AKHIR
GARIS KONTINUM ITU MENEMUKAN UJUNGNYA
Nera menyandarkan lemas bahu kanannya di tembok pagar dekat selokan. Baru saja ia mengeluarkan semua isi perutnya. Tubuhnya memang benar-benar tidak bersahabat dengan alkohol. Sayup-sayup ia mendengar Diandra berbisik pada Terra untuk membawanya masuk. Benar saja, tangan besar itu segera melingkar di perutnya membuat Nera menegang. Cepat-cepat dia beringsut menjauhi Terra yang menatapnya begitu khawatir. Dia berbalik, dan mendapati Diandra yang juga menatap kondisinya penuh iba. Nera menunduk dan menyadari ada sebuah bungkusan yang dibawa Diandra, bertuliskan toko kue yang sedang naik daun. Ah, iya, ulang tahun Terra.
"Ka-ka-kalian masuk aja. Gue ehm gue gak apa-apa kok. Gue bisa telepon tak—ah, gue telepon Rekha aja buat jemput."
"Masuk dulu, Ner. Kamu—maksud gue, lo bisa nunggu Rekha di dalam aja."
"Iya, Ner. Masuk aja, bahaya di luar sendirian. Lo juga gak sadar sepenuhnya." Kali ini Diandra yang membujuknya.
Hampir saja Nera mengangguk karena tak mampu menahan tubuhnya yang lemas saat ini, kalau saja ia tak ingat tatapan Ibunya Terra dan ucapan sinis yang tak mengharapkan kehadirannya tadi sebelum akhirnya kembali masuk ke rumah dengan kesal. Nera menggeleng lemah, menolak tawaran Terra. Dia tak punya keberanian bertemu dengan mantan calon mertuanya itu. Sepertinya lebih baik dia harus berjuang menunggu Rekha atau taksi di luar sini. Sialnya, gaun yang dia kenakan tak mumpuni menghalau dingin malam yang menusuk. Hingga yang dia ingat hanya pekikan Diandra saat tubuhnya melunglai dan semuanya menjadi gelap.
~ ~ ~ ~
Terra duduk disamping Nera yang masih tak sadarkan diri. Matanya lekat memandang wajah manis yang dia rindukan tiga bulan belakangan ini. Paras ayu yang akhir-akhir ini hanya bisa dia lihat berbatas layar smartphone. Namun, ada yang berbeda yang dia rasa pada raut gadis di hadapannya ini. Tak terlihat raut damai yang sangat Terra ingat dari wajah Nera. Relung hatinya mengetukkan sebuah pertanyaan, apa Nera juga tersiksa karena melepas dirinya?
Tanpa sadar, tangan kiri Terra terulur ke dahi Nera. Ibu jarinya mengelus lembut kerutan yang terbentuk di dahi Nera. Lagi-lagi batinnya bertanya, apa yang sebenarnya ada dalam benak gadisnya yang bahkan belum kembali tersadar sepenuhnya? Sementara itu, tangan kanannya yang bebas memegang telapak tangan Nera yang masih lunglai. Telapak tangan mungil itu selalu terasa pas di genggamannya. Masih belum berubah. Dan Terra hanya bisa memejamkan matanya, meresapi dingin tangan Nera yang terasa sampai hatinya. Mencoba mengobati rindu yang membuncah dengan menyandarkan kepalanya pada bahu Nera. Kini kenangan itu terulang melukai sukmanya, hingga bulir air mata kembali mengalahkan ego lelakinya.
Derit pintu yang terbuka tak jua menyadarkan Terra. Diandra hanya diam menyaksikan sepasang mantan kekasih itu. Marah pun tak ada gunanya, hubungan enam tahun itu tak mungkin terlupa begitu saja. Dia hanya perempuan beruntung yang berhasil mengambil alih posisi yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Diandra menghela napas panjang, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
"Ehem...." Deheman Diandra membuat Terra beranjak dari posisinya dengan canggung. Diandra menatapnya dengan senyuman lebar yang membuat Terra semakin merasa tak enak hati. Sebelah tangan Diandra terangkat menunjukkan dua set piama yang dia bawa.
"Mau ganti baju?"
"Iya, sekalian gantiin baju Nera." Terra mengangguk. Sebelum melangkah keluar, lelaki itu berkata, "setelah itu aku tunggu di luar ya? Pasti kamu bawaain tart kesukaanku."
Diandra tediam di tempatnya. "Ehm...," ucapannya terhenti sebentar sebelum melanjutkan, "udah makin larut, istirahatlah. Tiup lilinnya besok aja ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
SETIA
Short StoryMereka terjebak dalam satu kontinum cinta Dengan tiga sudut pandang yang berbeda Dengan tiga cerita yang berbeda Dengan alasan yang berbeda pula Pada satu waktu, ada sebuah kisah yang berakhir tetapi sesungguhnya sebuah cerita baru menunggu Apabila...