Part 7

2.3K 120 0
                                    

"Eyes Voice"
Part 7
_______

"Sakit?" tanya Iqbaal.

(namakamu) mengeleng dengan wajah meringis.

'Jangan ganggu (namakamu), Bella! Aku mohon, jangan pernah ganggu (namakamu)!'

Iqbaal menahan rasa marah yang bergerumul di dalam dadanya. Serasa ingin berteriak kencang ketika Bella memperlakukan (namakamu) seperti ini. Lagi.

***
Brak... Iqbaal membuka pintu kamarnya dengan kencang. Dorongan itu menghasilkan suara gebrakan keras dan menyebabkan handuk serta baju kotor yang menggantung di belakang pintu berjatuhan.
Langkahnya terayun cepat, melempar tas ranselnya di atas tempat tidur dengan sembarang. "Aku udah bilang sama kamu. Jangan pernah ganggu (namakamu)!" bentak Iqbaal. Melepaskan tali-tali sepatunya dengan menarik-narik kencang.
Bruk... Sepasang sepatu kotor itu ia lempar ke belakang pintu. "Bella!" panggil Iqbaal. Ia tahu, dan ia bisa merasakan bahwa saat ini Bella ada di sekitarnya, namun makhluk itu belum kunjung menampakan diri.
"Ada apa sama kamu sebenarnya, hah?!"
Iqbaal menghampiri Bella yang kini muncul, berdiri di depan pintu keluar. Iqbaal menutup pintu, tidak lucu jika ada penghuni lain lewat memergoki Iqbaal tengah berbica seorang diri, "Aku udah bilang sama kamu kan?"
Iqbaal menatap Bella, memperhatikan tubuh Bella saat ini. Ada yang aneh, kemana kaki Bella? Kali ini Iqbaal melihat tubuh Bella tidak utuh seperti biasanya. Bella melayang, tanpa kaki. Lupakan! Mungkin Bella lupa mengikutsertakan kakinya. *apasih*
Iqbaal berkacak pinggang. Menatap Bella dengan tatapan semenyeramkan mungkin. "Jangan pernah ganggu (namakamu) lagi!" ujar Iqbaal dengan suara menghentak, nyaris seperti seorang guru matematika memarahi siswanya yang tidak mengerjakan tugas_-.
"Maaf," gumam Iqbaal ketika menatap mata Bella yang mulai berair. "Maaf sekali lagi," lanjut Iqbaal. Menatap Bella dengan sedikit rasa sesal, membentak-bentak makhluk itu seperti tadi, terlalu kasar. Mungkin Iqbaal menyadari, Bella tidak akan berlaku seperti itu jika ia benar-benar menepati janjinya, secepatnya. Dan, Iqbaal sebelumnya sudah berjanji bahwa urusannya dengan (namakamu), hanya sebatas artikel. Ketika masalah artikel selesai, seharusnya Iqbaal kembali menjauhi (namakamu). Itu janji Iqbaal kan? Dan menepati janji yang selanjutnya.
Iqbaal mendesah. Menjatuhkan tubuh kotornya di atas tempat tidur. Lemas. Perasaan apa ini? Nyaris melumpuhkan saraf-saraf motoriknya.
***
"Lo gila ya! Ini masih pagi banget! Mendung lagi!"
Salsha yang berjalan di samping (namakamu) tidak henti mengeluarkan protes-protes keras.
"Buka (namakamu)! Buka! Lo malu-maluin gue!"
Salsha mencoba meraih kacamata hitam yang (namakamu) kenakan, namun (namakamu) menghindar dan menepis-nepis lengan Salsha.
"Kalau lo malu, ya lo jangan jalan di samping gue!" perintah (namakamu) tanpa memperlambat laju langkahnya.
"Lo! Lo apa-apaan sih?!"
Lagi-lagi Salsha mencoba meraih kacamata yang (namakamu) kenakan.
Selama mata kuliah pertama berlangsung yang dimulai pukul 7 pagi, (namakamu) sama sekali tidak melepaskan kacamata hitam yang ia kenakan ketika memasuki kampus. Hingga masuk kelas. Hingga dosen jam pertama masuk. Hingga keluar, dan hingga saat ini ketika mereka akan menuju ruang W 8 untuk mengikuti mata kuliah kedua.
Jika saja (namakamu) bukan sahabat dekat Salsha. Sahabat yang kerap kali membantunya, maka Salsha akan senantiasa tega untuk tidak menyertai (namakamu) selama seharian ini jika (namakamu) tidak mau melepas kacamata hitam itu.
Trap... Langkah keduanya sudah mencapai batas pintu kelas. ternyata kelas sudah hampir penuh. Oh Tuhan, rasanya Salsha ingin sekali berlari mendahului (namakamu) ketika semua pasang mata di kelas menatap ke arah mereka saat ini. Mungkin lebih tepatnya menatap gaya aneh (namakamu) yang memakai kacamata hitam di dalam ruangan tidak terang ini.
(namakamu) berjalan gontai, memasuki kelas. Menuju kursi di baris kedua yang belum berpenghuni.
"Gue mohon sekali ini (namakamu), buka kacamata lo."
Lagi-lagi Salsha mencoba melepaskan kacamata (namakamu).
"Enggak! Enggak!"
(namakamu) menepis kencang lengan Salsha. Membenarkan letak kacamatanya yang sedikit bergeser akibat ulah Salsha.
"(namakamu), lo tahu? Gaya lo sekarang ini sama sekali gak banget. Lo lebih mirip tukang pijat panggilan, (namakamu)!"
Salsha meringis ketika dia merasakan kata-kata dari mulutnya itu keluar dengan begitu jujur. Menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba
"(namakamu), lo cantik banget!"
Ucapan Bastian yang saat ini melintasi kursi (namakamu) membuat Aldi dan Iqbaal yang tengah berjalan di belakangnya terkekeh pelan. "Nanti malem lo kerumah gue ya. Badan gue pegel," lanjut Bastian membuat Aldi dan Iqbaal terkekeh lebih kencang.
(namakamu) merasakan gigi-giginya beradu, gemas. Bastian tidak punya kerjaan lain selain mengomentari dan mengganggu hidup (namakamu)? Itu lah Bastian. Terkadang (namakamu) ingin sekali merobek mulut Bastian jika laki-laki itu sedang mengeluarkan kata-kata menyebalkan yang mampu membuat (namakamu) serasa mati seketika karena malu.
Metode Penelitian Jurnalistik, mata kuliah kedua yang tengah (namakamu) dan mahasiswa yang berada di ruang W8 ikuti. Mata kuliah 3 SKS yang selalu menghasilkan tugas makalah setiap akhir perkuliahan dan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya, minggu depan. Itu selalu. Makalah yang berisi bulir-bulir materi mata kuliah yang seharusnya disampaikan oleh dosen, setiap minggunya harus dicari dan dimengerti oleh mahasiswa itu sendiri.
"Namanya juga mahasiswa, bukan anak sekolah lagi kan? Tidak perlu saya suapi kalian dengan jejalan ceramah-ceramah materi perkuliahan." Kata-kata itu kerap disampaikan oleh beberapa dosen yang jarang mengeluarkan penjelasan di dalam kelas, termasuk dosen di hadapan kelas (namakamu) saat ini.
Makalah yang dikumpulkan setiap minggunya hanya akan memenuhi gudang fakultas. Setelah dikumpulkan dan dibubuhi nilai, maka makalah-makalah hasil pemikiran keras dan hasil bergadang semalaman para mahasiswa itu hanya akan menjadi penghuni gudang sementara, dan berakhir di tumpukan sampah belakang gedung fakultas. Lalu dibakar besarta tumpukan sampah lain. Menyedihkan bukan? Namun itu lah, ratusan rim kertas itu hanya akan berakhir tragis.
"Tugas sampah," rutuk (namakamu) ketika membereskan alat tulisnya. Mata kuliah sudah berakhir. Dan benar saja, tugas makalah sudah menunggu untuk dikumpulkan minggu depan.
"Gue gak akan jalan bareng sama lo kalau lo gak mau buka kacamata lo, (namakamu)!" tegas Salsha. Setelah menggantungkan tali tas pada bahunya, Salsha melangkah meninggalkan (namakamu) yang masih membenahi plester pada keningnya. Membenahi posisi kacamatanya. Seolah tidak mendengar dan tidak perduli dengan peringatan Salsha tadi.
Salsha menghentakkan kakinya ketika sudah sampai di ambang pintu kelas. Menatap (namakamu) yang masih duduk di kursi tanpa menghiraukan perkataannya. Sama sekali tidak mengejarnya. Lalu Salsha meninggalkan pintu kelas dengan langkah kesal.
"(namakamu)!"
Suara itu terdengar dari arah belakang. Suara itu... Itu suara Iqbaal. Butuh waktu 5 detik bagi (namakamu) untuk menyadari bahwa kini Iqbaal memanggil-manggil namanya. Seolah tidak mendengar sama sekali, (namakamu) melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Kakinya terayun cepat, satu langkah kakinya ia ambil lebar-lebar.
"(namakamu)!"
Tap... Tap... Tap... (namakamu) menuruni anak tangga dengan cepat. Tangan kirinya memegangi pagar tangga, melakukan gerakan berputar ketika tikungan tangga mulai ia lewati agar kecepatan berjalannya tetap stabil. Menerobos mahasiswa lain yang berjalan lelet.
"(namakamu)! Gue tahu lo denger suara gue! (namakamu)!"
Lagi-lagi suara itu membuat (namakamu) merinding dan mempercepat langkahnya.
Trap... Lantai lobi sudah (namakamu) tapaki. Tangannya terus-menerus membenahi posisi kacamata yang berangsur merosot, langkah cepat yang ia ambil membuat kacamatanya turun. "Duh!" keluh (namakamu), ketika ia harus menaik-naikan terus kacamatanya.
Langkahnya kini sudah keluar dari dalam gedung fakultas. Menapaki jalanan kampus yang sudah ramai. Mahasiswa yang hendak masuk kuliah dan keluar mata kuliah saling berpapasan, bahkan bertubrukan jika tidak hati-hati.
Iqbaal mendesah kencang. Menjenjangkan lehernya untuk terus mengikuti langkah (namakamu). Tidak mungkin ia berteriak-teriak memanggil (namakamu) dalam keadaan ramai seperti ini. Jelas hanya akan menghabiskan persediaan suaranya. Dan (namakamu) sama sekali tidak akan memberhentikan langkah untuk menunggunya.
Iqbaal mulai kesal. Maka ia memutuskan untuk mengejar (namakamu) lebih cepat. Gerakannya kini sudah terkesan berlari, mengejar (namakamu) yang kini mulai menapaki pelataran kampus.
"(namakamu)!"
Suaranya terdengar nyaris seperti bentakan. Iqbaal sudah berhasil menarik lengan (namakamu) saat ini. "Heh! Lihat gue!"
Iqbaal menggoyang-goyangkan lengan (namakamu), karena gadis itu kini membelakanginya.
"Lo kenapa sih?"
Dengan kesal Iqbaal memutar kencang pundak (namakamu), mengharuskan gadis itu untuk menghadap keberadaannya saat ini. "Buka!" Ketika Iqbaal hendak melepaskan kacamata hitam yang bertengger di atas hidung (namakamu), dengan cepat (namakamu) menepisnya.
"Lo keliatan aneh tahu gak pake kacamata kayak gitu! Lagian ini lagi mendung."
Iqbaal kembali berusaha membuka kacamata yang (namakamu) kenakan, namun (namakamu) kembali menepis.
"Lo sengaja pake kacamata item supaya gue gak bisa natap mata lo? Gak bisa baca pikiran lo?"
Iqbaal tersenyum miring menatap (namakamu) yang saat ini tengah menyembunyikan rasa malunya, aksi bodohnya ini ketahuan.
"Lo pikir gue gak bisa baca pikiran lo ketika lo pake kacamata konyol lo itu, hah?!"
Iqbaal menarik kencang kacamata (namakamu), hingga terlepas, menyebabkan rambut (namakamu) yang terselip rapi di belakang telinganya berhamburan menutupi wajahnya.
"Balikin!"
(namakamu) mencoba merampas kembali kacamata yang berhasil Iqbaal lepaskan dari tempatnya.
"Gue tetap bisa baca pikiran lo sekalipun lo pake ini!" ucap Iqbaal dengan tangan yang ia taruh di belakang punggungnya, menyembunyikan barang yang ingin (namakamu) dapatkan. "Gue udah janji sama lo kan? Gue gak akan baca pikiran lo tanpa seizin lo."
Ucapan Iqbaal tadi membuat (namakamu) terdiam, tidak lagi berusaha mendapatkan kacamatanya.
Bruk... Iqbaal menghantamkan kacamata hitam milik (namakamu) ke dalam tong sampah yang berjarak 1 meter di samping kirinya.
"Ok?"
Iqbaal mengusap lembut tengkuk (namakamu).
'Gue cuma gak mau keliatan bodoh di depan lo. Gue cuma gak mau lo tahu semua perasaan tolol gue!'
"Lo gak bodoh. Dan itu sama sekali gak tolol."
Tanpa sadar Iqbaal menjawab ungkapan itu, suara yang ia dengar ketika menatap mata (namakamu).
(namakamu) menghentakan kaki kanannya dengan kesal, Iqbaal berbohong, ia berjanji tidak akan pernah membaca pikiran (namakamu) tanpa izin kan? Namun ternyata...
"Maaf, maaf."
Iqbaal bergerak mundur, menatap (namakamu) yang mulai memicing. Mengaku salah sebelum (namakamu) menyemburnya.
"Gue bakalan pura-pura gak tahu apa yang lo pikirin. Ok?"
"Percuma. Tetep aja lo tahu."
Dengan sekali menghembuskan nafas berat, (namakamu) memutar tubuhnya. Kembali melangkahkan kakinya untuk keluar dari pelataran kampus. Gadis itu menuju tepi jalan. Sepertinya akan menyeberang untuk mendapatkan kendaraan umum di seberang jalan. Tidak ada mata kuliah lagi, maka dari itu (namakamu) akan bergegas pulang. Lebih aman jika dirinya tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Iqbaal.
Iqbaal bergeming. Menatap punggung (namakamu) yang kini mulai menjauh. Menatap rambut belakang (namakamu) yang berkibar-kibar akibat angin kencang siang ini. Menatap rok pendek (namakamu) yang juga ikut berkibar. Lupakan! Tatapan Iqbaal mulai ngawur, salah fokus. Menatap langkah kaki (namakamu) yang mulai menghampiri tepi jalan. Menatap... Bella.
Bella? Mata Iqbaal terbelalak ketika mendapati Bella yang kini mengikuti (namakamu) dari arah belakang. Tangan Bella terjulur kedepan, seolah menutupi kedua sisi wajah (namakamu). Apa yang Bella lakukan pada (namakamu)? Iqbaal berlari. Tanpa aba-aba langkah kakinya terayun kencang.
"(namakamu)! (namakamu)!"
Berkali-kali Iqbaal berteriak. Berusaha membuat (namakamu) menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"(namakamu)!"
Kali ini teriakan Iqbaal terdengar dua kali lipat lebih kencang dari sebelumnya, terlihat dari urat leher Iqbaal yang mengencang.
Bella berjalan dibelakang (namakamu). Kedua telapak tangan Bella ditaruh tepat di samping telinga (namakamu), kali ini Iqbaal bisa melihat itu dengan jelas. "(namakamu)!!!"
Teriakan kencang Iqbaal yang hampir menghabiskan sisa suaranya tidak kunjung membuat (namakamu) menoleh. Dalam jarak yang hanya bersisa 1 meter kini Iqbaal mengulurkan lengannya.
Bruk... Iqbaal menarik kencang kedua pundak (namakamu). Membuat tubuh bagian belakang (namakamu) terhempas menghantam dada Iqbaal. Mendekap (namakamu) dari arah belakang. Tiba-tiba terdengar desingan suara klakson truk bermuatan 16 ton, suara itu terdengar sangat mengerikan. Melintas kencang di depan (namakamu), hanya dalam jarak setengah meter dari tempat berdirinya saat ini, rambut dan roknya berterbangan terhantam angin kencang akibat lintasan kecepatan hampir maksimal. Kencangnya laju truk besar itu seakan hendak membawa separuh nyawa (namakamu) untuk ikut pergi.
Tanpa sadar (namakamu) menahan nafasnya. Wajahnya memucat. Seolah aliran darahnya terhenti untuk menyebar mewarnai permukaan wajahnya. Lintasan cepat benda berukuran super besar itu baru saja hampir menggilas tubuhnya. Bagaimana bisa ia tidak mendengar suara klakson yang begitu kencang terdengar? Sebelum hendak menyeberang tadi, (namakamu) merasakan telinganya tersumbat, sama sekali tidak mendengar apapun, tatapannya kabur.
Iqbaal mengeratkan lingkaran lengannya pada pinggang (namakamu). Dagunya masih terjatuh lemas di atas pundak kanan (namakamu) dengan mata terpejam. (namakamu) bisa merasakan hembusan nafas Iqbaal yang tersengal tidak beraturan, mungkin laki-laki itu merasakan rasa kaget yang luar biasa. Rasa kaget yang sama dengan dirinya, bahkan lebih.
"Gue gak mau kehilangan lo."
Suara pelan itu, terdengar sangat pelan, nyaris hanya seperti desisan. Terdengar di samping telinga kanan (namakamu), seiring dengan dekapan Iqbaal yang semakin erat pada pinggang (namakamu). Keduanya masih tetap bergeming. Dengan Iqbaal yang masih mendekap (namakamu) dari belakang. Sama sekali tidak memperdulikan sebagian mahasiswa yang lalu lalang dan menatap mereka dengan tatapan kaget, karena kejadian tragis itu hampir saja terjadi.
"Jangan tinggalin gue."
Suara itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih jelas. Ya, (namakamu) dapat mendengar suara itu keluar dari mulut Iqbaal, laki-laki yang saat ini seolah ikut merasakan nyawanya juga akan pergi.
***
"Aku akan tepati janji aku secepatnya sama kamu. Tapi aku mohon, jangan ganggu (namakamu) lagi."
Iqbaal menggumam sendiri. Duduk di atas tempat tidurnya, meremas rambutnya dengan lemas. Kejadian tadi siang, rasa kaget yang ia rasakan tadi siang seolah belum lepas.
"Jangan sakiti (namakamu), dia benar-benar gak tahu apa-apa. Aku mohon."
Wajah Iqbaal memerah. Matanya mulai terselubungi air mata yang selama hidup dewasanya ini belum pernah ia keluarkan. Demi permohonannya pada Bella, tanpa sadar air matanya mulai bergerumul memenuhi setiap sudut bawah matanya.
Iqbaal masih merasakan hatinya belum sembuh dari rasa sakit yang ia rasakan tadi siang. Ketika melihat (namakamu) hampir saja tertabrak truk besar itu, tepat di hadapannya. Iqbaal merasakan nyawanya juga seakan-akan ingin terlepas menemani (namakamu).
"Aku janji, aku akan segera nemenin kamu."
Mata basah Iqbaal menatap Bella yang kini muncul di hadapannya. "Sekali lagi aku mohon. Jangan ganggu (namakamu)."
Iqbaal tertunduk, menjatuhkan tatapannya pada lantai putih di kamarnya.
Bella terdiam. Mata Bella memerah menatap Iqbaal, rahangnya bergetar menyaksikan tingkah Iqbaal saat ini. Iqbaal yang kini memohon pada Bella untuk tidak mengganggu (namakamu), untuk tidak lagi melukai (namakamu). Iqbaal berusaha melindungi gadis lain.
Bella merasakan bagian bawah tubuhnya mulai panas, wajahnya meringis. Bagian tubuhnya seakan terbakar menyaksikan tingkah Iqbaal di hadapannya.
***
"Baal!"
Suara ketukan hak sepatu beradu dengan lantai koridor terdengar mendekat, bersamaan dengan suara panggilan-panggilan itu. Namun Iqbaal sama sekali tidak menghentikan langkahnya, atau sekedar memperlambat langkahnya untuk menunggu seseorang yang kini berusaha mengejarnya.
"Baal!"
Suara itu terdengar lagi. Kini lengan Iqbaal sudah dikait oleh sebelah tangan. "Kok mata kuliah pertama lo gak masuk? Lo kerja ya? Ada ngeliput di luar?"
Pertanyaan-pertanyaan itu Iqbaal balas dengan tepisan pelan. Iqbaal menarik lengan kanannya lembut, melepaskan dari kaitan tangan (namakamu). Walaupun dengan gerakan lembut dan disertai dengan senyuman tipis, tetap saja sikap itu membuat (namakamu) seakan tercekik.
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan (namakamu) yang masih bergeming dengan kepala yang penuh pertanyaan. Ada apa dengan laki-laki itu? Bukankah kemarin ia baik-baik saja? Ia menolongnya kemarin. Bahkan berkata tidak mau kehilangan (namakamu). Iya kan? (namakamu) terdiam, menatap langkah lemas Iqbaal yang terayun semakin menjauh.
***
"Jaga (namakamu)," ujar Iqbaal.
"Apa?"
Laki-laki yang duduk di hadapan Iqbaal melepaskan kacamata minusnya. "Lo ngomong apa?"
"Jaga (namakamu) baik-baik," ulang Iqbaal dengan artikulasi yang diperjelas. "Maafin sikap gue kemarin."
Aldi terkekeh pelan, menaruh kacamatanya di atas meja kantin yang tengah ia topangi. Menatap Iqbaal dengan wajah tidak percaya. Setelah sikap menyebalkan Iqbaal beberapa hari ini menggempurnya, Iqbaal meminta maaf? "Bukannya lo suka sama (namakamu)?" tanya Aldi.
Iqbaal menggeleng, "gue rasa enggak. Gue cuma... Cuma iseng. Suapaya bikin lo kesel," jawab Iqbaal. Wajahnya menunduk, menatap meja kantin yang berwarna cokelat bersirlak di hadapannya.
"Apa?!"
Aldi sedikit menggebrak meja. "Iseng? Bikin gue kesel?"
Tatapan Aldi seakan ingin meninju Iqbaal untuk saat ini, jika tidak mengingat bahwa Iqbaal adalah sahabatnya. Orang yang selama 3 tahun ini setia menjadi sahabatnya, walaupun terkadang menjengkelkan.
"Gue cuma mau lo jagain (namakamu). Kalau lo gak bisa dapetin dia, pastiin (namakamu) dapet cowok yang baik," ucap Iqbaal lagi. Wajahnya kini terangkat, menatap Aldi.
"Lo ngomong kayak gitu kayak mau mati besok aja. Lo mau kemana sih? Kantor lo ngasih tugas buat pergi ke luar kota? Atau keluar negeri?"
Iqbaal menggeleng.
"Terus?"
Aldi kembali menatap Iqbaal dengan penuh pertanyaan namun Iqbaal kembali menggeleng.
"Gue pasti jagain (namakamu). Dengan adanya lo, ataupun tanpa lo. Tapi gue cuma mau tahu alesannya, kenapa-"
Iqbaal bangkit dari hadapan Aldi, kakinya terayun meninggalkan Aldi sendiri di bangku kantin. Menyisakan jejalan pertanyaan dalam benak Aldi. Ada apa sebenarnya dengan Iqbaal? Apakah Iqbaal akan meliput berita ke tempat yang jauh dalam rentang waktu yang panjang? Atau...
***
Iqbaal menghempaskan kantung kresek putih yang ia jinjing di atas tempat tidur. Belanjaan yang baru saja ia beli dari minimarket di dekat kosan. Pasta gigi, sikat gigi, sabun mandi, facial wash, beberapa bungkusan mie instan, dan... Obat anti serangga, berukuran kecil.
Sebenarnya ia tidak harus membeli semua keperluan sebanyak itu. Perlengkapan bulanan yang ia beli setiap bulannya, tidak harus. Karena ia memutuskan untuk tidak akan melanjutkan semuanya dalam waktu dekat ini kan? Hanya benda berbungkus hijau dengan bertuliskan 'obat anti serangga' yang Iqbaal butuhkan. Hanya itu. Untuk? Entahlah.
Desahan-desahan kecil terdengar diruangan sepi berukuran 6x6 meter itu. Jarum jam detikan yang berjalan seakan mengingatkan Iqbaal pada waktu yang masih melaju. Waktu yang ingin Iqbaal akhiri.
Tangan Iqbaal bergerak meraih bungkusan hijau itu. Menatapnya, membolak-balik, membaca tulisan di depan dan belakang kemasan. Benarkah benda itu bisa memusnahkan serangga? Bagaimana jika manusia meminumnya?
Iqbaal menaruhnya kembali. Merasakan Bella akan hadir di sekitarnya. "Aku harus minum ini?"
Iqbaal kembali meraih bungkusan hijau itu dan menunjukkannya pada Bella.
"Apa aku akan mati seketika kalau minum ini?" tanyanya. "Aku takut aku gak mati dan malah sekarat di rumah sakit," gumamnya dengan suara pelan, namun Bella mampu mendengar itu.
Iqbaal kembali meletakan obat serangga itu ke dalam kantung kresek. Kakinya bergerak, menghampiri laptop yang terbuka di atas mejanya. Iqbaal menarik kursi, duduk di hadapan laptopnya. Sejenak menggerakan jarinya di atas keyboard. Hanya selang beberapa menit, muncul sebuah artikel pendek pada layar laptopnya,
_______
'Bahayanya obat nyamuk jika diminum'
Obat nyamuk bakar dan semprot seperti Baygo* mengandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan transfluthrin. Propoxur adalah senyawa karbamat (senyawa antaranya, MIC, pernah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan kerusakan syaraf ratusan ribu orang lainnya dalam kasus Bhopal di India) yang telah dilarang penggunaannya di luar negri karena duduga kuat sebagai zat karsinogenik sedangkan transfluthrin relatif aman hingga saat ini. Sedangkan obat nyamuk lotion seperti Aut*n engandung racun bernama Diethyltoluamide atau DEET. DEET ini sangat korosif, PVC atau besi karena dalam hitungan minggu akan mengikis lapisannya. Bayangkan bila itu kena kulit kita ? Jadi sekali lagi telah terjadi
NAH... ITU BELUM DI MINUM! APALAGI DIMINUM???
Saran saya, jika anda akan melakukan aksi bunuh diri, tidak usah meminum baygo*, cukup meminum Aut*n. Agar harga lebih terjangkau.
_______
Iqbaal sejenak tertegun membaca artikel yang terpajang di halaman monitor. "I... Iya, aku udah janji. Aku akan tepatin janji sama kamu. Aku gak takut kok," ujar Iqbaal dengan wajah memucat, menatap Bella yang kini menatap matanya tajam.
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya menghampiri tempat tidur, dengan gerakan membungkuk ia bisa meraih obat anti serangga itu lagi. Menatap Bella sekilas. Lalu tertegun, "dari kemarin, aku lihat kamu. Kaki kamu kemana? Pinggang kamu?" tanya Iqbaal, menatap tubuh Bella yang tidak utuh.
Bella melotot, matanya seakan menyiratkan kekesalan. Iqbaal sengaja mengambil topik pembicaraan untuk menunda-nunda menepati janjinya. "Ok, ok. Aku tahu."
Iqbaal mulai membuka tutup botol bermuatan 100ml itu. Tanpa disadari tangannya bergetar. Apa ia harus berdoa dulu sebelum meminum obat itu layaknya berdoa sebelum makan? Ok, lelucon itu sungguh tidak lucu untuk saat ini.
Iqbaal membuang nafas panjangnya. Menjepit hidungnya dengan jempol dan telunjuk yang saling terapit.
Tok... Tok... Tok...
Iqbaal mendesah. "Ada tamu," ujar Iqbaal masih menjepit hidungnya hingga suaranya terdengar sengau.
"Baal!"
Ketukan pintu itu terdengar brutal disertai dengan suara panggilan yang terus menerus.
"Aku buka pintu dulu."
Iqbaal beranjak dari atas tempat tidurnya. Kembali menutup botol berkemasan hijau yang ia genggam dengan tangan penuh keringat. Melangkah menuju pintu kamar yang sedari tadi belum berhenti diketuk dari arah luar.
"Woyyy!"
Dengan gerakan selonong, kini Bastian sudah memasuki kamar Iqbaal. "Aldi bilang, lo mau tugas ke luar ya? Berapa lama? Lo ngeliput apaan?" tanya Bastian, melangkahkan kakinya menuju lemari es, mengambil sebuah minuman kaleng dari dalamnya. Begitulah sikapnya. Tanpa permisi.
"Silahkan aja, Bass. Masuk, ngambil minuman, gak sekalian sama makanannya? Silahkan. Disini bebas kok, gak ada penghuninya," ketus Iqbaal menatap tingkah menyebalkan Bastian.
Bastian nyengir. Sama sekali tidak menghiraukan perkataan Iqbaal ia kembali mengoceh, "Jangan bilang lo mau ke Manchester buat ngeliput MU!"
Bastian duduk di sofa, diikuti Iqbaal yang duduk di sampingnya walaupun dengan menahan kesal.
"Lo kesini cuma mau nanya itu?"
Bastian mengangguk, mengelap bibirnya yang basah dengan punggung tangannya setelah selesai meneguk minuman. "Jangan lupa beliin gue oleh-oleh di sana ya? Kaos MU juga gak apa-apa, tapi harus asli. Kalau perlu ada tanda tangan-"
"Bass!"
Iqbaal mengacak-acak rambutnya. Tidak tahukah Bastian apa yang sedang Iqbaal alami saat ini? Bagaimana Iqbaal bisa pergi ke Manchester dalam keadaan sudah mati nanti? Iqbaal tidak akan pergi untuk bertugas! Tetapi untuk menepati janjinya pada Bella, bersama Bella!
"Kenapa? Terus lo mau ngeliput kemana?"
Wajah Bastian saat ini benar-benar memohon untuk ditampol.
Iqbaal bangkit dari tempat duduknya. Melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, sepertinya ia harus membasuh permukaan wajahnya jika berlama-lama ngobrol dengan Bastian. Emosinya yang tergambar di wajahnya harus diguyur oleh air dingin.
Kapan Bastian akan pergi? Jangan bilang jika malam ini Bastian akan menginap di kosannya! Lalu bagaimana dengan janjinya pada Bella? Iqbaal benar-benar enggan untuk menunda lagi. Ia takut jika terjadi sesuatu pada (namakamu) lagi. Iqbaal masih ingat dengan benar bagaimana jantungnya seakan berhenti berdegup ketika melihat (namakamu) tadi siang.
Iqbaal memutar knop pintu kamar mandi, mendorongnya untuk terbuka. Melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Hidungnya mengendus-endus seperti anjing pelacak menemukan sebuah barang bukti. "Bau apa nih?" tanya Iqbaal pada Bastian yang saat ini sudah menelungkupkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil mengotak-atik laptop milik Iqbaal.
"Kamar lo banyak nyamuk. Lo jarang nyuci baju kotor ya? Tadi gue semprotin obat nyamuk. Lo beli obat nyamuk ukuran kecil? Mana cukup? Gue semprotin sekali juga abis tadi," jawab Bastian tanpa menoleh ke arah Iqbaal sama sekali.

"Apa?!"

"Kenapa?"

Bastian kini membalikan tubuhnya mendengar pekikan Iqbaal yang sepertinya terdengar sangat kaget.

"Obat nyamuknya lo pake? Abis?"

"Iya. Kenapa sih? Obat nyamuknya emang buat di pake kan? Wajar kan gue pake? Lo gak ada niat buat minum obat nyamuk kan, Baal? Otak lo udah gak waras kalo sampe lo ada niat buat ngelakuin itu."
Bersambung..


Eyes voice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang