6 | Entrust

50 7 0
                                    

6 | Entrust

Alfa memperhatikan wajah gadis di hadapannya. Gadis itu masih membisu walaupun Alfa sudah menanyainya untuk kesekian kali. Dengan tekanan kekecewaan, Alfa menghela napas.

Reya tak mempercayainya.

Dua hari lalu, setelah insiden aku-telepon-yang-jawab-kayak-om-om, Alfa sedikit yakin bahwa ia bisa mempercayai Reya. Setidaknya ia sudah berusaha percaya pada gadis itu walaupun gadis itu masih membentengi dirinya dengan benteng yang tinggi. Benteng yang tak mau Alfa hancurkan. Yang Alfa mau adalah Reya membuka sedikit demi sedikit bagian benteng itu hingga Alfa bisa melihat. Agar Alfa bisa merasakan dan memahami apa yang gadis itu sembunyikan.

Kau begitu egois, Alfarizi. Alfa tahu, sangat tahu. Ia memang belum benar-benar percaya pada Reya. Tapi, toh, tak ada salahnya membuat gadis itu mempercayainya. Karena Alfa benar-benar merindukan senyum Reya yang ia kenal. Atau senyum Reya yang dulu ia kenal.

"Ayo ke kelas, Rey," Alfa bahkan bisa mendengar kegetiran dan kekecewaan dalam kalimatnya tadi. Ia berdiri dan mengulurkan sebelah tangan pada gadis yang masih duduk di hadapannya itu.

"Ayah telepon aku tadi pagi, Al."
Reya berkata lirih sambil mendongak memandang Alfa. Gadis itu menatap iris Alfa dengan pandangan meminta tolong. Agak terkejut, Alfa menurunkan tangan dan kembali duduk.

"Dia minta aku buat tinggal bareng dia," kalimat lanjutan ini tak membuat kekagetan Alfa berkurang. Menunggu. Itulah yang Alfa lakukan sekarang. Menunggu Reya mengeluarkan semua beban pikirannya selama-entahlah-Sehari? Seminggu? Sebulan? Setahun? Atau sejak kapan?

"Aku tolak itu, Al."

Alfa terenyak.

Sebenarnya, ada apa dibalik telepon ini?

"Dulu banget, a-ayah ninggalin aku sama ibu," terbata, Reya bercerita. Gadis itu menunduk sementara tangannya sibuk memainkan keliman seragam. "Gara-gara aku."

"Ayah pengen punya anak yang jenius. Tipe anak yang pendiam dan melakukan semua sendiri. Masuk kelas akselerasi dan lulus kuliah di umur belasan. Tapi, aku bukan anak kayak gitu, kan?" isakan terselip dari bibir Reya. Alfa makin syok.

"Di lain sisi, ibu bersyukur bisa punya anak sementara kakak perempuannya dan seorang kakak iparnya nggak bisa punya anak sama sekali. Ibu mendukung apapun yang aku inginkan selama itu masih nggak melenceng dari ajaran ibu dan ayah. Ibu mengajari aku bahwa manusia harus bersyukur, sejelek apapun rupa ataupun nasibnya."

"Aku menang lomba gambar dan juara nasional," lirih Reya. Alfa sudah tahu hal itu sejak bertahun lalu. Ia melihat tangan Reya yang bergerak menyeka air matanya. Gadis itu terisak lagi, "Tapi ayah marah dan masukin aku ke semua les eksak yang dia tau. Aku les hampir setiap hari. Waktu bebas aku Cuma malam hari dan itu aku gunain buat menggambar dan menulis apa yang aku rasain. Gambarku nggak karuan, tulisanku berantakan."

"Ayah makin marah waktu tahun berikutnya aku menang lomba Cipta Puisi. Ayah sempet ngelarang aku ikut ke istana presiden, tapi ibu maksa ayah untuk kasih izin supaya aku ikut. Ayah lebih marah lagi waktu tahu aku bolos les beberapa kali untuk latihan lomba puisi."

Alfa murni kaget. Seorang anak kqelas 3 SD yang sudah merasakan sangat banyak. Terlalu banyak malah. Seluruh masa kecil Reya yang harusnya penuh dengan celoteh riang dan gambar aneka warna harus direbut begitu saja.

"Akhirnya, ayah sama ibu cerai."

"Aku berusaha untuk buat ayah pulang. Aku berusaha jadi anak jenius persis seperti yang ayah inginkan. Aku pintar. Aku menang olimpiade. Apalagi yang kurang?" Alfa ingat persis bagian itu. Setelah Derry misuh-misuh mengeluhkan gadis bermata gelap yang hilang, dua tahun kemudian, gadis bermata gelap itu menjadi lawannya di olimpiade IPA kabupaten. Kembali, gadis itu juara dan terus juara.

Daydream [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang