dibibirku tidak juga berhenti. Rasa senang ini nyata.

Meletakkan tas dimeja, dan berjalan ke kamar aku masih sibuk bersenandung bahagia. Kurebahkan diriku diatas kasur empuk dengan seprai berwarna merah dengan motif bunga-bunga kesukaanku. Diluar hujan turun dengan lebat, dari jendela kamarku dapat kulihat bahawa rintik-rinting hujan terlihat begitu indah sekarang.

Biasanya suasana seperti ini selalu mengingatkan ku akan apapun hal yang pernah terjadi dikehidupanku. Ayah, Ibu, sahabatku yang tidak lagi berada didekatku. Tidak pernah ada yang ku seselai dari perpisahan itu. Antara Ayah dan Ibu, ataupun antara aku dan Cecil. Aku percaya bahwa semuanya adalah kehendak Sang Pencipta. Manusia boleh berencana tapi Tuhanlah yang akan menentukan bagian mana yang akan kita alami.

Aku tidak lagi berharap pada Ayah, walaupun sebagian dari hatiku merindukannya. Ia sudah memilih kebahagiaannya sendiri, Ibu dan aku juga memiliki pilihan kami sendiri. Sejak kami pindah ke Bandung, aku sudah tidak lagi tahu mengenai kabar Ayah. Apakah dia sehat, apakah dia merasa lebih bahagia dengan keluarga barunya ataukah ia sudah tiada. Aku sudah tak lagi peduli.

Sekarang kenangan-kenangan buruk itu sudah mulai terkikis oleh waktu. Walaupun jejaknya samar-samar masih bisa kulihat, namun tak sejelas dulu.

Aku kembali mengambil kertas yang secara ajaib bisa membuatku teramat bahagia, didalam kantong jaket yang ku kenakan. Ku baca lagi dan kubaca lagi berulang-ulang kali dan perasaan senang itu justru semakin bertambah.

Aku tidak lagi ingat sejak kapan aku tertidur karena memandangi kertas tersebut. Yang jelas sejak malam itu aku dapat tertidur lebih nyenyak dari malam-malam sebelumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang