sembilanbelas

13.1K 778 133
                                    

"Mau lo sebenarnya apa sih, Mi?!" Bentakan Ian di tengah lorong rumah sakit yang ramai ini membuat air mata Mia mengalir makin deras. Isakan tangis tak bisa ia keluarkan akibat banyaknya khalayak yang memperhatikan aksi mereka berdua.

Kini, mereka berdua sedang berjalan menuju ruang UGD untuk menemui keadaan Nara yang kritis.

"Gue gak habis pikir sama jalan pikir lo! Sumpah, lo jadi cewek kenapa bloon amat, sih?!"

Mia menunduk makin dalam, mempercepat langkahnya, berharap agar bisa melewati bentakan yang Ian smeburkan kepadanya. Ia benar-benar tidak kuat harus mendapat semprotan selama perjalannya kemari.

"Mia! Lo denger gue atau gak?"

"Cukup, Kak, plis...." Mia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu UGD. Tangisannya lepas disaat matanya terpaku pada sosok yang tengah berbaring tak berdaya di dalam ruangan ini. Dikerumuni oleh dokter dan perawat. Tangannya terulur untuk merayapi permukaan kaca yang berada di bagian atas pintu ruang gawat darurat ini.

"Ini keputusan gue, yang terbaik untuk gue...."

"Tapi gak buat Nara!"

Mia menggigit bibir bawahnya keras dan dalam. Telapak tangannya yang menempel pada permukaan kaca mulai bergetar. Bahunya berguncang hebat, ia tak dapat membendung lagi betapa ia menyalahkan dirinya sendiri akibat insiden tak terduga ini. "Gue rela..." Mia menarik napas dalam. "Gue hancur...,"

Sontak Ian tergelak mendengar lirihan yang diluncurkan Mia untuknya. Matanya melotot dengan rahang mengeras. Langkahnya ia dekatkan ke arah tubuh Mia berdiri terpaku, dan dengan cepat tangannya terulur untuk mencengkram kuat pergelangan tangan Mia.

"APA YANG HARUS LO RELAIN? APA YANG BUAT LO HANCUR?!" Mata Ian memerah, urat-urat kemarahannya mulai terlihat. Ini pertama kalinya Ian membentak Mia di depan umum. Pun ini disebabkan oleh sahabatnya sendiri, Nara.

Mia menangis tersedu-sedu. Meringis kesakitan akibat cengkraman kakaknya. "Setidaknya kesialan gue hilang, Kak," Mia tersenyum hambar. Walaupun hatinya sama sekali tak berniat mengucapkan itu.

Ian memicingkan mata. Menghempaskan kasar tangan Mia dan mulai mengacak-acak rambutnya frustasi. "Sebenarnya yang lo pikirin tentang Nara itu apa?! Lo tau gak, sih? Lo egois, Mi. Egois! Lo mentingin diri lo sendiri tanpa tau gimana perjuangannya Nara melawan perasaannya, sampai sekarang dia kalah dan memilih jatuh hati sama lo! Dia udah naruh harapan tinggi buat lo, tapi yang dia dapet apa? PENGHIANTAN DAN KEHANCURAN!"

"Gue malu, Mi. Malu! Gue yang meyakinkan dia tentang keindahan cinta, memantapkan kalo lo emang yang terbaik buat dia. Tapi malah gue yang ngehancurin kepercayaan dia ke gue. Sumpah, gue gak nyangka lo bakal setega ini! Mia yang gue kenal gak pernah bodoh kayak lo sekarang!"

Semburan bentakan yang Ian keluarkan barusan, sungguh menjadi halilintar, badai, dan angin topan dipendengaran Mia. Dirinya kali ini hancur, retak menjadi kepingan-kepingan melebihi kecilnya atom saat Ian mengucapkan kalimat yang berhasil menusuk relung kalbunya yang terdalam. Kata-katanya bagaikan belati yang sukses merobek dan menyayat hati Mia yang sudah benar-benar runtuh, menjadi tak berbentuk.

Ia tahu, dirinya salah. Terlalu laknat untuk mengambil keputusan. Sampai ia tak tahu apa yang harus ia lakukan hari ini.

Mia terduduk lemas di lantai. Menangis sekencang-kencangnya karena keadaan lorong sepi yang mendukung. Dipandangi oleh Ian yang hanya bisa menahan amarah memuncaknya.

"Lo tau? Seseorang baru itu gak selamanya bertahan di hidup lo," Ian berucap datar. Masih menatap Mia lekat dengan mata berapi-api. "Dan disaat seseorang itu dateng, kenapa gak kita sambut dengan baik? Agar dikejar dan dirayu? Agar dia bisa mencari sandaran yang lain, akibat kecuekan kita? Atau agar ia bisa pergi selama-lamanya tanpa kembali?"

Someone NewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang