duapuluh dua

7.6K 596 41
                                    

Suasana canggung menyelimuti antara sepasang kekasih yang sedang menunggu pesanan makan di kantin pada jam istirahat ini. Tatapan yang mereka lemparkan sama sekali tak dapat diartikan. Bahkan tatapan Mia kepada Nara tersirat rasa dengki, curiga, dan kesal. Otomatis Nara makin terpojokan dibuatnya.

"Siapa dia?" Mia akhirnya memulai percakapan. Matanya masih tak henti memandang Nara dengan pandangan penuh tanya. "Hubungan apa yang dimaksud?"

Nara mengulum bibir. Matanya membalas arti tatapan Mia dengan mata sayu, tapi tetap saja. Mata tajamnya itu mampu membuat siapapun yang melihatnya meleleh.

"Nar, plis. Kita pacar sekarang dan jangan ada yang dirahasiain,"

Laki-laki itu tetap membisu. Bahkan bola matanya sudah berpaling ke lain arah, dimana pandangan itu ia arahkan kepada dia yang berdiri disudut kantin dengan mimik wajah kecewa. Parasnya yang terlihat amat polos dan ayu itu benar-benar berhasil membuat hati Nara mencelos, bahkan alat bantu pernapasannya kini tak berfungsi untuk memberi pasokan oksigen ke paru-parunya dengan benar.

"Gue gak tau...,"

Akhirnya hanya kata itu yang berhasil dikeluarkan Nara. Benar. Nara sudah berkata seadanya. Ia tidak mengetahui gadis polos tersebut, tapi entah mengapa sesuatu yang terkurung di dalam dirinya memberontak dan ingin meneriakan sesuatu, namun tak tersampaikan.

"Gue gak tau... dia, siapa?" Nara mengulang sekaligus menambahkan jawabannya barusan. Matanya sudah memilih untuk terpejam, tangannya terkepal disisi tubuh dan otaknya mulai bekerja untuk menyimpan gambaran wajah gadis tersebut.

Mia yang tak mengerti apa maksud dari pergerakan Nara hanya bisa menggigit bibir bawah dengan gusar. Hatinya terasa ditusuk beribu-ribu belati dengan ketajaman yang luar biasa. Belati itu mengoyak sebagian permukaan hati dan jantungnya. Tak berdarah, namun sangat perih.

"Gue gak tau lagi harus ngomong apa. Hubungan kita emang gak ditakdirkan mulus," kemudian Mia tertawa sumbang. Ia masih belum menyadari keberadaan dia diantara mereka berdua.

Nara menarik napas panjang. "Jangan ngomong gitu," tangannya beralih untuk meraih telapak tangan Mia. Mengikuti gambaran garis tangan milik Mia dengan telunjuknya. Matanya menerawang. "Gue prediksi, sih, kita bakal terus bareng. Sampe kapanpun."

"Gak. Jangan buat gue berharap dengan segala kemungkinan yang lo buat." Mia menyela. Tangannya dengan kasar ia tarik dari genggaman Nara. Matanya memincing. "Jengkel gue sama Tuhan yang udah lancang buat skenario kehidupan gue ini hancur. Lebih baik gue gak usah ketemu elo, kalo ujung-ujungnya gak bisa bahagia walau sama-sama cinta."

Mata Nara membulat mendengar cibiran pedas yang Mia keluarkan mengenai Tuhan. Telunjuknya dengan spontan mendarat di depan bibir Mia yang seksi itu. Bibir Nara menyerukan suara "Sst!" lalu berkata, "Lo gak boleh nyalahin Beliau yang udah jadi sutradara di kehidupan setiap umat manusia. Lo ambil hikmah yang bakal terjadi disetiap peristiwa yang lo lewati. Jangan pernah salahin Beliau atas apa yang telah menimpa lo. Itu semua gak seburuk yang lo pikirin. Hidup lo gak pernah selamanya buruk hanya karna lo sial di satu hari aja,"

Mia menghela napas.

"Apa lo lupa? Gue sebagai contoh. Lo bisa ambil hikmah dari penyakit yang ada di tubuh gue. Dan lo bisa ambil hikmah dari pertengkaran kita disaat pertama kali kita ngobrol, nyolot-nyolotan, jahil-jahilan. Akhirnya? Kita bersama, Mine. Hikmahnya, gue jadi tau gimana indahnya cinta yang sesungguhnya. Gimana kita berjuang, gimana cerita ketika kita bener-bener tertentang sama perasaan masing-masing. Gimana cara kita ngelewatin semua hal sulit tentang pikiran masing-masing yang itu egois banget. Itu hikmah dibalik semua ini, Mia...." Nara berdesis. Nadanya rendah, namun sanggup membuat segelintir air mata Mia mengalir.

Someone NewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang