Tiga : Dinner

295 112 42
                                    

-Lienne pov-

Malam ini, aku duduk menyantap makan malam. Meninggalkan handphone di kamar, sesuai peraturan keluarga, ketika makan bersama tidak ada yang namanya handphone. Aku menyantap hidangan di meja makan bersama kedua orang tua. Aku merupakan anak sulung satu satunya di keluarga ini.

"Enak nih mah masakan nya" pujian ayah terdengar halus di telinga ku.

"Wih iya dong pa, mama nya siapa dulu gitu" aku menjawab dengan nada bangga kepada mama.

"Eh gak bisa gitu. Tanpa papa, kamu gak ada lo. Haha" ujar ayah.

"Enakan masakan rumah lah dibanding masakan fast food diluar rumah, apa lagi kalo mama yang masak di tambah sambel." ujar mama dengan nada membanggakan dirinya sendiri.

"TOP MARKOTOP!!!" aku dan ayah ku serentak mengucapkan kata itu bersama. Makan tanpa sambel rasanya seperti ada yang kurang di hidup ini.

"Lien, papa mau ngomong sama kamu." nada suara ayah terdengar serius di telinga ku.

"Ngomong apa pa?"

"Papa sudah merencanakan perjodohan kamu dengan anak teman papa. dia baik, ganteng, putih, tinggi, ramah, good boy deh pokonya."

"APA?! PERJODOHAN? AKU UDAH BILANG BERKALI KALI AKU GAK SUKA DI JODOH-JODOHIN."

"Tapi ini juga buat masa depan kamu lienne."

"Jodoh aku ada di langit, suatu saat nanti dia akan turun menghampiri. Jadi gak usah lagi ngerencanain perjodohan gak jelas itu."

"Kamu kok dibilangin malah nge bentak papa balik? Kamu gak diajarin sopan santun di sekolah?! Papa lebih tua dari kamu! Tanpa papa kamu gak akan bisa hidup!"

"Udah, udah. Papa salah, lienne juga salah. Udah tau lagi quality time sama keluarga, papa malah ngebahas perjodohan, nanti akan ada waktunya lienne buat dijodohin. Kamu juga lien, sama orang tua gak boleh nge bentak, apalagi nada suara kamu melebihi papa." nasehat mama itu membuat ruang makan hening sejenak.

Hening itu di pecahkan oleh ku, aku tidak menghabiskan makan malam ku. Aku bosan mendengar kata perjodohan yang diucapkan papa setiap makan malam bersama. Walaupun papa tidak setiap hari makan malam bersama dengan keluarga yang selalu dikejar deadline pemberian boss nya, tapi ketika semua berkumpul ia selalu membicarakan perjodohan, perjodohan dan perjodohan. Aku muak mendengar kata itu. Cinta itu tidak bisa dipaksakan, suatu hal yang dipaksakan akan buruk hasilnya.

Aku berjalan menaiki tangga yang berada di samping meja makan menuju kamar mungil dengan wallpaper serba hijau yang berada di lantai dua. Bingkai foto yang ada di dinding tangga menuju lantai dua mengingatkan ku masa masa kecil ku lagi, flashback. Masa masa kecil ku yang sangat bahagia itu sedang digendong mama di pantai. Aku masih berumur dua tahun. Ketika itu aku menyadari tentang apa yang ku perbuat tadi. Menangis merupakan cara yang ampuh untuk melampiaskan suatu masalah.

Aku melihat sesosok bulan dan bintang bintang yang terang benderang di langit gelap. Merenungkan apa yang sudah terjadi barusan. Ketika mata ku terpancar ke arah bulan, aku teringat seseorang, rayhan darmawan. Aku segera mengambil lalu mengaktifkan handphone ku yang ku letak kan di kasur. Ternyata ada tiga puluh panggilan tidak terjawab oleh nomor tidak ku ketahui, itu pasti rayhan.

Aku kembali ke balkon, melihat bintang bintang yang selalu memancarkan sinarnya di dalam kegelapan, merenungkan apa yang telah terjadi tadi.

After PainsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang