Chapter 1 : Terra
Part 1
Tertatih Untuk Bangkit.
=============================
Deras hujan yang turun
Mengingatkanku pada dirimu
~ ~ ~ ~
Getaran degup bass masih terasa di emperan gedung ini, meski ruangan di dalam sana kedap suara. Aku menengadah, menatap langit malam yang pekat. Terasa semakin suram, karena bulan tak bisa keluar dari kungkungan awan hitam. Padahal gemericik hujan mulai mereda dan kerumunan orang semakin ramai mengantri sambil tertawa sesekali. Mereka menunggu giliran pemeriksaan agar dapat masuk ke dunia gemerlap di dalam sana. Beberapa dari mereka yang mengenalku, menyapa dan mengajakku bergabung jika belum open table. Memang masih terlalu dini untuk pulang. Kalau tak memikirkan Ibu yang sudah uring-uringan menunggu di rumah, aku masih ingin di sini. Menyesapi tiap tegukan pahit minuman memabukkan itu seraya berharap bisa menyapu pergi semua kenangan manis yang ada.
Dugem bukan obat mujarab bagi patah hatimu!
Itu bunyi pesan dari Ibu yang membuatku memutuskan keluar dari hingar-bingar dunia malam beberapa saat lalu. Bukan ... aku bukan anak yang selalu menuruti perkataan ibunya. Terkadang pun aku membandal, tak mempedulikan titah mujarabnya. Namun, malam ini aku berpikir bahwa ucapannya benar. Sudah satu bulan sejak hari itu, hampir setiap hari aku menghabiskan malamku mabuk-mabukan. Menyambangi setiap bar yang ada di kota ini, mulai dari yang paling murah sampai hampir seharga gajiku satu bulan. Toh, tak ada satu pun racikan alkohol itu yang bisa menyembuhkan luka imajinerku.
Aku tahu, sebagai lelaki dewasa tak seharusnya aku larut dalam duka seperti ini. Namun, apa yang terjadi kali ini benar-benar memukulku. Ini bukan sekedar patah hati biasa. Ini lebih dari sekedar dikhianati. Kamu memang bukan pergi tanpa pamit. Kamu memang bukan meninggalkanku demi lelaki lain apalagi karena harta. Melainkan, kamu pergi menanggalkan cincin pengikat janji kita, saat semua persiapan dilakukan bahkan tanggal telah ditentukan. Kamu pergi ... membiarkan rencana pernikahan ini tinggallah wacana.
Jari-jariku mengepal mengingat kenyataan itu. Mataku terpejam ketika terngiang alasan tak masuk akalmu. Napasku memburu. Aku ingat betul, sebulan yang lalu, tepat tanggal 14 Januari saat kamu pertama kali mengatakan keinginanmu membatalkan pernikahan kita. Nera, kamu bilang, kamu masih ingin menikmati masa mudamu. Masih banyak cita-citamu yang belum tercapai. Kamu berkata, bahwa kamu belum pantas menjadi seorang istri dan kita belum layak untuk membina rumah tangga.
Terkejut.
Namun, aku masih berusaha merayumu. Mengatakan bahwa aku tak akan menghalangi seluruh cita-citamu. Aku tak akan mengekangmu. Aku juga tak memintamu menjadi sosok istri yang bisa segalanya. Aku hanya ingin aku dan kamu hidup bersama, saling mencintai dan berbagi kebahagiaan. Aku mencoba membangun lagi angan-angan kita bersama hingga kamu mengatakan akan kembali memikirkannya. Dan waktu itu, 20 Januari, saat aku terpaksa mendatangi kantormu karena hampir seminggu aku tak bisa menghubungimu. Lalu, kamu kembali menyatakan keinginanmu. Kali ini kamu tampak lebih yakin dengan alasan bahwa kamu kehilangan rasa padaku beberapa bulan belakangan. Pada akhirnya, 3 Februari, di depan semua keluarga yang telah melakukan apa pun untuk menyatukan kita, hubungan enam tahun kita berakhir. Kamu tahu Nera, sejak itu pula hidupku pun berubah.
Benar kata orang-orang, bahwa melupakan memang hal yang sulit. Meskipun aku baru saja bertekad untuk melepaskanmu, tetapi di tengah hujan yang menderas lagi, aku kembali mengenangmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETIA
Short StoryMereka terjebak dalam satu kontinum cinta Dengan tiga sudut pandang yang berbeda Dengan tiga cerita yang berbeda Dengan alasan yang berbeda pula Pada satu waktu, ada sebuah kisah yang berakhir tetapi sesungguhnya sebuah cerita baru menunggu Apabila...