Jika seharusnya gadis-gadis jatuh cinta sangat mudah terserang virus yang satu ini, maka kini teori itu seakan terbantahkan karena keadaan berbalik. Bukannya galau seperti kebanyakan orang, Ify justru dibuat frustasi dengan sikap teman sebangkunya yang mendadak baperan kayak perawan.
Malam itu, setelah membaca pesan dari Shilla di hari anniversarynya dengan Debo, dia segera menelepon Alvin karena nomor teman sebangkunya tidak aktif, sayangnya dia lupa, Alvin tetaplah si muka tembok yang tidak banyak bicara sehingga tidak banyak informasi yang bisa didapatkan dari cowok itu.
"Yo, tunggu kali ah," Ify mempercepat langkahnya mencoba menyamai langkah besar cowok jangkung yang tengah menjaga jarak dengannya ini, tiga hari berlalu tapi dia tidak juga berhasil mengajak cowok itu bicara, kejadian ini berputar seperti kaset rusak dengan Ify sebagai pemain utamanya, dia sibuk mengejar lawannya sibuk melarikan diri, selalu seperti itu.
"Yo, berhenti kek! Gue capek" Ify meletakkan tangannya ditengah lutut, berjongkok sembari mengatur nafas yang timbul tenggelam. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis mendapati sosok yang sejak tadi dikejarnya tidak melanjutkan langkah, diam ditempat.
"Gitu dong dari tadi" Ify berjalan mendekat, memposisikan tubuhnya di depan lelaki itu, senyumnya merekah. "Tunggu, gue mau ngomong"
"Gue mau latihan, nanti aja!"
gubrak!
Ify merengut parah, memandang tidak suka pada sosok jangkung yang tengah berjalan menjauh tanpa menunggu jawabannya, benar-benar berlalu tanpa menoleh ke belakang.
Argh, cowok sialan!
❇❇❇
Latihan sudah selesai, para pemain sudah banyak yang pulang, Rio melangkah pelan, hendak menepi untuk mengembalikan stamina yang terkuras, adanya pembekalan untuk anak-anak kelas dua belas membuat tim banyak yang kosong sehingga mereka yang tersisa harus main dengan tenaga ekstra untuk menutupi kekurangan tim.
"Menurut Lo permainan kita hari ini gimana, Ndut?" itu suara Alvin, meski jarak mereka tidak begitu dekat jelas sekali dia mengenal suara datar itu, sekaligus menebak siapa lawan bicaranya
"Capek yang jelas" balas si gembul Cakka.
"Bener tuh, nggak kebayang deh gue kalau sampai kejadian di pertandingan, bisa kena pinalti" kali ini Gabriel menyahut, nadanya yang ditemani nafas terengah juga menunjukkan betapa lelahnya dia hari ini.
"Setuju, tadi itu ya, mainnya ...
Bla... Bla... Bla...
Rio menudukkan wajah, langkahnya terhenti bersamaan dengan nyeri hebat yang mendera kepalanya, matanya tertutup rapat, percakapan yang sempat terdengar mulai terasa berdengung, dengan tenaga seadanya dia berusaha menopang badan yang mulai melemas, berharap denyutan ini tidak berlangsung lama.
Ya Tuhan...
Satu tangannya bergerak perlahan memijit bagian belakang kepala yang luar biasa berat, pandangannya agak berbayang, nafasnya memburu menahan sakit, tidak ada kalimat yang mampu menerjemahkan betapa sakit kepalanya saat ini, tidak ada kata yang bisa keluar selain doa dan sugesti agar dia sanggup menguatkan diri lebih lama lagi.
Pelan, pelan sekali dia menyeret langkahnya menjauh dari kerumunan, mengabaikan Cakka yang mungkin tengah meneriakkan namanya, menanyakan dia akan kemana, konsentrasinya mulai buyar, dia tidak ingin sahurannya justru membuat mereka sadar jika dia tengah kesakitan.
'Ayok jalan, Yo...'
'Sedikit lagi'
'Sedikit lagi aja'
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] LUKA SEMESTA [END]
Teen FictionBlurb : Rio tidak bisa melupakan apa yang mama dan kakaknya lakukan 8 tahun lalu, dia marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya diam, berjalan seolah mereka tidak ada, menghilang, menghindar, seolah semua anggota keluarganya sudah mati. Hingg...