Hari ini terasa berat untuk Rebecca hanya untuk sekedar membuka mata dari tidurnya, seperti ia ingin tidur saja sepanjang hari dan menyelimuti dirinya agar tetap hangat. Tapi pasti hari ini banyak kegiatan yang menyenangkan yang bisa ia lakukan daripada harus tetap berbaring dan tidak melakukan apa-apa. Ia tidak akan menyia-nyiakan libur musim dinginnya hanya dengan bermalas-malasan. Mungkin ini hari yang bagus untuk bermain ski bersama Justin?
Rebecca mengetuk pintu apartement milik lelaki tersebut lalu setelah terbuka nampaklah lelaki yang seluruh tubuhnya tertutup dengan selimut kecuali mata dan hidungnya, "ada apa?"
"Mari kita bermain ski!" Ajak Rebecca dengan penuh semangat.
"Apa kau bercanda? Dengan suhu seperti ini? Tidak. Terima kasih." Justin hendak menutup pintunya tetapi Rebecca segera menahannya.
"Oh ayolah. Jika kau berolahraga pada saat seperti ini maka suhu tubuhmu meningkat."
"Olahraga yang ku sukai hanya diatas ranjang. Dan olahraga itu juga dapat meningkatkan suhu tubuh. Bagaimana jika kita mulai olahraga itu saja?" Justin mendapat pukulan keras dikepalanya.
"Aku serius bodoh, jangan bercanda. Kau ikut atau tidak?"
"Baiklah. Kita akan berangkat pukul satu siang nanti."
Rebecca dengan gembira kembali ke kamarnya dan bersiap untuk bermain ski salju, ia memilih baju tebal dan jaket kulit tebal, celana jeans, sepatu boots, syal, topi dan penutup telinga berjaga-jaga agar telinganya tidak beku nantinya. Oh, dia juga menggunakan sarung tangan. Sudah lama ia tidak bermain ski.
Waktu sudah menunjukan pukul 12.30 siang dan ia sudah siap!
Handphone milik Rebecca berdering pertanda ada panggilan masuk lalu ia segera mengangkatnya.
"Rebecca, kau harus ke rumah sakit sekarang. Ibumu tiba-tiba pingsan tadi pagi." Rebecca bisa mengetahui bahwa ini adalah suara ayahnya.
"Ada apa dengannya?"
"Kau datanglah dulu baru akan ku jelaskan. Alamatnya akan ku kirimkan padamu."
Rebecca pun keluar dari apartement miliknya dan segera menuju ke alamat yang dikirimkan oleh ayahnya. Tanpa basa-basi ia melajukan mobilnya diatas kecepatan 80km/jam dengan kondisi jalan yang licin. Ia sudah tidak memikirkan dirinya, yang ia pikirkan yaitu keadaan ibunya.
Setelahnya sampai di rumah sakit Rebecca segera berlari keruangan ICU dan mendapati ayahnya yang sedang duduk diluar ruangan.
"Kau bilang ia pingsan tadi pagi dan mengapa kau baru memberitahuku sekarang?"
"Ini semua salahku." Lirih ayahnya.
"Dia mengetahui apa yang sudah kita sembunyikan selama ini." Sambungnya.
"Brengsek! Bagaimana ia bisa tahu?"
"Entahlah, ia tiba-tiba datang dirumahku dan menangis. Lalu Jean juga ada disana. Mereka bertemu lalu ibumu pingsan. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana." Air mata yang sedari tadi Peter tahan kini keluar dengan sendirinya.
"Kau masih berhubungan dengan jalang itu?! Apa-apaan kau ini? Jika sesuatu terjadi dengan ibuku maka kalian berdua akan merasakan akibatnya!" Bentak Rebecca.
"Sekarang lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Ini semua gara-gara perilakumu yang memuakkan!"
"PERGI! KU BILANG PERGI! APA KAU TULI? DASAR KAU BAJINGAN TUA!!" Tanpa sadar emosi Rebecca yang sudah tidak dapat ia tahan menggebu-gebu didepan ruang ICU sehingga membuat perawat dan dokter serta pasien melihat mereka.
Dengan pasrah Peter bangkit dari duduknya, mengusap air matanya, "maafkan aku." Lalu ia pergi.
Setelah menunggu cukup lama seorang diri akhirnya Rebecca diperbolehkan untuk melihat keadaan ibunya. Rebecca tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya karna cuman ibunya lah yang ia punya. Ibunya lah yang bisa mengerti Rebecca. Ibunya lah yang masih bisa menerima Rebecca setelah Rebecca berbuat kesalahan kecil maupun fatal. Ia sudah kehilangan sosok ayah dan ia tidak mau lagi kehilangan sosok ibu.
Ibunya terbaring lemah dengan wajah pucat dan bantuan alat pernapasan membuat Rebecca semakin khawatir dengan keadaannya yang sekarang. Tiba-tiba dokter yang menangani ibunya tadi meminta Rebecca untuk mengikutinya keruangan dokter itu untuk memberitahukan apa yang terjadi sekaligus konsultasi.
"Jadi apa yang terjadi dengan ibuku?" Tanya Rebecca saat mereka telah memasukki ruangan.
"Ibumu terkena serangan jantung kecil. Tapi ia juga menderita beberapa penyakit yang mematikan. Aku khawatir ibumu tidak bisa selamat tapi dengan bantuan alat-alat medis mungkin ia bisa bertahan lebih lama. Dan memungkin kan ibumu juga harus dirawat dirumah sakit ini cukup lama dengan adanya terapi sehingga penyakitnya bisa sedikit demi sedikit sembuh." Jelas dokter itu.
"Lakukan yang terbaik untuknya. Berapapun biayanya aku tidak peduli." Tukasnya.
Rebecca baru saja keluar dari ruangan tiba-tiba ponsel yang ada disaku celananya berdering menandakan panggilan masuk dan nama yang tertera dilayar yaitu Justin.
"Kau ada dimana? Aku menunggumu sudah hampir dua jam. Kau mau bermain ski atau tidak? Ah kau ini! Harusnya aku sudah bermalas-malasan dikamarku sekarang." Cerocos Justin tanpa henti.
"Astaga maafkan aku. Aku lupa." Rebecca pun menceritakan apa yang terjadi pada Justin lewat telpon.
"Apa kau serius? Ya Tuhan! Aku akan segera kesana." Tanpa menunggu jawaban dari Rebecca Justin segera memutuskan sambungan telpon.
Bodoh, untuk apa ia kesini? Aku juga sudah mau pulang. Batin Rebecca.
Mau tidak mau Rebecca menunggu Justin didepan ruang ICU. Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya datang dengan nafas tersengal-sengal.
"Untuk apa kau berlari?" Tanya Rebecca santai.
"Aku hanya mengkhawatirkan kondisi ibumu. Mana dia? Apakah dia sudah sadar? Ku harap ia baik-baik saja." Justin menengok ke jendela ruang ICU.
"Entahlah. Ku harap juga begitu." Rebecca menunduk. Menyesali perbuatannya. Harusnya ia tidak pindah ke apartement dan tetap menjaga ibunya.
"Hey, sudahlah. Lebih baik kita berdoa yang terbaik untuk ibumu. Aku yakin ia bisa melewati semua ini. Semua akan baik-baik saja." Justin mengusap punggung gadis itu.
"Entahlah Justin. Aku terlalu rapuh untuk masalah ini. Ibu adalah malaikatku, ia selalu menjagaku sejak aku masih kecil. Sedangkan aku? Aku bahkan tidak bisa menjaganya, aku tidak bisa menyebuhkan sakit hati yang ia derita semenjak perceraian mereka." Air mata Rebecca tidak dapat tertahankan, ia menangis didada bidang milik Justin.
Justin mengusap pundak Rebecca, membiarkannya menangis sepuasnya karna hanya itu yang ia butuhkan.
"Aku akan selalu ada kapanpun kau butuhkan aku." Bisik Justin.
omg, ive been so busy this time and im sorry i havent post it yet. but i guess nobody wait for this story lol. but nvm, enjoy this shit and give it vote. Love you boo!
fyi, next chapter is already done but i'll post it next time.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naughty Couple
FanfictionDua orang yang gemar mengkoleksi tato diseluruh badan mereka, bukankah itu unik? Ciri khas mereka sendiri. Awalnya biasa saja, namun keduanya merasakan sesuatu yang sama. Sifat Justin yang berbanding terbalik dengan Rebecca. Akan kah perbedaan dapat...