7 | Aftereffect

49 6 0
                                    

7 | Aftereffect

Reya jelas tak pernah menginginkan kondisi seperti ini.

Terbaring lemah sulit bergerak diantara bantal dan guling. Terkubur dibawah selimut yang malah membuat suhu tubuhnya semakin tinggi. Dengan lemah, gadis itu berusaha menendang selimutnya supaya tubuhnya tak terasa semakin panas.

"Reya, abang tinggal keluar ya. Nggak usah bangun dulu. Tetap disitu, pintu mau abang kunciin dari luar," profil abang sepupunya muncul di pintu. Sementara gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah.

Bibinya berangkat setengah jam lalu. Ada urusan, sahut bibinya ketika Reya bertanya dengan lemah. Bibinya merupakan seorang ibu rumah tangga yang keluar hanya untuk ke pasar dan arisan. Jarang sekali berjalan-jalan.

Ya, mungkin dulu. Begitu yang ada di benak Reya ketika ia teringat bahwa dulu bibinya bekerja di pabrik cokelat dan selalu membuat kulkas di rumah Reya penuh dengan bermacam coklat ketika bibinya datang berkunjung. Bibinya berhenti bekerja ketika menikah dengan pamannya yang merupakan pemilik perusahaan multinasional berpenghasilan lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak sebelum beliau meninggal.

Meninggal. Pergi. Dua kata tersebut entah kenapa mengusik Reya. Mengusik Reya lebih daripada hari-hari kemarin. Kalau hari-hari kemarin Reya masih bisa mengusir dan mengubur dua kata itu dalam-dalam di ingatannya, hari ini kata-kata tersebut bahkan berulang di benaknya.

Reya menyesal. Sungguh menyesal hingga detik ini ia berbaring di kamar dengan tubuh lemas.

"Ibu. Kirey butuh ibu."

Suara Reya yang begitu lirih bahkan nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri. Matanya terpejam sementara air mata mulai mengaliri pipinya.

Ibu, boleh ya Kirey nangis sebentar aja? Kirey capek jadi wujud harapan semua orang. Kirey capek memahami orang lain. Kirey pengen jadi lemah. Sekali saja.

Kirey memohon sementara air matanya mengalir semakin deras. Maafin Kirey, bu. Kirey nggak kuat. Kirey nggak sekuat itu. Maaf. Maaf.

Reya mengingat sejelas saat ia mengalaminya. Mengingat ayahnya yang pergi. Mengingat ibunya yang pergi. Mengingat semua usahanya untuk membuat kedua orang yang paling disayanginya kembali, namun keduanya tak kembali lagi.

***

Reya melangkahkan kakinya menelusuri koridor menuju kelasnya. Tangannya berusaha merapatkan sweter rajutnya yang longgar.

Dalam hati ia mensyukuri poninya yang telah menjuntai melewati mata sehingga ia bisa menutupi lingkaran hitam di bawah matanya. Kepalanya masih terasa agak pening tapi ia bersikukuh untuk tetap ke sekolah.

Angin berhembus. Membuat gadis itu bergidik kedinginan. Reya mempercepat langkahnya. Setidaknya, ruang kelas jauh lebih hangat.

"Pagi, Reya." seseorang menyapanya. Gadis itu menoleh dan mendapati Derry sedang melempar senyum lebar padanya. Reya balas tersenyum agak kaku. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa selama beberapa minggu ini ia sekelas dengan saingan lamanya.

"Re, nyangka nggak?" celetuk Derry. Membuat Reya mengernyitkan dahi. "Nyangka apa?"

Derry menyeringai, "Nyangka bakal sekelas."

Reya menggulirkan bola mata sambil berpikir. "Bukannya nggak nyangka, sih." Tangannya bergerak menggaruk alis, "Nggak mau aja sekelas sama kamu."

"Loh? Kok jahat?" celetuk Derry. Tangannya mengusap tengkuk.

"Kamunya kepinteran. Aku capek nyainginnya," jawab Reya tak acuh. Mendadak, ia merasa senang. Jadi begini rasanya ngobrol sama teman sekelas? Reya tak tahu. Ia tak pernah benar-benar mengobrol dengan teman-temannya. Daripada ikut bergosip atau fangirling, ia memilih membaca novel saja. Lebih bermanfaat.

Daydream [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang