2

2.4K 138 3
                                    

"Eyes Voice"
Part 2
_______
Ting... Denting halus pintu lift terdengar. Iqbaal keluar dari dalam lift, menapaki teras lobi yang hanya dihuni oleh 2 orang petugas yang mendapatkan piket malam, dan... Yang lainnya. Makhluk lain. Hhhh... Lupakan. Iqbaal tidak mau mendeskripsikan lebih lanjut.
"Saya duluan Pak," pamit Iqbaal pada salah satu petugas, seraya menganggukan kepalanya dengan sopan. Langkahnya terayun keluar. Melewati pintu putar lobi.
***
Kret... Pintu sebuah kamar kos-kosan terbuka. Bagian bawah pintu yang sudah tidak seimbang antar ujungnya menyebabkan bunyi deritan setiap kali pintu tertutup maupun terbuka.
Trek... Lampu kamar menyala. Cahaya lampu yang mulai redup. Entah kuota cahayanya akan bertahan berapa lama lagi. "Hhh... Tadi aku lupa gak beli lampu," gumam si pemilik kamar menatap lampu kamarnya yang sudah mendung.
Kakinya kembali bergerak, menyimpan helm, tas, dan ponselnya di atas meja. Lalu tubuhnya membungkuk, membuka tali sepatu satu-persatu. Melepaskan kakinya dari bungkusan kaus kaki yang seharian ini tidak ia buka sama sekali. Dasar laki-laki!
"(namakamu) sama Salsha, mereka sahabat aku. Gak usah khawatir sama mereka. Aku sempat mengenalkan mereka sama kamu, kan?"
Iqbaal, laki-laki itu melangkahkan kakinya menuju belakang pintu kamar mandi untuk meraih handuk yang menggantung di sana. "Mungkin mereka hanya bercanda," ucapnya lagi sebelum memasuki kamar mandi.
Berselang 15 menit, Iqbaal keluar dari kamar mandi dengan kaus putih dan celana pendeknya. Handuknya menggantung di tengkuk, ia gunakan untuk menggosok-gosokan rambutnya yang basah. "Kamu masih khawatir?"
"Kamu tahu pasti, aku akan menepati janji itu sama kamu," ucapnya Iqbaal. Seolah perkataannya mendapat respon anggukan, Iqbaal tersenyum tipis. Lalu langkahnya terayun menuju tempat tidur.
***
"Santai (namakamu), santai."
"Santai? Gue harus bikin tulisan. Dan tulisannya harus berhasil dimuat di surat kabar."
(namakamu) mengetuk-ngetuk keningnya dengan menggunakan bolpoin. Ia mendengar ketukan-ketukan bolpoin itu berbunyi nyaring, apakah kepalanya saat ini benar-benar kosong? Walaupun sebenarnya ia sadar kepalanya kosong sedari dulu, "Semaleman loh Sha gue coba buat nulis artikel. Tapi... Sumpah ya, gue rasa gue salah masuk jurusan."
Ucapan (namakamu) membuat Salsha terkekeh. Salah jurusan? Sudah tingkat 3 seperti ini (namakamu) baru menyadari bahwa dirinya salah masuk jurusan?
"Salah masuk jurusan? Bukan salah masuk jurusan, tapi lo kesasar masuk sini."
(namakamu) tidak merespon, hanya menggigit-gigit bibir bawahnya. Bingung.
"Gue udah bilang sama lo, lo minta bantuan sama Iqbaal. Siapa tahu Iqbaal bisa bantu artikel amatiran lo buat dimuat di korannya," ucap Salsha seraya mengeluarkan buku setebal 6 cm dari dalam tasnya.
"Coba ulangi lagi?"
(namakamu) memalingkan wajahnya, menatap Salsha yang kini tengah membuka-buka buku tebalnya.
"Iya kan? Gak ada salahnya, Iqbaal kan sahabat kita. Mantan sahabat. Atau masih sahabat ya?"
"Ck! Kalau nanti nyamperin Iqbaal, terus Iqbaal pergi sebelum gue bilang apa-apa, gimana?"
Salsha kembali terkikik, membayangkan wajah melas (namakamu) menghadapi wajah dingin Iqbaal yang tidak menghiraukannya sama sekali.
Selama mata kuliah berlangsung, mata kuliah Komunikasi Grafis, mata kuliah yang paling (namakamu) benci. Apakah ada mata kuliah yang (namakamu) sukai? Sepertinya tidak ada. Gadis itu dulu bercita-cita menjadi seorang model, penyanyi, atau aktris mungkin-_-. Tapi karena sikapnya yang labil dan mudah berubah-ubah, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan Jurnalistik. Aneh kan? Begitulah. Dan barulah saat ini ia menyadari bahwa ia tengah tersesat di hutan jurnalistik.
Brek... Entah kertas keberapa yang (namakamu) sobekan saat ini. Sedari tadi gulungan kertas-kertas yang berisi tulisan kacaunya sudah memenuhi isi tasnya.
"Lo bisa kerjain tugasnya nanti," desis Salsha, menyuruh (namakamu) untuk fokus mengikuti perkuliahan.
"Gue gak bisa tenang sampai tugas Bu Silma selesai. Kalau nilai gue E, gue tahun depan bakal ketemu dia lagi. Lo mau gue sengsara untuk kedua kalinya di tahun depan?"
"Dan kalau lo gak fokus sama mata kuliah ini. Tahun depan lo gak cuma ngulang mata kuliah Bu Silma aja. Ngerti lo?"
Ucapan Salsha membuat (namakamu) mendesah, menyerah. Membiarkan dirinya untuk fokus, mencoba fokus, walaupun mata kuliah ini memuakan hingga membuat (namakamu) nyaris muntah. Menatap dosen pria berumur dengan kacamata slindris tebal itu menggumam-gumamkan kata-kata tidak jelas, sungguh ini amat menyebalkan.
***
Brek... Jika saja (namakamu) menghitung berapa kertas yang sudah ia sobekan, maka ia akan tahu bahwa jumlah robekan kertas-kertas itu akan mendekati 1 rim.
Perpustakaan yang saat ini amat senyap ternyata sama sekali tidak membantu (namakamu) untuk bisa membuat tulisan yang layak. Memalukan! Mahasiswa Jurnalistik tingkat 3 sama sekali tidak bisa membuat artikel, hanya artikel. Dulu, jika ada yang bertanya, 'berapa artikel lo yang udah dimuat di koran?' Maka (namakamu) akan menggeleng dengan wajah tidak perduli. Namun kali ini...
(namakamu) menelungkupkan wajahnya di hadapan tumpukan buku-buku yang menjadi sumber referensinya. Ternyata hanya membuat sebuah artikel pada secarik kertas saja sangat sulit. "Ternyata gue sebego ini," gumamnya dengan wajah frustasi.
Tangan kanannya meraih ponsel dari dalam saku celana jeansnya.
'Hallo? (namakamu)! Lo dimana sih? Gue sendirian di kantin kayak orang bego!'
"Lo lihat Iqbaal di kantin?" tanya (namakamu), sama sekali tidak menghiraukan gerutuan Salsha di seberang sana.
'Hah?'
"Iqbaal? Ada?"
'Ada. Emang kena-'
Tut... Tut... Tut...
(namakamu) segera meraih tumpukan buku di hadapannya untuk dikembalikan pada rak semula. Langkah cepatnya terayun begitu agresif menuju loker tempat penitipan barang. Setelah menyerahkan nomor penitipan pada penjaga perpustakaan, (namakamu) meraih tasnya yang terkesan ringan. Berbeda sekali dengan tas Salsha yang bisa mencapai 4kg.
Langkahnya kembali terayun, kali ini keluar dari dalam perpustakaan. Ia akan menemui Iqbaal. Ya! Sepertinya saat ini ia benar-benar harus menemui Iqbaal. Membulatkan tekadnya untuk mengorbankan rasa malunya jika nanti Iqbaal mengabaikannya. Lupakan. Iqbaal mungkin akan menyambutnya dengan baik. Iya kan? Mulutnya tidak berhenti bergumam.
"Hai Iqbaal!"
Apakah kata itu yang harus ia ucapkan ketika menyapa sahabatnya yang selama 3 bulan lebih ini sama sekali tidak pernah menegurnya, sama sekali. (namakamu) menggeleng.
"Apa kabar, Baal?"
Hari ini Iqbaal datang ke kampus kan? Mengikuti perkuliahan kan? Saat ini sedang duduk di kantin kan? Jelas keadaan Iqbaal baik-baika saja. Terlalu bodoh jika (namakamu) bertanya seperti itu.
"Sshhh... Oon! Oon! Oon!"
(namakamu) malah sibuk menggumam sendiri, tanpa disadari langkah cepatnya tadi membuat tubuhnya kini sudah berhenti di ambang ruangkantin.
"Kok gue udah nyampe lagi, sih?"
(namakamu) lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri. Untuk apa ia berjalan terlalu cepat tadi, padahal ia belum sama sekali mendapatkan kalimat pembuka untuk menyapa Iqbaal.
"(namakamu)?!"
Teriakan itu sontak membuat (namakamu) mengedarkan pandangannya. Tatapannya berpendar dan... Tap.
Aldi dan Bastian melambai-lambaikan tangannya kini ke arahnya. (namakamu) tersenyum hambar. Langkahnya kembali terayun mendekati dua pemuda, eh tiga, karena ada Iqbaal diantara mereka. (namakamu) tahu, pasti Salsha yang menyampaikan pada Aldi atau Bastian bahwa dirinya mencari Iqbaal.
"Bodohnya."
(namakamu) menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah frustasi yang dibuat tenang(?)
"Kata Salsha lo nyari Iqbaal?" tanya Bastian seraya menaik turunkan kedua alisnya. Bastian, Aldi, Salsha, ketiga makhluk itu mengetahui bahwa 'dulu' (namakamu) menyukai Iqbaal. Dulu! Itu dulu ya! Dulu (namakamu) menyukai Iqbaal. Saat ini? Masih-_-.
Dengan wajah aneh, mendekati stress, (namakamu) duduk di samping Bastian. Di hadapannya ada Aldi dan Iqbaal yang sama sekali belum menatap keberadaannya.
"Ada perlu sama Iqbaal?" tanya Aldi dengan raut wajah ingin tahu.
(namakamu) meringis, "Jadi gini..."
sejenak menarik nafasnya perlahan. "Apa kabar Baal?"
ToT... Bukankah itu kalimat yang (namakamu) blacklist untuk menyapa Iqbaal? Mengapa kalimat itu malah keluar tanpa sadar? (namakamu) gugup? Sepertinya lebih dari itu.
Aldi dan Bastian saling menatap dengan wajah heran. Tidak ada kah kalimat yang lebih bodoh dari pada itu?
(namakamu) mengetuk-ngetuk pelan keningnya. Wajahnya terlihat lebih frustasi. Jika tadi hanya gugup, maka saat ini wajahnya terlihat gugup berkolaborasi dengan malu.
"Tugas dari Bu Silma?" tanya Iqbaal, tatapannya sekilas menatap (namakamu).
"Ah?"
(namakamu) balas menatap mata Iqbaal. Mata (namakamu) berbinar, jika ia tidak malu maka saat ini ia akan menangis sambil bersujud. Iqbaal meresponnya? Iqbaal sama sekali tidak mengabaikannya?
'Aaaaa!!! Dia ngomong sesuatu sama gue? Terus... Terus tadi liat mata gue kan? Dia natap mata gue? Tuhaaannn... Mimpi apa gue tadi malem?!!!'
Suara itu terdengar di telinga Iqbaal, membuat Iqbaal sedikit ingin tersenyum. Sedikit.
"Lo kenapa?" tanya (namakamu).
Iqbaal menggeleng, sekilas kembali menatap (namakamu).
'Dada gue! Dada gue baik-baik aja kan? Jantung gue gak loncat-loncat di sana kan?' (namakamu) memegangi dadanya sendiri.
Iqbaal kembali menunduk, menyembunyikan sudut bibirnya yang kini tertarik.
***
"Ada artikel yang udah lo tulis?"
Iqbaal masih menunduk. Membuka-buka lembaran buku yang ia dapatkan dari rak baris ke-dua.
Entah setan apa yang merasuki tubuh Iqbaal hari ini (namakamu) tidak tahu. (namakamu) dan Iqbaal kini tengah berada di dalam perpustakaan. Iqbaal menerima permohonan (namakamu) agar membantunya membuat artikel yang mampu dimuat dalam salah satu surat kabar. Hanya itu tugasnya. Sekali lagi ditegaskan, hanya itu! Namun (namakamu) benar-benar kelabakan setengah mati.
"Nih."
(namakamu) menyerahkan beberapa kertas yang berisi coretan-coretannya, beberapa artikel yang ia buat.
Iqbaal mengerutkan keningnya ketika mendapati judul pertama pada bagian atas kertas, "Diet Ketat Ala Rihanna?"
Iqbaal menggigit lidahnya sendiri, kemudian "Merawat wajah berminyak?"
"Mengelola rasa rindu untuk dia?"
Ketiga judul artikel yang membuat Iqbaal ingin mencekik lehernya sendiri. Apakah ini judul artikel yang (namakamu) anggap layak dimuat dalam surat kabar? "Lo mau buat artikel buat surat kabar atau majalah remaja?"
Ada satu hal yang Iqbaal lupakan, gadis cantik di hadapan Iqbaal saat ini adalah termasuk dalam salah satu jajaran gadis cantik dengan pengetahuan minim dan... Kemampuan kinerja otak yang mendekati lemah. Ya, Iqbaal melupakan itu. Apakah akibat 3 bulan ke belakang Iqbaal tidak berinteraksi dengannya, Iqbaal melupakan kemampuan minim gadis itu?
"Menurut lo?"
Pertanyaan (namakamu) membuat Iqbaal ingin merobek kertas-kertas dalam genggamannya. "Apa lo gak bisa, selipin satuuuu aja. Satu! Artikel gue di surat kabar tempat lo kerja."
(namakamu) memasang tampang memelas, sebenarnya itu inti dari (namakamu) meminta tolong Iqbaal. Bukan belajar untuk membuat sebuah artikel yang seperti Iqbaal pikirkan, BUKAN! (namakamu) tidak perduli dirinya bisa membuat sebuah artikel atau tidak. Yang penting, Iqbaal membantunya untuk menyelipkan artikel (namakamu) di salah satu kolom surat kabar tempatnya bekerja.
"Nepotisme? Bisnis media gak mengenal kata 'titipan' atau apapun namanya."
'Hhhh... Untuk apa gue minta tolong lo kalau gitu!'
"Gue nolongin lo, buat nulis artikel yang bener," ujar Iqbaal, tangannya meremukan kertas-kertas coretan tidak penting yang (namakamu) serahkan tadi.
"Hal yang harus lo perhatiin, pertama..."
Iqbaal kembali berucap, tatapannya sekilas kembali menatap (namakamu).
'Lo cakep ya? Pantes aja gue suka sama lo.'
Iqbaal tidak ingin mendengar suara itu, sungguh! Tapi suara itu terdengar begitu saja.
"Pertama, lo harus..."
'Lo bisa pegang dada gue. Ini lompat-lompat dari tadi.'
Brak... Iqbaal menggebrak meja, berusaha membuat (namakamu) fokus dengan apa yang Iqbaal bicarakan, dan sepertinya berhasil, (namakamu) sedikit tersentak lalu menegakan tubuhnya.
"Pertama, lo harus ngambil tema yang aktual. Yang lagi in, yang saat ini jadi fokus masyarakat. Ok?"
(namakamu) mengangguk, matanya masih menatap Iqbaal, 'Hhhh... Lo makin pinter.'
"Kedua, lo harus punya gagasan yang lo munculin di artikel lo. Bisa berupa konklusi atau saran penyelesaian dari masalah yang lo angkat. Ngerti?"
(namakamu) mengangguk dengan wajah berusaha fokus, 'gue selalu ngerti lo, Baal. Lo yang gak pernah ngerti gue.'
Iqbaal sedikit menepuk keningnya, sebelum melanjutkan, "Dan ketiga, lo harus nulis sesuatu yang bener-bener lo kuasai. Bidang yang... Yang dalam cakupan kemampuan lo. Ada kan?"
(namakamu) mengangguk lagi. 'Kemampuan gue? Deskripsiin sosok lo buat gue.'
Iqbaal sedikit mendesah. Beberapa hal yang ia dengar tadi membuatnya sedikit pesimis untuk membantu (namakamu). Apakah keputusannya untuk membantu (namakamu) ini salah? Iqbaal sedikit menyesal mengambil keputusan terlalu cepat seperti ini.
"Ada yang mau lo tanyain?"
'Kapan lo peka?'
"Ada yang mau lo tanyain?"
Iqbaal mengulangi pertanyaannya.
(namakamu) menggeleng. Itu artinya tidak ada. Tidak ada hal yang ingin ia tanyakan karena sama sekali ia tidak mengerti penjelasan Iqbaal yang tadi ia beberkan. Sungguh.
"Gue harus berangkat kerja. Sampai sini dulu. Lo tulis dulu apa yang lo bisa, besok gue lihat tulisan lo."
Iqbaal meraih tasnya, menyelempangkannya pada bahu kanan.
"Oh iya,"
(namakamu) bangkit dari duduknya, menarik lengan Iqbaal yang baru saja akan melangkahkan kakinya.
Bruk... Empat buah buku yang tadi menumpuk rapi di atas meja yang (namakamu) topangi kini sudah berntakan di atas lantai. (namakamu) menoleh, heran. (namakamu) sama sekali tidak merasa menyenggol tumpukan buku itu, malah letaknya cukup jauh dari jangkauannya.
Iqbaal menoleh ke arah samping kirinya, sedikit mendesah. "Lo beresin bukunya, sebelum petugas perpustakaan dateng buat marahin lo," ucap Iqbaal. Setelah itu, Iqbaal melangkahkan kakinya, menjauhi (namakamu) untuk keluar dari ruangan senyap itu.
"Makasih, tadi gue mau ngomong itu," gumam (namakamu), menatap tubuh Iqbaal yang kini mulai hilang ditelan jejeran rak buku.
Lalu, tatapannya beralih, melihat keempat buku yang kini bertebaran di lantai. "Kok bisa jatuh? Kena angin kali ya?"
Oh Tuhan. (namakamu), Angin mana yang bisa menjatuhkan 4 buku yang apa bila diukur bisa mencapai 2 kg beratnya?
***
"Aku udah bilang, (namakamu) itu sahabat aku."
Iqbaal berucap, namun tatapannya masih tertuju pada layar komputer di hadapannya.
"Kamu gak usah marah. Aku tahu kalau dia suka sama aku, dari dulu. Tapi aku milih kamu, kan?"
Iqbaal kini menoleh ke arah sisi kirinya.
"Itu artinya, cewek yang aku sayang itu kamu," lanjutnya lagi. Disambung dengan desahan dari mulutnya.
Iqbaal, laki-laki itu bisa melihat Bella yang sampai saat ini selalu berada di sisinya. Walaupun Bella tidak pernah bisa mengeluarkan suara apapun, Iqbaal bisa membaca itu semua ketika melihat raut wajah Bella. Sepertinya Bella sangat marah. Karena Iqbaal memutuskan untuk membantu (namakamu), dan alasan lain mungkin karena (namakamu) sempat menyentuh Iqbaal tadi.
'... sampai kapanpun itu. Dan ajalpun sepertinya gak akan pernah bisa memisahkan kita.'
"Aku udah janji akan nepatin janji itu sama kamu kan? Dan sebelum itu, izinin aku buat bayar semua kesalahan aku sama dia."
Kesalahan? Iqbaal merasa dirinya sempat melakukan kesalahan?
"Aku tahu dia suka sama aku, dari dulu. Dari semenjak aku belum kenal kamu. Tapi aku berusaha pura-pura gak tahu. Pura-pura gak pernah tahu perasaan dia sama aku. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk sama kamu. Aku tahu dia terluka gara-gara itu, tapi aku masih pura-pura gak tahu. Sampai saat ini. Bahkan sampai aku terang-terangan bisa baca semua yang dia pikirkan, aku masih pura-pura gak tahu... Izinin aku buat berlaku baik sama dia, satu kali aja."
Hening...
Hanya desahan-desahan lelah Iqbaal yang terdengar.
"Gadis bodoh, yang dari dulu selalu ngasih kode-kode terang buat ngungkapin perasaannya. Dan sebelum dia benar-benar nyatain semua perasaannya sama aku, aku bilang terlebih dahulu kalau aku akan nembak kamu. Karena saat itu yang aku sayang, ya kamu."
Saat itu?
"Sampai saat ini."
Iqbaal tersenyum tipis. Mendorong kursinya ke belakang untuk memberikan ruang, meraih earphone, ponsel, dan tasnya. Tugasnya hari ini selesai.
"Kita pulang,"
Iqbaal melangkahkan kakinya keluar dari bangku kerjanya.
***
Langkah rusuh terdengar di luar kelas. Mata kuliah sudah dimulai dari 10 menit yang lalu, tapi masih ada satu mahasiswa yang belum melengkapi absen kelas untuk mengikuti perkuliahan.
"Maaf saya telat."
(namakamu) menunduk dengan wajah dimuat semenyesal mungkin. Rambutnya yang tergerai tanpa diikat terlihat sedikit berantakan.
"Masuk," balas dosen pria yang tengah berdiri di depan kelas.
Perlu diketahui, 40 persen kekesalan dosen pada mahasiswanya yang datang terlambat akan berkurang jika melihat raut wajah penuh penyesalan. Dan 60 persen kekesalannya yang lain akan menghilang jika keterlambatan dilakukan oleh mahasiswi, tanda kutip cantik:3.
"Fuhhh."
Berkali-kali (namakamu) melakukan aksi tiup-meniup. Nafasnya masih belum stabil. Anak tangga yang ia lalui untuk mencapai ruangan di lantai 2 ini cukup membuatnya terengah-engah.
"Semalem (namakamu) minta bantuan sama gue, buat nulis artikel," bisik Aldi pada Iqbaal yang duduk di samping kanannya.
"Oh ya?"
"Hmmm."
"Selesai?" tanya Iqbaal, tatapannya masih terarah pada slide-slide powerpoint di depan sana.
"Enggak. Soalnya gue ajak dia nonton keluar," lanjut Aldi dengan cara bicara yang seolah ia melakukan hal yang wajar. Memang wajar kan?
Iqbaal melirik Aldi. Tatapannya kini tidak lagi fokus pada slide presentasi. "Nonton?" ulang Iqbaal dengan kening berkerut.
"Iya, abis kayaknya dia stress banget. Ya udah, gue ajak keluar."
Aldi bergerak membenarkan posisi punggungnya.
"Sampai jam berapa lo ngajak dia keluar?"
"Hah?"
Aldi memasang tampang heran. Benarkah Iqbaal ingin tahu akan hal sepele seperti ini? Bukan kah selama ini ia tidak pernah ingin tahu mengenai hal apapun?
Iqbaal mengibaskan tangannya. Mungkin artinya, 'lupakan'. Lupakan pertanyaan bodoh Iqbaal yang keluar secara tiba-tiba.
"Lo tahu gak? Kalau selama ini gue suka sama (namakamu)?"
"Apa?!"
Reaksi Iqbaal yang memekik dengan volume cukup kencang membuat hampir seisi kelas menoleh ke arahnya. Iqbaal menunduk seraya meringis. Bodoh! Apa yang baru saja ia lakukan?
"Ada point yang mau anda tanyakan?"
Dosen pria paruh baya itu bertanya seraya memelorotkan kacamatanya, tatapannya tertuju pada Iqbaal.
"Belum, Pak," jawab Iqbaal.
Dosen pria itu mengangguk beberapa kali, lalu menekan kembali mousenya untuk melanjutkan penjelasan pada slide berikutnya.
"Gue tahu (namakamu) suka sama lo. Dan lo juga tahu itu kan?"
Aldi kembali membuat Iqbaal harus berubah menjadi sosok yang tidak pendiam. "Semoga dewa panah asmara kali ini lagi berpihak sama gue."
Iqbaal menatap Aldi yang kini senyum-senyum tidak jelas. Iqbaal merasakan hatinya sedikit tidak karuan. Kenapa? Entahlah. Sebelum ia melunasi janjinya pada Bella nanti, untuk mati bersama, Iqbaal ingin melakukan hal baik pada (namakamu) kan? Apa dengan ini caranya? Membuat (namakamu) bisa bersama dengan Aldi?
Sedari tadi Iqbaal menatap mata Aldi. Ya! Tidak ada kebohongan, Aldi jujur mengenai perasaannya pada (namakamu). Pintar sekali selama ini Aldi menyembunyikan semuanya hingga Iqbaal tidak menyadari hal itu.
"Mata kuliahnya udah selesai? Ada tugas gak?"
Bastian mengangkat wajahnya dengan mata terkantuk-kantuk. Sedari tadi Bastian tergolek di atas mejanya, mungkin laki-laki itu tertidur. Ck! Iqbaal tidak perduli. Yang Iqbaal perdulikan saat ini, ketika ia mati nanti ia akan melihat (namakamu) bersama Aldi.


Eyes voice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang