3 | Remembrance

96 7 0
                                    

3 | Remembrance

Kalau boleh mengakui, sebenarnya Reya takut.

Reya takut ketika memasuki sekolah barunya. Reya takut mendaftar disini. Reya takut ia tak akan lulus ujian masuk disini. Reya takut akan semua persaingan ketat disini. Reya takut gagal bersekolah disini.

Reya takut pada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Reya takut teman-temannya tak menerimanya sebagai teman. Reya takut jika ia melakukan kesalahan yang membongkar jati dirinya, semua orang akan menganggapnya orang gila yang tak punya hati. Reya takut.

Memahami, bukan dipahami. Gadis itu bisa mendengar kata-kata lembut yang diucapkan mendiang ibunya tempo hari seolah sang ibu ada disebelahnya dan membisikkan kalimat itu.

Mendiang ibunya. Reya bergidik ngeri. Lagi-lagi mengutuk dirinya karena telah berpikir dengan lancang.

Reya terhuyung ke belakang saat pikiran itu datang dan seperti menggedor kepalanya. Tangannya hampir terangkat menutupi telinganya saat sepasang tangan lain mencengkeram pergelangan tangannya, "Reya?"

Gadis itu mendongak dan mendapati sosok berkacamata yang ingin ia hindari. Derry.

"Kamu nggak apa-apa? Aku panggil panitia ya?" Reya bisa mendengar kepanikan dalam suara Derry yang biasanya tenang itu. Ia menggeleng.

"Nggak usah. Nggak apa-apa. Makasih. Tapi aku nggak apa-apa." Ucapnya cepat sambil menarik tangannya dari cengkeraman tangan Derry. Derry menatapnya ragu, "Kalau ada apa-apa bilang aja, Re."

Mengangguk, Reya memalingkan wajahnya yang pucat dan membiarkan Derry berlalu dari hadapannya.

Menghela napas, Reya menatap sekeliling lapangan yang selalu ramai dari subuh sampai malam. Sekarang hari terakhir MPLS dan sudah menjelang pukul 6 sore. Sinar matahari berwarna jingga keemasan menyinari lapangan. Membuat segala hal terlihat cerah, namun memberikan kesan kuno yang kuat. Seperti foto lama yang sudah benar-benar tua.

Upacara penutupan baru saja selesai dan hampir semua murid tertawa-tawa sambil melepas atribut mereka. Tak ada yang memperhatikan Reya yang hanya bisa terduduk di tembok pendek hitam disekeliling lapangan. Tangannya bergerak-gerak gelisah di pangkuan sementara matanya mencari sosok berkacamata yang sudah familiar di matanya selama bertahun-tahun.

Ia memejamkan mata. Menghalau memori tentang sinar matahari yang cerah dan bau rumput segar. Menghalau memori tentang tangan liat yang dulu menggendongnya sambil bernyanyi untuknya. Menghalau memori tentang kedua orang terpenting dihidupnya yang selalu saling melengkapi satu sama lain. Menghalau memori tentang dirinya yang tertawa bahagia, menari bermandikan cahaya matahari yang jingga keemasan bersama kupu-kupu bersayap lebar yang banyak ditemukan di halaman belakang rumah.

"Rey." Gadis itu terperanjat sambil membuka matanya, terkejut saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya.

Iris dibalik lensa kacamata itu menatapnya. Memantulkan cahaya jingga yang membuat mata cokelat terang itu semakin menyala. Seperti api yang hangat. Seperti api hangat yang mengingatkan Reya akan rumah.

"Tidur mulu, entar jodohnya dipatok ayam loh," celetuk sosok berkacamata itu yang lalu duduk disebelahnya sambil menyodorkan sekotak susu cokelat dingin. Reya mengerjap, mengusir rasa yang tiba-tiba menekan dadanya yang sesak.

"Ngawur," walaupun berniat mengucapkan dengan nada jenaka, Reya tahu niatnya gagal begitu melihat raut wajah Alfa yang berubah. Cowok itu tersenyum, "Kamu nggak apa-apa?"

Ada kepedulian pada kalimat itu. Reya hanya bisa mematung mendengar pertanyaan itu disuarakan oleh dua orang yang berbeda, tapi dengan kepedulian yang sama.

Daydream [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang