"Dunia ini tidak seburuk yang kau pikirkan, bukan?"
Hangat mentari menerpa dari sela rimbun daun pohon. Angin membawa semerbak harum bunga liar. Emas ladang jagung dan biru lembut langit memenuhi lanskap pandangan.
Derra menatap sang ayah dan tersenyum. Reaksi itu sudah memberi jawaban.
"Kau terlalu banyak baca buku." Sang ayah merangkul Derra dan mengacak rambutnya hingga anak itu merengut. "Itu bagus, tetapi kau fanatik sampai mengurung diri terus!"
"Ayah benar." Seorang gadis kecil yang duduk di hadapan mereka melahap rotinya dengan rakus, melampiaskan jengkel. "Kak Defa tak fernah fantu ahah fan ifu!"
"Telan dahulu makananmu." Sang ibu mengusap bibir gadis itu yang berlepotan remah.
"Derra, Ibu juga tidak melarang kebiasaanmu," imbuhnya, "tetapi sesekali keluarlah seperti ini."
Derra merasa disudutkan. Wajahnya menjadi berlipat masam dan dipalingkan ke sembarang arah. "Tetapi dengan membaca, Derra jadi tahu banyak hal di luar yang Ayah dan Ibu ajarkan."
"Pengalaman langsung berbeda dengan hanya membaca."
"Jadi, lebih baik bertemu Kaum Kegelapan langsung, begitu?"
Satu istilah itu berkesanggupan, memberatkan udara. Sang ibu membeku tertegun, sedangkan ayahnya tak bisa bersuara, adik pun tak berkedip.
Derra menyadari kesalahan ucapannya. "Bukan itu maksud-"
"Itu beda lagi, Nak." Roti lapis dari tangannya diletakkan. Bukan karena tidak bernafsu, tetapi topik itu termasuk serius sehingga sang ayah merasa perlu menempatkan semua atensi ke anak sulung. "Jangan pikirkan itu lagi. Kau masih terlalu dini untuk memahaminya."
Ada sesuatu dalam ucapan itu yang tak bisa diterima Derra.
Ia berdiri dan menuding ke selatan membentuk garis horizon tipis, berbicara dengan lantang. "Ayah meminta Derra untuk pura-pura tidak tahu, sedangkan mereka berada sangat dekat dengan kita? Setiap kali membicarakan 'mereka', mengapa Ayah dan warga desa terus menghindar?"
"Jika kau anggap 'mereka' ancaman, kau ingin apa?"
Derra terbungkam. Pertanyaan itu tak pernah diterimanya.
Reaksi itu sudah diduga, tetapi sang ayah tetap tersenyum. "Namun, jika kau berpegang pada tujuan mulia, Ayah tak keberatan saat kau ingin memusnahkan semua ancaman itu."
"Ibu harap itu tak terjadi!" tegas sang ibu saat Derra menatapnya, "tapi, bagi Ibu juga tidak apa jika Derra bisa menggunakan tujuan mulia itu dalam melakukannya."
Dunia di mata sang adik tidaklah serumit di mata tiga orang itu, tetapi ia mencoba untuk ikut bersuara. "Apa pun yang Kakak lakukan, Sany akan selalu mendukung Kakak."
Derra tak mengerti apa yang ayah dan ibunya lihat dari dirinya sehingga berani berkata demikian. Namun, semua restu itu lebih dari cukup untuk meluapkan harapan kecil di hatinya. Di bawah pohon di dekat ladang jagung milik keluarganya, di antara lingkup dunia luar yang selalu dipandangnya negatif, Derra seketika bersumpah akan melindungi mereka dengan memusnahkan segala ancaman di selatan sana suatu saat nanti.
Harapan kecil itu kandas kemudian. Langit biru berubah menjadi mendung hitam. Hangat matahari berganti dingin membekukan. Hawa kematian berembus dari selatan. Kaki-kaki di balik jubah hitam telah mengotori sebuah desa hari itu juga.
Kehidupan dicabut. Kenangan mengabur. Kedamaian ambruk. Semua mayat lenyap. Semua memori dirampas. Semua jiwa digelapkan. Teriakan terputus maut. Perlawanan ditepis hingga jatuh.
Semua bencana malam itu hanya karena sebuah pertanyaan dengan jawab tak ada yang tahu. Tak ada yang disisakan para Kaum Kegelapan di Desa Korn, kecuali Derra seorang.***
Kala Derra masuk ke kelas Medta-1, murid-murid seketika menahan suara. Derra terlalu malas untuk peduli pada hal itu dan lebih fokus mencermati ukiran nomor pada tiap bangku. Pihak akademi telah menentukan posisi duduk berdasarkan urutan hasil seleksi. Kursi Derra ada di deretan tengah dan bersebelahan dengan jendela.
Tidak perlu khawatir jika posisi itu membuat pandangannya terhalang oleh murid yang duduk di depan karena lantai kelas cenderung menanjak ke belakang dalam bentuk tangga, termasuk bangku-bangku yang berposisi semakin tinggi ke belakang. Deret jendela juga hanya ada di dinding kiri dan memanjang ke atas sehingga cahaya matahari masuk dengan bebas. Sering kali pencahayaan itu lebih dimanfaatkan ketimbang pencahayaan dari lampu kristal di langit-langit.
Derra pun tak keberatan dengan posisi duduknya. Ia lebih suka belajar dengan pencahayaan matahari.
Adanya sistem lompat kelas di setiap akademi di Wathura menimbulkan fenomena yang akan selalu dijumpai dalam sebuah kelas. Murid-murid yang terdiri atas murid baru atau junior dan murid lama atau senior.
Sebagian murid di Medta-1 merupakan murid senior yang baru kembali dari libur tahunan sehingga mereka tidak paham tentang hening yang terjadi saat Derra datang. Mereka bertanya pada para murid junior. Duduk persoalannya pun meluas cepat. Seisi kelas jadi memperhatikan Derra walau dilakukan diam-diam. Barulah ketika Derra duduk dan menatap mereka balik, murid-murid itu gugup mengalihkan atensi.
"Kau tak peduli pada pandangan orang, ya?" Pemuda yang duduk di belakang Derra langsung menegak ketika sang Matharith menoleh kepadanya. Bisikan pelannya tadi ternyata tetap terdengar. Sebelah tangannya refleks bergerak karena kegugupan, menggaruk rambut emasnya yang ikal dan agak berantakan. "Ma-maaf. Aku tak bermaksud menyinggungmu." Ia mengulurkan tangan yang lain dan berusaha tersenyum, tetapi tetap terlihat kaku. "Sanks Vunsaya."
Tangan Sanks hanya balas dijabat tanpa ucapan apa pun oleh Derra. Sanks menunggu jika Derra hendak menghadap ke depan lagi, tetapi Derra tidak bergerak seolah ikut menungguinya. Derra ternyata berpikir bahwa barangkali Sanks masih ingin mengatakan sesuatu.
Sanks langsung menangkap gelagat itu dan tambah canggung melanjutkan percakapan. "Kau tahu klanmu ... maaf, kurang mumpuni. Banyak orang juga yang seperti meremehkanmu. Bagaimana kau tetap yakin masuk ke sini, Derra?"
"Aku yakin aku bisa, maka itu sudah cukup." Derra sebenarnya tidak keberatan bicara lebih dengan Sanks, tetapi emosinya kembali dipancing hanya dengan melihat Arallia yang memasuki kelas dan mendekati tempatnya. Derra langsung memandang ke luar jendela.
Arallia menyadari itu, tetapi tujuan awalnya memang bukan menghampiri Derra. Ia duduk di kursi sebelah Sanks dan menyapa pemuda itu dalam suara lunak. "Aku Arallia Sattraa. Namamu Sanks, 'kan? Kalau boleh tahu, apa motivasimu masuk ke sini?"
Tentu Sanks sudah tahu siapa gadis itu sebelumnya karena ia juga ada di Arena Latihan Utara saat seleksi kelas, ditambah rumor tentang Arallia sejak periode pendaftaran. Namun, Arallia di hadapannya seperti berbeda dari yang kemarin. Sanks mencoba untuk berpikir positif. Ia mengangguk kikuk. "Motivasiku ... menjadi orang yang berguna bagi siapa pun."
"Motivasi yang bagus." Suara Arallia mengalir lembut. "Aku melihat pertarunganmu kemarin. Kau hebat. Masih ada celah, tetapi kau bisa menutupinya dengan terus berlatih."
Sejenak, iris biru Sanks mengarah lurus ke mata cokelat Arallia. Sanks tak tahu hal apa dalam dirinya yang dipandang hebat oleh Arallia. Dengan kemampuan yang masih sama amatir dengan murid Nedta serta tubuh yang pendek dan kurang terbentuk, Sanks ragu ia memiliki keistimewaan. Bahkan, jika dibandingkan dengan Derra dan Arallia yang seumuran dirinya, Sanks masih merasa belum banyak berkembang. Atau, mungkin maksud Arallia adalah sesuatu dalam jiwa maupun hatinya.
Sanks tersipu memikirkannya sekaligus senang menduganya. Ia lega karena Arallia tidak fokus pada kekuatannya. "Kau justru lebih hebat saat seleksi kemarin. Kau pasti direkomendasikan ke kelas yang lebih tinggi."
Arallia justru menggeleng ringan. "Aku tidak terlalu berminat naik kelas."
Demi mendengar jawaban itu-secara tidak sengaja, Derra langsung berdiri sekaligus menghadap Arallia. Kesal dan geramnya menyeruak. "Lalu, untuk apa kau di sini?"
Keramaian kelas kembali teredam. Mayoritas murid menatap mereka.
Lunak yang sebelumnya ada di wajah Arallia seketika berganti beku dan datar. "Apa maksudmu?" balasnya tenang. "Siapa pun berhak masuk ke Akademi Wathura."
Derra sudah muak dengan wajah tanpa ekspresi itu. "Klan selain Vunsaya sulit memasuki akademi ini, tetapi kau bahkan tak punya minat untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Motivasimu lebih tidak jelas lagi. Jadi, di akademi ini, kau hanya akan menjadi-"
"Sampah?" Arallia berdiri tegak menantang. "Mengapa kau mencampuri keputusanku? Karena aku mencampuri urusanmu tentang ambisi? Apa hubungannya dengan keputusanku masuk ke akademi ini? Akulah yang memutuskan akan menentangmu atau ti-"
Hawa dingin langsung menghimpun pedang di tangan Derra. Bilahnya mengilap oleh cahaya matahari saat diarahkan ke jantung Arallia yang hanya terpaut beberapa senti.
Pekik tertahan membahana. Beberapa murid refleks berdiri tegang. Sanks mundur dengan gugup. Arallia justru menjadi yang paling tenang dan masih berani menatap Derra.
"Ada apa ini?"
Giliran interupsi itu yang memicu keributan. Semua murid kalap menuju bangku masing-masing begitu melihat seorang pembimbing pria berdiri di ambang pintu kelas, terbukti dari setelan jubah cokelat dengan ornamen emas dan beberapa pangkat penyihir di atas tingkatan Utta miliknya yang merupakan seragam para pembimbing Akademi Wathura.
Derra segera menghilangkan bleed aise-yang tidak terlihat sang pembimbing karena terhalang para murid. Pemuda itu meredam emosi dan duduk.
Arallia pun ikut duduk dengan tenang.
Saat mendapati dua murid paling beda itu ada di kelasnya, sang wali kelas merasa tak perlu bertanya tentang keributan tadi dan berjalan ke depan kelas. "Aku Sharen Vunsaya, wali kelas Medta-1."
Tatapannya menyisir setiap murid dan langsung menangkap wajah-wajah baru.
"Untuk para murid baru, jangan pesimis karena ditempatkan di tingkatan kedua. Tingkatan pertama masih membuktikan bahwa kalian perlu dijejali lebih banyak ilmu. Tingkatan ketiga justru membuat kalian tidak tahan dengan persaingan. Tingkatan kedualah yang terbaik untuk mengembangkan diri. Selamat datang di Akademi Wathura."
Semua murid angkatan lama bertepuk tangan riuh. Para murid baru hanya mengikuti arus dan merasakan bahwa isi dada mereka meluap oleh semangat.
"Sebagai permulaan, aku ingin membahas ulang hal-hal mendasar tentang sihir. Sihir para penyihir putih dibagi dua berdasarkan jenis, yakni sihir dasar dan sihir sokongan. Sihir sokongan adalah ilmu tentang mantra dan ramuan yang bisa dipelajari siapa pun. Sihir dasar adalah apa yang sudah kalian punya sejak lahir, terdiri atas faier-api, wata-air, wein-angin, erth-tanah, laik-petir, meen-pikiran, dan heel-medis.
"Umumnya, tiap orang punya satu sampai dua sihir dasar. Orang yang memiliki tiga sihir biasanya adalah klan Purabha dan beberapa Vunsaya yang disebut Vunsaya Langka. Selain itu, bagi mereka yang punya dua sihir, ada tahap ketiga yang disebut penggabungan." Profesor Sharen menebar pandangan, lalu berakhir di seseorang.
"Contohnya, Derra Matharith. Kudengar, dia telah sampai pada tahap penggabungan sihir wein dan sihir wata menjadi sihir aise-es. Aku tak akan terkejut jika dia mendapat rekomendasi naik kelas dengan cepat dalam waktu dekat."
Beriringan dengan kekaguman, keirian dirasakan oleh murid-murid lain. Rekomendasi naik kelas hanya bisa didapat dari wali kelas dan Ketua Pembimbing Tingkatan.
Profesor Sharen melirik Arallia. Masih diingatnya bahwa Master Loradias meminta para pembimbing untuk tetap menerima Arallia asalkan gadis itu bersikap normal dan patuh sebagaimana murid lain. Namun, Kesatuan Prajurit pasti tidak akan diam saat mendengar keberadaan gadis Sattraa itu. Utamanya, jika kabar itu sudah didengar Raja Penyihir Putih.
Seorang murid baru mengangkat tangan. "Bagaimana dengan sihir musuh, Profesor?"
Selalu, topik tentang Kaum Kegelapan membuat para murid terdiam tak nyaman dan menghadirkan kecanggungan. Akan tetapi, mereka juga tak bisa menahan luap penasaran.
"Sejauh ini, kita hanya tahu bahwa Kaum Kegelapan terdiri atas dua kaum, yaitu penyihir hitam dan penyihir kegelapan. Penyihir hitam adalah para penyihir putih yang 'dibalikkan'. Sihir murni mereka dirasuki darko magi-sihir kegelapan-dan berubah menjadi sihir hitam atau yang bisa disebut blaek magi. Bukan hanya jenis kekuatan dan warna fisik mereka yang akan berubah, tetapi juga kepribadian mereka akan menjadi 'terbalik'.
"Itu karena darko magi mampu merasuk dan mencemari segala sesuatu dalam tubuh kita, termasuk jati diri kita. Darko magi akan membangunkan segala hal negatif dari sesuatu yang dirasukinya, lantas menghimpun semua itu menjadi 'versi gelap'-atau, untuk manusia, lebih tepat disebut sebagai sisi gelapnya.
"Sementara itu, penyihir kegelapanlah yang menguasai darko magi. Asal-usul penyihir kegelapan juga tidak diketahui pasti, tetapi diyakini berasal dari jiwa orang-orang yang mati karena darko magi atau blaek magi. Sama seperti penyihir hitam, mereka terikat kontrak permanen dengan darko magi, sehingga satu-satunya jalan untuk mereka bebas adalah dengan mati."
Murid lain ikut mengacungkan tangan. "Bagaimana penyihir putih bisa dibalikkan?"
"Dugaan sementara adalah dipaksa." Profesor Sharen merendahkan suara. "Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa mereka mungkin membelot. Ini juga menjadi dugaan tentang alasan perpecahan yang terjadi di dunia ini-di Araverse. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi lima ratus tahun lalu-saat perang perdana antara kaum penyihir putih dengan Kaum Kegelapan.
"Yang tersisa untuk generasi kini hanya legenda, mitos, dan informasi yang diwariskan. Bahkan, untuk mengetahui apa yang ada di balik kabut yang menutupi dunia selatan ... kita belum bisa tahu. Pihak kita buta-mungkin dibutakan atau membutakan diri."***
Telah tiba giliran murid Medta-1 untuk menerima fasilitas unggul Akademi Wathura, yakni tongkat sihir baru maupun perbaikan kualitas tongkat sihir. Ialah Leon Vunsaya yang sudah dikenal sebagai ahli penempa tongkat sihir Akademi Wathura selama sepuluh dekade dan telah membuat banyak karya, terlalu banyak sehingga luas Ruang Penyimpanan Tongkat Sihir dibuat hampir setengah aula utama.
Tiga rak kayu besar selebar tujuh meter dan setinggi tiga meter menempel di dua sisi dinding pualam putih ruangan itu dan menampung wadah-wadah kayu berbentuk balok. Dilapisi beludru, wadah-wadah itu berisi tongkat beraneka bentuk dan bahan. Semakin ke rak atas, semakin terjamin kualitasnya. Terdapat pula rak lain di tengah ruangan berisi tongkat-tongkat sihir yang direkomendasikan untuk pemula.
Tongkat sihir tidak wajib dimiliki, tetapi disarankan. Fungsi tongkat sihir adalah membantu para penyihir memusatkan kekuatan. Tongkat sihir juga bisa menjadi sarana latihan jika diperlukan. Karenanya, setiap berkunjung ke ruangan itu, akan terdapat murid yang sekadar melihat-lihat, ada pula yang giat mencoba setiap tongkat.
Selagi murid-murid lain lebih tertarik melihat-lihat isi rak tengah, Leon melihat sesuatu yang memikatnya. Kakek yang baru saja menginjak usia lima puluh tujuh tahun dan masih bugar walau dengan tubuh bungkuk itu menghampiri seorang murid yang berdiri sendirian di dekat rak dinding. Bibirnya refleks membentuk senyum tipis kala matanya memperhatikan fisik murid itu, membuat keriput-keriputnya makin berlipat. "Masih bingung memilih?"
Sang murid menggeleng. Ia menuding sebuah kotak di rak itu. "Bolehkah?"
Leon menggerakkan tongkat sihir setinggi tubuhnya pada wadah yang diperhatikan sang murid sedari tadi. Wadah itu ada di kolong rak teratas.
Seakan bereaksi terhadap mantra pointia yang digumamkan Leon, tongkat sihir di sana berpendar putih dan melayang turun seperti bulu yang jatuh ke genggaman sang murid.
"Pinusia Frieza-Pinus Pembeku. Kayunya adalah pinus tertangguh di utara. Celah-celahnya diisi lichen pasif. Lapis luarnya ialah epidermis burung nouraves." Kerut wajah Leon tertarik oleh senyum. "Cobalah."
Murid itu berterima kasih dan berjalan ke pintu di pojok ruangan. Murid-murid lain juga sedang hilir-mudik di pintu itu. Leon mengikutinya.
Pintu itu terhubung ke sebuah lapangan terbuka. Lantai lapangan berupa susunan balok batu yang agak kasar. Di seberang, terdapat sebuah papan kayu tebal dan besar yang memanjang ke samping. Sepuluh pahatan bundar raksasa di permukaan papan itu dimaksudkan sebagai papan target dalam rangka percobaan tongkat sihir. Papan itu sudah diberi mantra reikoun-rekonstruksi-sehingga bisa kembali ke wujud semula apabila menerima kerusakan selama percobaan tongkat sihir.
Derra-murid penerima tongkat itu-akhirnya menemukan tempat kosong dan berdiri mantap. Perlahan pemuda itu mengangkat Pinusia Frieza setinggi dagu, mengaktifkan sirkuit. Celah-celah Pinusia Frieza ikut berdenyar biru pucat, ciri khas ketika tongkat sihir mulai digunakan.
Derra mencoba bersinkronisasi dengan gerakan paling relaks. Tangannya menyodok pelan. "Eenstent aise-"
Kedua murid di sebelah Derra terkaget saat pahatan bundar mereka dilapisi es. Kaget itu mengular ke murid sebelah karena pembekuan meluas hingga membekukan dua pertiga keseluruhan papan. Retakan bahkan menjalar di balik lapis eenstent aise, mantra reikoun yang ikut hancur.
Seluruh murid di lapangan itu sontak membeku tercengang. Derra adalah yang paling terkejut hingga terus terpaku menatap Pinusia Frieza.
Leon tak bisa meredam kekeh dan kembali ke dalam. Sudah lama ia menanti. Akhirnya ada murid yang bisa menguasai Pinusia Frieza. Yang membuat mahakaryanya yang itu menakutkan adalah tuannya harus memiliki konsentrasi tinggi-atau Pinusia Frieza akan menyedot kekuatannya dengan rakus seperti parasit eksternal.
Kakek itu kembali ke tempatnya semula dan mengamati para murid, berjaga-jaga jika ada yang memanggilnya.
Sanks melirik pintu, penasaran tentang keributan di luar, tetapi ia lebih tertarik pada gelagat Arallia yang sejak awal memandangi isi rak dinding. "Kau tidak memilih?"
Arallia tersenyum singkat padanya. "Sudah punya."
Seorang murid memanggil Leon sehingga membuatnya beranjak, tetapi sesuatu masih mengusik mata batin kakek itu yang menajam di usia senja. Ada sesuatu mirip eksistensi tongkat sihir dalam tubuh Arallia, tetapi terlalu abstrak untuk disebut tongkat sihir, bahkan jauh lebih abstrak dari tongkat agung setinggi tubuh milik Raja Penyihir Putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Penyihir [TERBIT]
FantasySaga pertama dari cerita ini, Saga Dua Penyihir, telah diterbitkan Benito Group dalam bentuk dwilogi. Info lebih lanjut tentang pembeliannya silakan cek bab "Info Pembelian Saga Dua Penyihir". *** Sebagai satu-satunya korban selamat dari tragedi ena...