4 | Hearten

79 5 2
                                    

4 | Hearten

Alfa menulis dengan tenang ketika matanya menangkap satu kotak kecil di bukunya. Kotak tanggal.

"Rey, sekarang tanggal berapa?" tanyanya pada Reya yang sedang sibuk mencatat. Reya menoleh padanya sekilas. "Tujuh Agustus, Al."

Menganggukkan kepala, cowok itu menundukkan kepala. Berniat menuliskan tanggal hari ini. Lalu sesaat kemudian ia sadar.

"Sebentar, sekarang tanggal berapa, Rey?"

Kini ganti Reya menatapnya bingung. "Tanggal tujuh, Al. Emang sekarang ada apa?"

Alfa menggeleng pelan lalu kembali menunduk. Ujung pulpennya sudah setengah jalan ketika pikirannya mendadak kosong. "Tanggal tujuh kan, Rey?"

Reya mengangguk dengan ekspresi bingung sementara Alfa akhirnya menggoreskan angka 7 pada kotak tanggal.

Alfa mencibir dalam hati. Sekarang pelajaran biologi dan gurunya harus pergi menghadiri acara lain dan meninggalkan setumpuk tugas untuk kelasnya.

Ah, Alfa mengeluh dalam hati saat ia melihat hasil pekerjaannya. Ada yang salah.

Mengambil tipe-x dari hadapan Reya,
Alfa menghela napas. Memang benar, pukul dua tadi pagi, ia terbangun lagi. Mimpi buruk. Mimpi yang sama yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Berulang dan berulang dalam benaknya.
.
.
.
.
Alfa kembali ke masa kecilnya. Saat ia masih menjadi bocah laki-laki yang menyambut datangnya musim dingin di London. Saat ia masih menjadi bocah laki-laki yang berlarian dan meluncur diatas lapisan es tipis halaman depan rumah. Saat ia akan memakai topi kupluk abu dikepalanya lalu menarik-narik tangan kakeknya untuk bermain perang salju.

Pagi itu tidak terlalu cerah tapi tak hujan salju sedikit pun. Alfa berlari menuju beranda diiringi kekeh sang kakek yang tampaknya geli melihatnya semangat bermain di halaman.

Alfa kecil berlari menuju pintu sambil berteriak pada neneknya. Menagih janji neneknya yang akan membuatkan cokelat panas spesial andalan sang nenek.

Semua mimpi buruk ini diawali kejadian seindah itu.

Lalu semuanya berjalan seperti yang sudah Alfa ketahui. Memori itu melekat kuat dibenaknya seolah-seolah seseorang meletakkan mantra lekat-permanen pada memori itu.

Badai salju itu. Badai salju yang membuat kakek dan neneknya mengabur dalam bayangan. Menyisakan warna merah mengerikan yang tertinggal diatas salju. Menyisakan bunyi angin yang membuat teriakan meminta tolongnya lenyap. Tak ada yang bisa Alfa lakukan.

"Tolong."
.
.
.
.
Lalu pada saat itulah Alfa terbangun. Dengan keringat membanjiri tubuhnya dan gemetar diujung bibirnya.

Dan yang pertama diingat Alfa tadi pagi adalah dirinya.

Gemetar, Alfa meraih handphone.
Walaupun ia sadar dia pasti masih tertidur. Reya pasti tak mengalami mimpi buruk. Tak ada yang akan mengalami mimpi buruk seperti yang dialami olehnya.

Tangan Alfa terangkat menyentuh pelipisnya. Kepalanya pening.

Efek kurang tidur, kilahnya dalam hati. Sambil membetulkan letak kacamatanya, Alfa berusaha menekan rasa bersalah yang sudah mencengkeram hatinya sejak bertahun-tahun lalu.

***

Alfa menyimpan sepatu di rak dengan tatapan hampa yang membuatnya bergerak seperti mayat hidup. Kakinya melangkah memasuki ruang keluarga yang cukup jauh dari pintu rumah.

Cowok itu mengedarkan pandangannya seolah baru memasuki rumah itu untuk kali.

Rumahnya luas, adalah pendapat pertama Alfa ketika memasuki rumah ini bertahun-tahun lalu. Belum sehari ia mengagumi seisi rumah ini, tubuhnya ambruk. Tak kuat dengan cuaca yang berubah cukup ekstrem.

Daydream [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang