Tujuh : Gugup

173 48 5
                                    

Lima menit sunyi tanpa suara. Bintang-bintang bertebar luas di angkasa. Suara jangkrik melengkapi suasana malam yang dingin. Malam berganti siang begitu pun sebaliknya. Tapi sungguh, cintaku ini hanya untukmu seorang.

Rintik-rintik hujan mulai mengguyur kota. Semakin dingin saja malam yang sunyi. Kotak kado yang diberikan dari Rayhan langsung kumasukkan kedalam jaket.

Rayhan mendecak. "Yah gerimis Lien, apa hujan ini yang memisahkan kita berdua?" Senyum simpul itu di lontarkan olehnya.

Aku dengan cepat menuruni tangga yang super ekstrim, lalu meletakkan kotak berbentuk hati yang baru saja diberikan Rayhan diatas kasur agar tidak basah terkena air hujan. Aku kembali lagi ke balkon, membantu Rayhan yang kesusahan menuruni tangga yang licin sambil membawa tas.

Lienne menjulurkan tangannya. "Sini tasnya, biarku bantu."

Rayhan telah mendarat di balkon kamar Lienne. Ia meletakkan kakinya di keset kamar, lalu masuk kedalam kamar yang serba hijau dengan lantai keramik berwarna putih. Matanya melihat sekeliling kamar hingga tertancap ke bingkai foto yang ada di sebelah tempat tidur.

"Loh, ini siapa Lienne? Bukannya kamu gak punya ka-"

Ibu menyela, "Lienne, ajak Rayhan turun makan malam," teriakan seorang ibu terdengar jelas hingga kamarku di lantai dua.

Aku menyeret tangan Rayhan. "Udah meninggal Ray, ayo turun."

Aku berjalan menuruni anak tangga, lampu ruangan memancarkan sinarnya sangat terang, bingkai foto di dinding tangga seakan sedang melihatku. Terlihat jelas sang ibu sedang menyiapkan makanan di meja makan.

Rayhan tidak duduk di kursi. "Tante, aku pulang aja, makasih ya tante udah minjemin anaknya."

"Eh, woles aja bang kapan aja mau minjem tante kasih kok asal jangan di apa-apain ya," ibuku tertawa lebar. "Kenapa gak di makan dulu Ray?"

"Maaf tante, takut dicariin ma-"

Aku menyela, "Biasa mah, anak mami takut dicariin kalo pulang telat."

"Huss kamu ya Lienne. Ya sudah, gak apa-apa. Kapan-kapan kesini lagi ya," ujar Ibuku tersenyum.

Seperti biasa, aku mengantar Rayhan sampai pintu gerbang, terus melihatnya hingga tidak terlihat punggungnya di ujung tikungan. Malam yang dingin, butuh pelukan dari seseorang.

Tidak lama kemudian, mobil sedan putih parkir didepan rumah. Ayahku. Sangat beruntung Rayhan sudah pulang, bagaimana jika dia masih disini? Ayah membuka pintu mobil dengan wajah lesu, sudah kuduga pasti ayah kelelahan atas lembur berlebihan yang diberikan bosnya.

***

Hari itu telah berlalu, menyisakan kenangan bahagia di hidupku. Aku teringat tentang kotak berbentuk hati yang diberikan Rayhan semalam.

Aku buka kotak itu, didalamnya terlihat satu lembar kertas berwarna biru berbentuk hati juga. Tertulis di selembar kertas itu 'untuk Lienne tercinta'. Hati ini kembali berdetak kencang. Kuhitung semua permen yang di lipat dalam kertas biru mengkilat, benar, semuanya ada lima puluh.

Sungguh aku tak percaya semua keajaiban ini. Tidak humoris, tidak terlalu romantis, netral. Kuambil satu permen yang dibalut kertas biru mengkilat tertata rapi. Ternyata, ada sebuah kalimat di kertas biru mengkilat. Dan masih ada kertas kecil berwarna hijau tertempel di dalamnya yang jelas ukurannya lebih kecil dari kertas biru.

After PainsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang