Part 9

2.2K 125 0
                                    

"Eyes Voice"
Part 9
_______

"Lo dapet ide dari mana gantungin tali disini, Baal? Lo punya cucian basah juga? Sini sekalian gue jemurin."
Tali yang sudah Iqbaal gantung dengan rapi melingkar di atas langit-langit kamarnya, kini Bastian bentangkan dan Bastian ikat pada teralis jendela kamar Iqbaal, membentuk sebuah segmen tali. Dan Bastian menggunakan tali panjang itu untuk menjemur cuciannya yang belum kering, cucian-cucian lembab itu telah berbaris tersusun rapi pada tali yang akan Iqbaal gunakan untuk... Hhhh... Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di lantai. Duduk bersila. Apakah ada yang bersedia untuk menyodorkan pisau daging di hadapan Iqbaal saat ini? Maka dengan senang hati Iqbaal akan menggunakan sisa tenaganya untuk mencabik habis Bastian.
"Misi, Mas."
Dengan perasaan yang masih menahan kesal, Iqbaal kini menoleh. Aldi tengah berdiri di ambang pintu, membawa dua kantung kresek berisi... Entahlah. Sepertinya berisi makanan. Apa lagi ini?
Iqbaal masih duduk bersila di ambang pintu. Melihat Iqbaal yang masih bergeming, tanpa permisi lagi Aldi melangkahi Iqbaal seenaknya. Masuk ke dalam kamar Iqbaal, menghampiri Bastian yang baru saja menggantungkan baju pada hanger terakhir.
"Nanti malem pertandingan Bola. Megang mana?" tanya Aldi pada Bastian. Aldi menyalakan televisi di hadapan sofa putih itu, memuntahkan isi kantung kresek, mengeluarkan semua yang berada di dalamnya. Benar kan? Dua kantung besar itu berisi bungkusan-bungkusan makanan.
Bastian memasukan sedikit kepalanya ke dalam lemari es, meraih 2 minuman kaleng. "Gue pegang MU, lah!" ujar Bastian menghampiri Aldi, duduk bersila di atas karpet--di samping Aldi. Mereka sengaja tidak duduk di sofa agar bisa bergerak bebas meraih makanan yang mereka hamburkan di hadapannya, itu kebiasaan mereka.
"Gue Madrid ya?"
Aldi nyengir. Meraih minuman kaleng yang Bastian berikan.
Iqbaal? Laki-laki itu masih duduk bersila di ambang pintu. Menatap kedua makhluk autis di hadapannya. Bertingkah seolah kamar ini adalah milik mereka berdua. Tidak melirik Iqbaal sama sekali yang kini masih memajang wajah patah hati. Sahabat macam apa itu? Sama sekali tidak bertanya tentang tingkah aneh Iqbaal saat ini.
Dengan langkah lunglai Iqbaal bangkit, menutup pintu lalu menghampiri Aldi dan Bastian. Apa yang mereka lakukan disini sebenarnya? Menyabotase tempat Iqbaal untuk dijadikan tempat menonton pertandingan bola dengan baju, celana, serta pakaian dalam Bastian yang kini terjembreng pada tali di dalam kamarnya dengan manis.
Iqbaal kali ini tidak membutuhkan pisau daging. Tidak! tapi... Samurai. Ya, Iqbaal membutuhkan samurai untuk menebas leher kedua makhluk menyebalkan itu.
***
"Ck! Apa-apaan sih?!"
Iqbaal menyingkir-nyingkirkan Aldi dan Bastian yang mengapit langkahnya. Aldi di sisi kanan sementara Bastian di sisi kiri. Setelah memarkirkan motor mereka di pelataran dan ketika saat ini memasuki area kampus. Dua makhluk menyebalkan itu tidak pernah lepas dari jarak 30 cm di samping Iqbaal.
Semalam keduanya menginap di kamar Iqbaal. 'Lagi!' Sekali lagi ditegaskan. 'Lagi!'. Setelah hari kemarin Bastian mengganggu rencana Iqbaal, kali ini... Ditambah Aldi yang ikut menghancurkan semuanya. Sampai kapan Iqbaal akan hidup terkatung-katung seperti ini. Hidup enggan, mati tak bisa. *lah*
"Lo berdua kenapa sih!" bentak Iqbaal, seketika menghentikan langkahnya. Iqbaal benar-benar risih ditempeli oleh Aldi dan Bastian, dimulai ketika berangkat hingga saat ini.
"Apaan sih? Lo ribet banget."
Bastian menatap Iqbaal dengan terheran. Kali ini Iqbaal terlihat lebih sensitif.
"Biasanya juga kita kan jalan bareng. Iya kan?" tanya Aldi, menatap Iqbaal yang kini masih memasang wajah kesal.
Ya. Biasanya Iqbaal, Aldi, dan Bastian berjalan beriringan ketika memasuki kelas. Tapi, entah apa yang Iqbaal rasakan saat ini. Iqbaal merasa sikap Bastian dan Aldi tidak seperti biasanya. Ada yang ganjil di antara keduanya.
"Ayo ah!"
Bastian menarik lengan Iqbaal, menyebabkan langkah Iqbaal terseret mengikuti arah gerakan Bastian.
"Lepas! Lepas!"
Iqbaal menghentak-hentakan lengannya yang kini ditarik oleh Bastian, "gue mau ke toilet," ujarnya. Seketika Iqbaal memutar langkahnya untuk berbelok di tikungan koridor. Langkahnya terayun ke arah sudut koridor sepi, tempat toilet pria.
Iqbaal berdecak ketika ia merasakan langkah-langkah menyebalkan itu mengikutinya, "Lo berdua mau ngikut juga?"
Iqbaal membalikan tubuhnya. Dan benar saja, ternyata Aldi dan Bastian melangkah cuek di belakang Iqbaal.
"Kita mau ke toilet juga," jawab Aldi dengan tampang cuek. Disambut dengan anggukan refleks dari Bastian. Benar-benar, dua makhluk itu hari ini terlihat kompak.
Iqbaal lagi-lagi berdecak kesal. Lalu kembali memutar tubuhnya untuk melangkahkan kaki ke sudut koridor. Tempat sepi yang hanya ada laki-laki keluar masuk. Ketiganya masuk berbarengan. Iqbaal memilih satu dari 6 jajaran pintu toilet yang terbuka.
"Ngapain dia ke dalem? Kalau mau buang air kecil kan bisa di sini?" tanya Bastian, langkahnya menuju urinoir. Aldi mengangkat bahunya mengekor Bastian menuju urinoir juga.
Selang 7 menit Iqbaal di dalam. Laki-laki itu tidak kunjung keluar dari balik pintu toilet. "Menurut lo, Iqbaal gak akan macem-macem kan di dalam?"
Bastian dan Aldi saling berhadapan, mengapit pintu toilet yang Iqbaal masuki tadi.
Clek... Pintu terbuka. "Duh!" geram Iqbaal, mendapati Bastian dan Aldi yang berdiri di depan pintu. "Lo berdua apa-apaan sih, ha?!"
"Kita nungguin lo, buat ke kelas bareng," jawab Aldi, lengan kanannya melingkar santai pada pundak Iqbaal.
"Gue bukan mahasiswa tingkat satu yang harus ditunjukin jalan. Gue bisa jalan ke kelas sendiri."
Iqbaal menepis lengan Aldi, mempercepat langkahnya untuk meninggalkan Aldi dan Bastian.
"Kita gak boleh nyerah," ujar Bastian menepuk-nepuk pundak Aldi.
"Apaan sih lo!"
Aldi memelototi Bastian.
"Ya, kita gak boleh nyerah. Ayo kita ikuti dia terus."
Bastian berucap serius, tatapannya menajam menatap punggung Iqbaal. Seakan Iqbaal adalah buronan yang harus ia tangkap dan ia penjarakan.
"Hallo? Apa, Bang?"
Iqbaal mengangkat teleponnya yang sedari tadi bergetar, bahkan ketika ia masih di dalam toilet ponselnya tidak berhenti bergetar.
"Sekarang gue kuliah, Bang."
"Kapan?"
"Nanti siang?"
"Kasus itu lagi? Duh, gue sekarang kuliah."
"Lagian kenapa sih lo gak terima Karrel aja. Dia pinter, aktif-"
Ucapan Iqbaal terhenti ketika ia melihat (namakamu) berjalan dari arah berlawanan. Gadis berkemeja peach strip vertikal disambung dengan rok cokelat selutut. mendekap dua buah buku tebal--sempat menunduk, sebelum akhirnya,
"Hai? Baal?" sapa (namakamu) dengan senyum lebarnya. Iqbaal masih tertegun. Hanya senyum bodohnya yang terlihat tanpa mengeluarkan suara apapun. Ia pikir, setelah kejadian kemarin (namakamu) sama sekali tidak akan pernah sudi melihat batang hidungnya, apalagi menyapanya seperti ini lagi.
Iqbaal memberanikan diri menatap wajah (namakamu), menatap mata gadis itu. Sekali ini. Satu kali ini saja Iqbaal ingin menatap mata gadis itu. Untuk mendengar apa yang gadis itu rasakan, untuk mengetahui bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Sekali.
"Lo bener. Ketika ketika kejadian kemarin terlalu sakit. Gue harus berusaha meyakinkan diri gue bahwa itu semua cuma mimpi. Dan terbukti, ketika gue bangun gue kembali baik-baik aja."
(namakamu) terkekeh, "makasih ya, Baal," ucap (namakamu).
Iqbaal tersenyum tipis, wajahnya mengangguk pelan.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
Suara itu Iqbaal dengar. Ternyata gadis itu tidak berbohong, (namakamu) saat ini memang sudah baik-baik saja dan melupakan kejadian kemarin.
"Lo gak usah takut. Sekarang gue gak akan berharap lagi sama lo."
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
"Gue tahu, bukan lo orang yang seharusnya gue sayang."
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
"Lo masih inget gak sama BD?" tanya (namakamu), membuat Iqbaal kembali mengangguk.
"Mantan lo dulu?" tanya Iqbaal memastikan ingatannya.
(namakamu) mengangguk, "dia ada ngehubungi gue lagi."
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
"Oh ya? Gue ikut seneng dengernya."
Iqbaal berucap tanpa berpikir, kata-kata itu terlontar diluar kesadarannya. Karena saat ini Iqbaal tidak mampu untuk berpikir apapun. Mengenai hal apapun. Pikirannya seolah buntu. Organ di kepalanya seakan berhenti bekerja.
"Iya, gue juga seneng dia ada hubungi gue lagi."
'Gue lagi seneng hari ini.'
"Nanti ngobrolnya di sambung lagi. Gue ke kelas duluan ya?"
"Oh iya. Lo masih mau kan jadi sahabat gue?" tanya (namakamu) sebelum mengakhiri perbincangannya.
Lagi-lagi Iqbaal mengangguk dengan senyum yang masih belum lepas.
"Ok. Makasih."
(namakamu) mempercepat langkahnya, menempelkan ponsel pada telinga kanannya. "Hallo? Yaya." Terdengar suara renyah (namakamu) meninggalkan Iqbaal yang masih bergeming saat ini.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
'Gue lagi seneng hari ini.'
Suara-suara yang Iqbaal dengar tadi, ketika menatap mata (namakamu). Suara itu terdengar begitu tulus, (namakamu) benar-benar mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan. (namakamu) tidak berbohong, ia benar-benar terlihat begitu senang hari ini. Dan pengakuannya itu, sangat sesuai dengan isi dalam pikiran (namakamu) saat ini.
Apakah (namakamu) benar-benar sudah melupakan Iqbaal saat ini? (namakamu) benar-benar sudah tidak mengharapkan Iqbaal lagi? Kejadian kemarin benar-benar tidak berarti apa-apa. Itu kabar bagus bukan? Harusnya Iqbaal ikut merasa bahagia ketika (namakamu) bisa bersikap seperti itu. Tapi ternyata... Kenyataannya tidak seperti itu.
Iqbaal masih bergeming di tempatnya berdiri saat ini. Merasakan lehernya berdenyut-denyut menahan desakan di dalam dadanya yang memaksa naik. Memaksa dirinya untuk merasakan perasaan sakit ini.
Prak... Ponsel yang berada dalam genggaman Iqbaal menghantam lantai. Terlepas begitu saja, kemampuan telapak tangannya unruk menggenggam tiba-tiba menghilang.
"Baal?"
Bastian membungkuk, meraih ponsel Iqbaal yang tergeletak di samping kakinya.
"Lo baik-baik aja kan, Baal?"
Aldi menatap Iqbaal dengan pikiran tidak karuan. Saat ini Iqbaal seperti benda mati yang terpajang di etalase. Masih bergeming dengan tatapan kosongnya.
Bastian meniup-niup ponsel Iqbaal yang berdebu karena terjatuh tadi. Mengusap-usap ujung case ponsel yang sedikit lecet. "Nih."
Bastian mengulurkan tangannya, berharap Iqbaal menggerakan tangan untuk meraih ponsel itu. Namun ternyata tidak, Iqbaal masih belum bisa menyadarkan dirinya sendiri.
***
Iqbaal melangkah cepat. Menyelip-nyelipkan tubuh kurusnya diantara hamburan mahasiswa di koridor. Berusaha menghilangkan jejak dari kejaran Aldi dan Bastian. Mata kuliah hari ini sudah selesai. Tiga mata kuliah Iqbaal jalani dengan tidak henti di apit oleh Aldi dan Bastian. Kemana pun ia beranjak, kedua makhluk itu selalu mendempetnya. Menyebalkan! Dan kali ini, ketika mata kuliah terakhir tadi berakhir, dengan bergegas Iqbaal meninggalkan kelas dan berusaha meninggalkan Aldi dan Bastian.
Brum... Iqbaal menarik-narik gas motornya dalam keadaan normal. Sebelum memasukan gigi pertama untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Baal!!!"
Teriakan itu terdengar ketika Iqbaal melintasi jalanan kampus sebelum keluar dari pelataran. Suara itu adalah milik Bastian dan Aldi yang berteriak bersamaan. Apakah mereka pikir Iqbaal akan memberhentikan kendaraannya ketika mereka memanggilnya seperti itu? Justru teriakan Bastian dan Aldi membuat Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya, hingga akhirnya keluar dari area kampus dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Hari ini, pasca melarikan diri dari apitan Aldi dan Bastian, Iqbaal akan melakukan bagaimanapun caranya agar ia bisa menepati janjinya pada Bella. Tapi, sebelum itu Iqbaal harus membereskan dulu masalahnya dengan Kiky. Kasus tersangka pembunuhan saudara kembar itu ternyata belum selesai. Pasca pernyataan Iqbaal pada Kiky bahwa pelaku sebenarnya adalah Varo, bukan Vero. Membuat Kiki mencari informasi lebih lanjut. Dan ternyata, dari semua informasi yang Kiky dapatkan, kejadian itu lebih condong berhubungan dengan Varo. Sementara, yang berada di dalam jeruji besi saat ini adalah Vero.
Kiky ingin mengupas semua hingga tuntas. Walaupun itu bukan tugas mereka, tapi setidaknya mereka memberikan petunjuk pada pihak yang lebih bertanggung jawab untuk menyelidiki semuanya, dan menangkap pelaku sebenarnya.
Iqbaal keluar dari jalan raya yang padat. Menikung ke arah kiri, mengambil jalan sepi yang mungkin memudahkan Iqbaal untuk lebih cepat sampai di kantornya. Suara bising kendaraan yang saling meraung di tengah perjalanan tadi sudah tidak terdengar lagi 'seharusnya', karena kini Iqbaal sudah melaju tunggal dijalanan sepi. Namun, sepertinya kali ini Iqbaal mendengar raungan-raungan motor, bahkan beberapa motor mengejarnya dari arah belakang.
Apakah itu Aldi dan Bastian yang kini kembali mengikutinya? Oh Tuhan... Ini sungguh menyebalkan. Tidak kah mereka memiliki pekerjaan yang lebih berguna ketimbang mengikuti Iqbaal seperti ini? Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya. Jalanan sepi, lagi pula tidak ada kendaraan dari arah berlawanan, maka tingkahnya ini tidak akan membahayakan orang lain kan?
Namun ternyata, semakin Iqbaal meraung-raungkan suara motornya untuk berlari, suara motor di belakangnya juga semakin terdengar meraung.
Brak...
Seorang pengendara bermotor yang berhasil menyejajarkan posisi motornya dengan Iqbaal, menghentakan kakinya ketika ia berada tepat di sisi kanan Iqbaal, menendang bagian kanan motor Iqbaal dengan kencang.
Motor Iqbaal yang tengah melaju kencang tiba-tiba terhempas ke samping kiri setelah menerima tendangan itu, mengakibatkan Iqbaal terpental jauh dan berguling-guling dengan jarak sekitar 10 meter dari tempat terhempasnya motor.
"Eghhh."
Terdengar lenguhan kesakitan dari mulut Iqbaal. Merasakan tubuhnya hancur pasca melakukan aksi berguling-guling tadi, sehingga jangankan untuk bangkit berdiri, untuk menggerakan jari-jarinya pun ia tidak sanggup.
Brum... Raungan-raungan motor itu terdengar mengerikan menghampiri Iqbaal. Tiga buah motor besar itu mengelilingi ketidakberdayaan Iqbaal saat ini. "Bangun lo, banci!"
Terdengar suara keras itu menghentak.
Ketiga motor yang mengelilingi Iqbaal tadi kini terhenti. Salah satu pemuda, yang sepertinya Iqbaal kenali menghampiri keberadaan Iqbaal yang masih terkapar. "Bangun jagoan!"
Laki-laki itu menarik kencang leher jaket yang Iqbaal kenakan, membuat tubuh lemah Iqbaal kini tertarik untuk duduk.
"Gue udah bilang sama lo, kan? Jaga mulut lo!"
Bugh... Bugh...
Kepalan tangan bak sarung tinju itu menghantam wajah Iqbaal berkali-kali. Membuat setetes darah mulai melumer keluar dari sudut bibir Iqbaal. Dengan tubuh yang seakan rontok belum tersusun seutuhnya, jelas Iqbaal tidak bisa melakukan gerakan apapun. Jangankan untuk melawan, untuk menghindarpun tidak mampu.
"Jangan ikut campur masalah gue."
Laki-laki itu berbisik di samping telinga Iqbaal, "lo cuma wartawan abal-abal yang dibayar untuk nulis berita. Jadi jangan pernah lo ganggu masalah gue. Apa ruginya buat lo kalau yang masuk penjara itu kakak gue, bukan gue? Kakak gue aja nerima, bahkan dia bersedia. Kenapa lo yang repot, ha?!" lanjutnya lagi.
Bugh... Bugh...
Entah untuk ke berapa kalinya laki-laki itu menghantamkan kepalan tangannya. Dan kali ini, dibantu dengan injakan dan tendangan dari kaki kedua temannya yang lain. Tubuh Iqbaal berbalik ke arah yang tidak karuan menerima hempasan-hempasan kasar. Menerima tendangan-tendangan penuh amarah dari ketiga laki-laki yang mengelilinginya di jalanan sepi itu.
Blass... Sebuah pisau tajam berukuran 15 cm berhasil masuk menelusup ke dalam perut laki-laki malang yang terkapar mengenaskan. Dengan wajah yang berlumuran darah, dan kali ini darah yang keluar dari dalam perutnya merayap menyebar membasahi kaos dan jaket yang ia kenakan.
Laki-laki itu sempat melenguh pelan. Lenguhan yang tidak terdengar karena terhapus oleh hembusan angin. Keadaan tidak berdayanya ditinggalkan begitu saja. Ketiga laki-laki biadab itu sudah meraih motornya masing-masing dan pergi berhamburan meninggalkan tempat Iqbaal saat ini.
***
Tit... Tit... Tit...
Bunyi-bunyi pendek yang keluar dari monitor di samping kanan ranjang pasien itu terdengar. Ruangan sepi, ini hanya dihuni oleh seorang pasien dan seorang gadis yang menunggunya di samping ranjang.
Senyap. Seakan suara cairan infus yang menetes bulir-demi bulir mampu terdengar. Sudah satu malam gadis itu menunggu laki-laki yang terbaring di hadapannya untuk bangun. Laki-laki dengan luka lebam di sekitar wajahnya, balutan perban di kepala, collar neck yang menyangga lehernya, perban yang menutupi luka pada perutnya, serta jarum yang menyambungkan selang infus pada tangan kanannya. Siapa saja yang melihatnya akan merasa khawatir, khawatir jika sosok ini akan pergi, menghilang.
Gadis itu berkali-kali mengusap air mata yang sudah membuat jalur pada pipinya. Mata sembapnya belum lelah mengeluarkan air mata. Menangisi laki-laki yang terakhir kali ia temui pagi hari kemarin.
Clek...
Knop pintu tertekan, pintu kamar terbuka. Seseorang melangkahkan kakinya ke dalam.
"Gue barusan baru nganter Salsha pulang. Dan sekarang lo, lo harus pulang dulu. Untuk malam ini, biarin gue sama Bastian yang jaga Iqbaal. Ok?"
Ucapan lembut itu mendapat jawaban gelengan kepala dari gadis di hadapannya.
"Lo harus istirahat. Nanti kalau lo kayak gini malah lo yang sakit."
Gadis itu kembali menggeleng.
Dari pagi hari Aldi berusaha merayu (namakamu) untuk pulang. Untuk makan, tidur, istirahat di rumah. Karena gadis itu menjaga Iqbaal semalaman tadi, tidak tidur, bahkan tidak berhenti menangis.
Aldi mendesah. Usahanya untuk merayu (namakamu) kembali sia-sia. Gadis itu tetap duduk di samping ranjang pasien, menatap Iqbaal yang masih memejamkan matanya. Cara apa lagi yang harus Aldi lakukan agar (namakamu) pulang kerumah, agar (namakamu) memperhatikan kondisi dirinya sendiri. "(namakamu)?"
"Al," lirih (namakamu), menatap Aldi dengan tatapan memohon. Memohon Aldi agar tidak terus-menerus merayunya untuk pulang, "gue pengen nemenin Iqbaal disini," ucap (namakamu) dengan mata yang masih berair.
Aldi mengangguk. Mungkin ia harus memberhentikan usahanya untuk saat ini, karena semua usahanya itu sia-sia. Hanya membuahkan hasil penolakan terus-menerus dari (namakamu). "Ya udah, gue pulang dulu. Mandi dulu. Secepatnya gue balik lagi sama Bastian kesini," ujar Aldi. Setelah mendapatkan anggukan dari (namakamu), laki-laki itu tersenyum lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Setelah menutup pintu ruangan, Aldi mendesah kencang. Menyandarkan tubuh bagian belakangnya pada pintu luar kamar. Adakah yang bisa mengerti perasaan Aldi saat ini? Andai saja ada orang yang mengerti. Melihat gadis yang ia sukai terus menerus menangisi laki-laki lain, tidak lainsahabatnya sendiri. Ternyata itu cukup membuat isi dadanya menggelembung, disesaki perasaan yang tak karuan. Andai ada yang mengerti. Langkah Aldi terayun lemas. Menelusuri koridor yang diapit oleh kamar pasien di sisi kanan dan kirinya. Menikmati perasaannya sendiri. Berusaha membuat perasaannya menguap dengan sendirinya, namun... Sulit.
"Baal."
(namakamu) berucap pelan. Telapak tangannya masih menggenggam tangan Iqbaal, meremas jemari Iqbaal. Berharap Iqbaal merasakan keberadaan (namakamu) di sampingnya.
"BD kemarin ada hubungi aku, dia ngajak aku pulang bareng... Aku pikir dia mau deketin aku lagi. Ternyata, dia cuma mau minta maaf atas kesalahannya dulu, dan ngenalin aku sama cewek barunya," ucap (namakamu), tatapannya menatap lingkaran kelopak mata Iqbaal yang masih tertutup.
"Tapi aku gak sedih kok. Masih ada kamu, kamu masih mau jadi sahabat aku kan? Sahabat baik aku."
Perkataan (namakamu) terhenti ketika buliran air matanya kembali menelusuri jalur pipinya.
"Kemarin, aku berharap ini semua cuma mimpi. Dan ketika pagi aku buka mata, perasaan aku akan baik-baik aja. Tapi ternyata gak bisa, aku sakit lihat kamu kayak gini."
'(namakamu)?'
Iqbaal tiba-tiba merasakan tubuhnya saat ini berada di samping (namakamu). Apakah roh Iqbaal terlepas dari perbaringannya?
"Aku gak perduli kamu gak sayang sama aku. Yang penting kamu ada di sini, aku masih bisa lihat kamu setiap harinya. Jangan pergi ke tempat yang gak bisa aku lihat, Baal."
'Aku di sini. Aku sayang sama kamu. Sayang (namakamu).'
"Dari dulu. Aku tulus sayang sama kamu. Aku gak pernah berharap kamu balas perasaan aku. Ketika kamu menyatakan perasaan kamu sama Bella... Aku gunakan semua kemampuan yang aku punya untuk senyum di depan kamu. Walaupun ternyata itu gak mudah."
"Tapi gak apa-apa, aku kan bisa nangis sepuasnya di rumah."
Iqbaal berjongkok di samping (namakamu), menatap wajah (namakamu). Menatap (namakamu) yang tengah bercerita saat ini. 'Maaf (namakamu),' lirihnya pelan.
"Aku pernah dengar, seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati."
Iqbaal menundukan wajahnya. Gadis itu... Benar-benar membuat perasaan bersalah Iqbaal semakin hendak meledak.
Separtinya Iqbaal sadar saat ini, sangat sadar apa yang harus ia lakukan. Iqbaal bangkit, beranjak untuk mendekati tubuhnya yang masih tertidur. 'Bangun Iqbaal! Bangun!' Iqbaal berteriak membentak dirinya sendiri.
'Bangun! Lihat (namakamu)! Banguuun!'
'Gue mohon, bangun.'
Iqbaal mendesah ketika menatap tubuhnya yang masih terkulai.
"Dengan alasan kamu hidup, aku juga akan tetap hidup," lirih (namakamu). Terdengar jelas di telinga Iqbaal.
'Aku akan tetap hidup (namakamu), aku janji.'
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya menghampiri (namakamu). 'Aku akan hidup sama kamu. Untuk sisa hidup aku, kita akan lakuin semuanya berdua. Aku janji.'
Rahang Iqbaal bergetar, kedua bola matanya berair, mencoba berbicara di samping wajah (namakamu), walaupun (namakamu) tidak mendengarnya tetapi Iqbaal berjanji bahwa dirinya akan berusaha untuk bangun.
'Kamu bisa rasain apa yang aku rasain sekarang?'
Tiba-tiba suara itu terdengar.
Iqbaal menoleh, melihat Bella saat ini berjalan menghampirinya. 'Apa yang kamu rasain saat ini? Sakit?' tanya Bella.
'Aku ingin bangun,' ujar Iqbaal.
'Bangun? Bangun dan kamu hidup sama gadis itu?' tanya Bella seolah tidak percaya dengan pengakuan Iqbaal.
'Kamu bisa tahu perasaan aku sekarang? Gimana rasanya kesulitan menggapai tubuh seseorang yang kita cintai? Gimana rasanya ingin hidup bersama dengan seseorang yang kita cintai dalam keadaan seperti ini? Itu yang aku rasain,' ujar Bella. Matanya memerah, menatap Iqbaal yang saat ini balas menatapnya. 'Berhenti melakukan hal bodoh itu. Tepati janji kamu sama aku. Aku mohon. Aku mencintai kamu.'
Bella kembali berucap lirih.
'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'

Bersamboeng;*


Eyes voice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang