Chapter 3 : Diandra (Part 1)

373 45 2
                                        

Chapter 3 : Diandra

Part 1

Kebahagianku di tengah Kesakitannya.

=============================

Sesaat malam datang
Menjemput kesendirianku
Dan bila pagi datang
Kutahu kau tak disampingku
Aku masih disini untuk setia

~ ~ ~ ~ ~

"Aku gak bisa lanjutin semuanya." Suara tangis menggema di ruangan itu.

"Maksud kamu?"

"Aku belum siap menikah."

Gue menutup mulut tak percaya. Obrolan ini gue dengar tak sengaja saat akan mengantar laporan ke ruangan Terra. Gue bahkan kembali dengan ling-lung. Nera ingin membatalkan pernikahan mereka? Gue pasti salah dengar!

Keyakinan gue runtuh, karena dari balik pintu kaca ini, gue bisa melihat Nera keluar dengan muka sembab. Disusul Terra yang masih berusaha membujuk Nera, walau sia-sia. Nera tetap melangkah menjauh tanpa peduli dengan Terra. Gue membeku di tempat. Haruskah gue menghampirinya atau diam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa? Mungkin pilihan kedua lebih baik untuk saat ini tetapi nyatanya kaki gue melangkah mendekati sosok yang kini sudah bersandar bersandar lemas di depan pintu ruangannya.

"Masuk yuk, gak enak kalau sampai ada pelanggan yang liat." Tangan kanan gue meremas bahunya, seolah menghantarkan energi kepada Terra. Dia hanya menggangguk.

Terra menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Bahunya bergerak naik turun. Kenyataan kalau kini dia sedang menangis tak ayal membuat gue ikut meneteskan air mata. Gue hancur melihatnya seperti ini, tetapi gue juga tahu Terra lebih hancur dari apa yang gue rasa. Tak perlu bertanya keadaannya, karena semua telah tergambar jelas. Tak perlu banyak kata untuk menghiburnya, karena yang dia butuhkan juga bukan itu. Nera adalah hidupnya. Namun, Nera juga meninggalkannya saat istana telah di rancang dan siap untuk dibangun. Terbayang sakitnya?

Telapak tangan yang siap mendarat di punggung lebarnya itu gue tarik kembali. Sebaliknya, gue kepalkan di samping badan. "Kejar dia, Ter. Kejar sampai titik darah penghabisan lo, gue tahu lo siap untuk itu. Jangan takut," ujarku sebelum berbalik meninggalkan Terra.

Ya, jangan takut, Ter. Jangan takut..., karena kalau pun lo terjatuh nanti, gue selalu siap menyelamatkan lo.

Gue menghela napas panjang dan mengembuskannya berat setelah keluar dari ruangannya. Masih bersandar di balik pintu kaca buram itu, gue memikirkan segala alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Tak satu situasi pun yang bisa gue bayangkan. Terra dan Nera, sepasang kekasih yang gue pikir tak bisa terpisahkan. Bahkan sekuat apa pun gue berusaha. Sebanyak apa pun waktu yang gue habiskan bersama Terra. Sedekat apa pun jarak gue dan Terra, masih ada dinding tipis tak kasat mata menuju hatinya yang tidak akan mampu gue tembus. Begitu pun dengan mereka, sejauh apa pun jarak antara Terra dan Nera membentang, hati mereka selalu bersama. Bagai dua kutub magnet yang berbeda, saling tarik dan menarik.

Terra tidak akan mengkhianati Nera. Gue yakin itu. Begitu banyak wanita ambisius dan naif yang terjerat pesona Terra berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara, tetapi tak satu pun digubris. Tidak ada juga bukti bahwa Nera mencurangi Terra. Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi? Apa ini goresan takdir?

Pertanyaan itu membuat gue tersenyum miris menyadari bahwa ada perasaan lega di balik kekacauan ini. Lega karena gue tak lagi harus membayangkan bagaimana gue nantinya bisa berdiri tegak di pernikahan impian mereka. Jika ini benar-benar terjadi, gue tak harus berpura-pura tersenyum mendampingi Nera meski hati gue tak merelakan Terra menjadi milik dia sepenuhnya. Jika ini benar-benar terjadi, maka meski kecil kemungkinannya, gue masih punya kesempatan memiliki Terra. Gue memang menyedihkan. Namun, yang gue tahu, bagi orang jatuh cinta, harapan sekecil bulir beras pun akan menjadi embun penyejuk bagi hatinya.

SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang