3. 10 Tahun Kemudian

57 1 0
                                    


Sepuluh tahun berlalu, tapi tak pernah sedetik pun Flow melupakan Juan. Ia selalu menunggu, siapa tahu Juan akan kembali. Namun, sampai saat ini nyatanya Juan belum kembali. Flow memjadi cemas, harapannya sudah hampir pupus.

Bayangkan. Sepuluh tahun itu waktu yang lama bukan? untuk pergi? Tidakkah Juan merindukan dirinya barang sesaat?

Flow menghel nafas kasar, sepertinya Ia harus mulai berhenti berharap Juan akan kembali.

Tapi, bukankah kita betunangan Ju? Mana janji kamu untuk selalu jagain aku? Kamu nggak pernah kangen aku ya? Batin Flow cemas.

Ia menundukkan kepala dalam lipatan tangannya.

Fira cemas melihat keadaan temannya yang akhir-akhir ini murung. Prim-sahabatnya yang sudah tiga tahun menjadi teman sebangkunya ini memang suka sekali murung. Fira tahu sebabnya, pasti Juan. Tiga tahun menjadi sahabat Prim membuat Fira mengetahui sedikit tentang kehidupan Prim. Termasuk tentang Juan dan juga tentang Juan yang selalu memanggil Prim dengan sebutan Flow. Maka itu, Fira tak pernah memanggil Prim dengan panggilan Flow. Katanya, itu akan mengingatkannya pada Juan.

Fira mengguncang bahu Flow. "Prim yang cantik, kenapa sih murung terus? Masih mikirin cowok itu?"

Flow tak bergeming.

"Prim.. Prim, sadar dong Prim. Sadar." Ucap Fira kesal melihat tingkah Prim.

Flow mendongak, menatap Fira sedih. "Dia nggak mungkin balik lagi kesini ya Fir?"

Fira menggeleng kuat lalu direngkuhnya Flow ke dalam pelukannya. "Lo harus kuat Prim, masih banyak cowok di dunia ini."

Flow mulai terisak. "Aku cuma mau Juju Fir, cuma Juan." Lirihnya.

Fira hanya bisa mendengus mendengar kemauan kuat dari Prim. Gadis itu tak pernah bisa melupakan Juan. Tak akan pernah bisa.

Flow mengucek matanya berkali-kali. Menghilangkan kesan habis menangis di wajahnya.

Bu Rani, guru sejarah Flow sedang menjelaskan materi untuk kisi-kisi ulangan minggu depan. Sesekali, Flow hanya melihat papan tulis lalu menulis catatan di bukunya. Ia selalu gagal menghafal seluruh materi sejarah. Karena Flow tak suka menghafal. Maka itu, kali ini Ia benar-benar fokus dalam mencatat semua materi kisi-kisi untuk ulangan minggu depan. Tak mau ulangannya mendapat nilai merah untuk kesekian kalinya lagi.

"Prim dan Reno tolong bawakan buku paket untuk belajar hari ini." Bu Rani menoleh pada keduanya lalu menyudahi tulisannya di papan tulis.

Reno mengangkat kepalanya lalu tersenyum. Melangkah menuju pintu kelas untuk mengambil buku di perpustakaan. Flow mengikutinya dari belakang.

Reno kikuk menghadapi Prim yang Ia sukai sejak pertama bertemu. "Eh Prim." Ucapnya canggung.

Flow mendongak kemudian menatap punggung Reno. "Iya?"

Reno berbalik. "Hm.. gue boleh nggak masuk kelompok sejarah lo?"

Flow menghentikan langkah kemudian mengangguk pelan. "Boleh kok, gabung aja lagi."

Reno tersenyum lagi, lalu mengajak Prim berjalan bersisian dengannya. "Jalannya jangan dibelakang gue dong, disini aja, disamping gue."

"Eh iya iya." Flow segera bersisian dengan Reno. Lalu mereka melanjutkan pergi ke perpustakaan.

Flow mengambil buku yang berada di rak atas. Ia kesusahan, badannya tak tinggi semampai. Namun Ia nekat, berjinjit sambil berusaha menggapai buku-buku itu.

Primrose FlowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang