Sarah POV
Aku tak menyangka jika sifat Sammy akan berubah 180 derajat dari biasanya. Hari ini, aku bisa melihat matanya yang tadi memancarkan kepedihan yang mendalam lalu berubah menjadi kegembiraan yang hanya sesaat. Karena, setelah berbicara tentang kematian Papanya, Sammy kembali mengundang perasaan perih ke dalam hatinya. Walaupun, aku tau dia sedang berpura-pura menyembunyikkan apa yang dia rasakan saat ini. Tapi skali lagi, matanya seakan-akan berbicara padaku.
"Lo kenapa? Dari tadi diem terus. Dimasukkin setan ya? Biasanya lo ngoceh mulu kalo ada gue." Aku berusaha memecah keheningan yang mencekam diantara kami berdua.
"Nggak. Gue cuma lagi mikir aja." Jawaban Sammy perlahan membuatku sedikit lega. Karena, aku takut jika dia benar-benar dirasuki oleh makhluk tak kasat mata.
"Mikirin apa?" tanyaku.
"Gue besok mau ketemu sama Riska. Setau gue sih, dia suka baca buku di Jardin Tuillerie. Lo mau nggak besok temenin gue kesana?" Tanya Sammy. Ternyata dia baik, Cuma karna ada maunya. Dasar lo. Gumamku dalam hati.
"Terserah. Gue mau-mau aja."
"Oke besok jam 3 sore."
Taksi yang kami tumpangi belum juga sampai di apartemen. Sehingga, membuat aku dan Sammy kembali berkutat dengan pikiran kami masing-masing. Aku bisa melihat raut wajah Sammy dari ekor mataku, dia terlihat tidak begitu senang saat mengatakan kalau dia ingin bertemu dengan pacarnya.
Akhirnya, kami pun sampai di apartemen. Tak ada lagi obrolan yang menemani aku dan Sammy saat ingin menuju kamar masing-masing. Biasanya, seseorang jika mengadakan pertemuan dihari selanjutnya pasti akan melontarkan kalimat "jangan lupa besok" "jam 3. Gue udah didepan" atau semacamnya. Tapi, aku tidak menemukan hal itu pada diri Sammy, ia tetap saja hanya diam dan masuk ke kamar tanpa menoleh ke arahku. Tunggu, Apa baru saja aku mengharapkan dia untuk berbicara kepadaku?
Aku sungguh tak mengharapkan semua itu darinya. Hanya saja, terlihat aneh jika dia tidak mengucapkan kalimat itu. Seolah-olah kita berdua seperti tak saling kenal saja. Aku duduk di kursi yang tepat menghadap ke jendela apartemenku, dari situ aku bisa melihat betapa megahnya kota Paris. Lampu-lampu yang menghiasi kota ini, sungguh terlihat sinkron dengan gedung-gedung pancakar langit yang indah. Belum lagi, ditambah dengan bintang-bintang yang setiap malam tak bosan-bosannya memperlihatkan dirinya untuk mempercantik kota ini, romantis sekali.
Aku mengambil ponsel yang sedari tadi belum dikeluarkan dari tas selempang yang aku gunakan. Saat menggeser layarnya, aku sedikit kaget dengan notif yang muncul di sisi atas ponselku.
10 missed call and 6 message received. Dan semuanya berasal dari, Regan.
Hai ara!
Lo dimana? Udah makan?
Tumben nggak bales sms gue.
Ra, cepetan lo ada dimana sekarang? Kabarin gue.
Gue mau ngasih tau sesuatu, bales sms gue!
Lo mungkin capek, oke. Gue minta maaf kalo udah ganggu lo. Jangan lupa makan, Ra. J
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pasti Regan akan marah lagi karena tau gue nggak nge-cek ponsel satu hari ini.
To: Regan
Sori, tadi gue pergi. Ponsel gue ketinggalan, dan gue baru pulang sekarang. Makanya baru nge-cek, jangan marah dong, Re.
Sent.
Oke. Ini pertama kalinya aku berlaku bohong kepada sahabatku sendiri, aku tau dia sedikit berlebihan. Tapi, dia adalah satu-satunya orang yang aku miliki, dan dia juga selalu ada jika aku membutuhkannya. Wajar saja jika dia sangat khawatir terhadapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is More Pain
Teen FictionBiarkan rasa ini mengakhiri semuanya. Rasa yang sementara tertancap di relung hatiku. Biarkan ia mengalir seperti layaknya air, begitu tenang. Sampai suatu saat kau akan tahu, aku disini mencoba bertahan namun di sia-siakan.