10 | Lament

69 8 0
                                    

10 | Lament


Masa depan adalah kejutan.

Kalimat itu terbukti sudah kala Alfa menyaksikan kerumunan di depan ruang konseling sepulang sekolah.

Awalnya cowok itu tak mau peduli. Toh, itu urusan orang lain. Tapi dari kasak-kusuk dihadapannya, ia sempat mendengar kalimat-kalimat, sesuatu tentang 'pria berkemeja biru' dan 'Reya menyerang duluan'

Menyerang?

Alfa melangkah mendekati kerumunan. Tampak olehnya 'cowok bang Evan' dan sesosok wanita sedang memeluk gadis berambut sebahu sebelum akhirnya salah seorang guru menutup gorden. Membuat kerumunan mendesah kecewa dan mulai membubarkan diri.

"Tadi, aku liat itu om-om nyamperin Reya, terus manggil 'Kirey'. Tapi, Reya bilang dia bukan Kirey. Nggak tau, tuh, maksudnya apa."

Alfa mengangkat alis kala seorang perempuan melewatinya sembari bercerita dengan serunya.

"Ohh, gue tau! Reya manggil om-om itu ayah, kan?"

Alfa terpaku. Dadanya mencelus. Benaknya mengingat sejentik ingatan mengenai masa lalu Reya.

'Aku berusaha untuk buat ayah pulang.'

Alfa terduduk di bangku semen dekat ruang konseling. Membiarkan gerombolan demi gerombolan yang bubar dalam mode menggosip. Suasana tenang dan sepi. Berbanding terbalik dengan suasana beberapa menit yang lalu.

Tangan cowok itu bergerak-gerak gelisah. Persis seperti apa yang selalu Reya lakukan ketika gadis itu terdiam. Persis seperti apa yang selalu Reya lakukan kapan dan dimana saja.

Ada apa?

Hanya itu yang ada di benaknya. Menarik kesimpulan dari perbincangan bermode gosip dari gerombolan tadi hanya akan membuatnya cemas berlebihan. Hanya akan membuatnya berkhayal terlalu liar sehingga rasanya lebih banyak tak masuk akal daripada masuk akalnya. Jadi, lebih baik ia berpegangan pada sekeping masa lalu yang telah diberikan Reya padanya.

Rasanya lama sekali menunggu pintu ruang konseling terbuka. Sembari menunggu itu, benak Alfa menarik bermacam dugaan. Cowok itu menyesal. Menyesal karena telah menjadikan egonya sebagai puncak tingkah lakunya. Kalau saja Alfa tak bersikap egois dan bersikap masa bodoh kala melihat Derry, mungkin saja ia akan tahu apa yang terjadi. Mungkin saja ia akan jadi yang pertama tahu mengenai kedatangan 'laki-laki berkemeja biru' yang tadi digunjingkan.

Ah, ia mulai berpikir egois lagi. Jika ia jadi orang pertama yang tahu mengenai 'laki-laki berkemeja biru' tadi, lalu apa yang akan dilakukannya sehingga Reya tak akan berbuat seperti apa yang digunjingkan orang-orang?

Tapi setidaknya ia tahu masa lalu Reya, kan? Ia bisa langsung menarik Reya menjauh dari 'laki-laki berkemeja biru'.

Ah, frustrasi dengan pemikiran egoisnya, Alfa kembali melayangkan tatapan pada daun pintu ruang konseling yang berwarna biru. Kembali menunggu.

Klik.

Alfa menoleh kembali kearah ruang konseling dan mendapati Reya yang berjalan mantap dari dalam ruangan. Raut wajahnya keras walau matanya merah. Bahunya tegap walau agak gemetar.

Lalu keduanya beradu pandang.

Belum sempat Alfa memanggil gadis itu, Reya memalingkan wajah dan berlalu meninggalkannya diikuti si 'cowok bang Evan', seorang wanita, dan Derry.

Dan Derry.

"Depresi berat," celetuk Derry pada Alfa yang berdiri terpaku memandangi punggung Reya yang menjauh. Derry memperhatikan Alfa dengan kekecewaan, "Kamu juga."

Daydream [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang